***
Lima orang perempuan merubung teras sebuah rumah bergenteng coklat di Jalan Jambe Wangi No. 2 Salatiga. Tembok rumah itu dicat putih dengan pintu besi berwarna hijau. Sebatang pohon, entah jambu air atau dari jenis lain, meneduhi terasnya.Â
Pot-pot tanaman menyebar di halaman. Dua buah meja dan seperangkat kursi berlapis busa tersedia di teras. Kopi dan teh yang terus datang, serta kudapan yang enak menemani bincang-bincang kami. Kelima perempuan itu tertawa-tawa bila menemukan peristiwa lucu dari masa kanak-kanak mereka.
"Rata-rata sudah kepala enam. Sudah punya cucu semua, ha-ha-ha," Wandarastuti, putri ketiga Probowinoto, Â tertawa.
"Mbak Retno ini curang. Kalau Bapak pulang dari bepergian,pasti dia yang serobot tas duluan. Dia ambil yang dia suka baru tas dikembalikan," kata Widayati.
Yang dituju hanya tersenyum. Retnowinarti, yang disapa Mbak Retno tadi,  adalah putri sulung Probowinoto. Retnowinarti  menikah dengan Th. Sumartana, teolog dan pendiri DIAN/Interfidei Yogyakarta. Sementara yang  berkomentar tadi adalah Widayati, putri nomer empat.
 "Tapi Bapak adil. Setiap anak pasti mendapatkan oleh-oleh kalau beliau pulang bepergian," bilang Endah Winastuti, putri kelima.
Probowinoto memiliki delapan orang  putra-putri. Empat orang menetap di Salatiga, satu di Kutoarjo Jawa Tengah, dan tiga lainnya di Jakarta dan Bekasi.
"Yang di Jakarta Dyah Widipinasti, Christophorus Wibisono dan Hastowisoro," kata Endah Winastuti .
Tiba-tiba semua terdiam, menyimak Widayati membacakan surat-surat pribadi Probo untuk mereka, entah saat mereka masih berkuliah di Yogyakarta atau di tempat lain. Probowinoto menulis dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Tersirat kedekatan dan rasa kangen. Tetapi ia selalu menyemangati mereka untuk tidak mudah menyerah di bangku studi dan di perantauan. Â
Dari rumah di Jambe Wangi itu kami sedikit keluar Salatiga ke Bancaan Timur. Saya ingin melihat Rumah Doa "Bait Allah untuk Segala Bangsa", semacam kapel kecil dengan atap yang nyaris tegak lurus.Â