"Kan ada siswa yang lambat dan cepat dalam menangkap pelajaran. Dengan duduk dalam bentuk 'letter u' atau 'letter o' semua siswa mendapat perhatian yang sama," kata Jailani.
Lain waktu kata Jailani, hasil kerja anak ditempel di sudut yang sudah disiapkan. Ada pojok baca. Setelah beberapa bulan diganti dengan yang baru. "Itu penghargaan buat anak. Mereka merasa karyanya dihargai dan termotivasi. Kalau memang agak kurang ya, Â kita buat supaya bagus. Jadi kreatifitas mereka berkembang," ujarnya.
Pada kesempatan lain ia bikin perlombaan. Hadiahnya bisa uang atau pulpen yang disiapkan guru. Penghargaan bukan hanya untuk yang bisa menjawab pertanyaan dengan benar, tetapi juga bagi murid yang berani meskipun kurang tepat jawabannya.
"Dulu, kalau anak salah jawab dipukul oleh gurunya," kata dia tertawa.
Dalam Sekolah Hijau para guru juga belajar memahami bahwa tidak ada siswa yang bodoh. Yang ada hanyalah siswa yang kurang atau lambat dalam memahami pembelajaran. Sebab itu olah suasana kelas sangat berpengaruh terhadap kegiatan belajar-mengajar. Selama ini banyak guru yang merasa kurang bisa mengendalikan kelas, sehingga tujuan pembelajaran sulit untuk dicapai.
Di Sekolah Hijau, guru juga diajak membuat media belajar dan Alat Peraga Edukatif dari bahan alami ataupun barang bekas. Murid pun diajak untuk melakukan kegiatan di luar kelas seperti berkebun di sekitar sekolah. Semua ini dilakukan demi menularkan kesadaran, kepekaan dan keterampilan untuk mengelola dan melestarikan lingkungan kepada murid.
"Saya pernah buat menara dari teh botol. Dinding sekolah saya cat dengan bagus agar menarik. Saya juga bikin pantun dan memodifikasi lagu hits yang diubah syairnya menjadi bahan pembelajaran. Misalnya pas waktu itu ada lagu 'Kau yang dahulu bukanlah yang sekarang' atau lagu 'cucakrowo' saya ubah syairnya dengan memasukkan nilai-nilai karakter. Karena lagu itu sedang hits di masyarakat, anak-anak juga pasti ingat," ujar Jailani.
=000=
Tahun 2012 Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) menandatangani kesepakatan dengan Pemerintah Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat, untuk menerapkan "kurikulum" Sekolah Hijau di sana. Alasan utama WVI adalah kerusakan lingkungan dan makin rendahnya estafet kearifan lokal kepada generasi muda.
SD Negeri 07 Sasak adalah salah satu dari tiga sekolah dasar yang menjadi sekolah percontohan. Dua sekolah yang lain yakni SD Negeri 01 Aruk dan SD Negeri 03 Sajingan. Ketiga sekolah ini berada dalam wilayah Kecamatan Sajingan Besar, kawasan yang  berbatasan langsung dengan negara Malaysia.
Dalam penilaian awal sebelum memulai program, WVI menemukan bahwa mutu pendidikan di Kecamatan Sajingan Besar cukup rendah. Kelemahan utama persis berada pada kualitas mengajar para guru. Pengawasan dan pelatihan yang kurang, membuat motivasi dan kemampuan guru dalam mengajar rendah. Sementara pada sisi lain pengrusakan lingkungan yang kian masif telah mendegradasi kehidupan warga di sana.