Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

MAF dan AMA: Kisah Dua Maskapai Legendaris di Papua

4 Agustus 2022   11:56 Diperbarui: 4 Agustus 2022   12:03 2159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mission Aviation Fellowship (MAF)  dan Associated Mission Aviation (AMA) adalah dua maskapai penerbangan yang sudah puluhan tahun melayani rute penerbangan ke pedalaman Papua. Sekarang ada beberapa yang lain seperti: Tariku, Adventis, Heli Mision, Yajasi, Susi Air, Wings, dll.Meskipun demikian, karena Papua dikenal sebagai daerah misi (Katolik) dan zending (Protestan), penerbangan AMA dan MAF sangat lekat dalam benak masyarakat. Ibaratnya mereka berdua adalah "tuan rumah". Sementara yang lain indekost saja.

=000=

MAF seperti ditulis dalam beberapa sumber [1] didirikan pada 1945 untuk  membantu para misionaris  mencapai tempat-tempat terpencil di seluruh dunia, terutama untuk kepentingan penginjilan dan bantuan kemanusiaan. Mula-mula bernama Christian Airmen`s Missionary Fellowship (CAMF), sebelum menjadi MAF.

MAF antara lain melayani di antara suku Indian Auca di Amerika Latin, Zaire, Papua Nugini, Mosquitia di Honduras dan Indonesia. Ketika gempa besar melanda Aceh pada 2004 , MAF adalah lembaga kemanusiaan  yang pertama terjun di Meulaboh sejak daerah itu dilanda serangkaian gempa dan dihantam tsunami. Selama tujuh minggu pertama, MAF membantu sekitar 60.000 korban bencana dengan melakukan 1.114 penerbangan estafet dan menyalurkan bahan makanan.

Saat ini MAF di bawah naungan Yayasan MAF Indonesia (YMAFI). Mereka berada di tiga daerah utama yakni Papua, Kalimantan dan Jakarta.

Seperti ditulis dalam website mereka, YMAFI menyediakan layanan transportasi yang aman dengan pesawat kecil ke wilayah-wilayah pedalaman Indonesia; merespons dengan cepat kebutuhan evakuasi medis darurat serta menyediakan akses dan dukungan untuk tenaga medis profesional, petugas kemanusiaan, pelayanan, dan organisasi bantuan, pejabat pemerintahan, sambil setia memberikan dukungan yang penuh kepedulian terhadap komunitas-komunitas penting ini. Dari makanan dan kebutuhan sehari-hari hingga bahan Ujian Nasional dan kotak suara untuk Pemilihan Umum memakai pesawat MAF.

Jika di kawasan Gajah Mada Jakarta Pusat,  hanya berupa kantor administratif untuk menunjang semua program operasional mereka-tentu saja agar dekat dengan Pusat terkait regulasi dan macam-macam aturan lainnya-maka  di Papua adalah pusat pelayanan dan pemeliharaan pesawat [2].  Wilayah utama yang dilayani dari Sentani ialah wilayah Pegunungan Timur Papua.

Pangkalan di Nabire dibuka pada tahun 1958. Bertindak sebagai pintu gerbang ke wilayah Paniai barat dan juga hutan dataran rendah Nabire timur. Pada tahun 1960 MAF membuka pangkalan di Wamena, berlokasi di Lembah Baliem, yang melayani seluruh Dataran Tinggi Tengah dan Dataran Rendah Selatan Papua. Wamena adalah pangkalan operasional yang paling sibuk.

Sementara di Papua Barat, pangkalan Manokwari dibuka pada tahun 1974. Meskipun demikian saat ini tidak ada staf MAF yang tinggal di Manokwari. Kegiatan mereka ditangani oleh pilot dari Sentani atau Nabire.

Sementara itu pangkalan MAF di Merauke dibuka pada tahun 2001. Pangkalan Merauke efektif melayani wilayah pantai selatan yang luas menggunakan pesawat amphibi Cessna Caravan.

Pangkalan terbaru di Papua dibuka di Timika pada tahun 2003. Pesawat dan staf ditempatkan di sana untuk memenuhi kebutuhan transportasi desa-desa yang berlokasi di wilayah pegunungan sebelah utara Timika. Saat ini pesawat MAF di Papua sedikitnya terbang ke-150 lokasi, baik untuk mengangkut penumpang dan muatan barang.

Ternyata MAF juga beroperasi di Kalimantan. Mereka mulai melayani penerbangan dari Tarakan ke pedalaman Kalimantan Utara sejak tahun 1970-an, melayani daerah Apo Kayan dan Krayan. Kantor pusat operasi untuk wilayah Kalimantan berada di Tarakan.

Karena pelayanan mereka sangat dibutuhkan, pada 1995 kantor lain dibuka di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Dari sini mereka melayani desa-desa di sepanjang 4 aliran sungai utama serta pelayanan klinik medis di pedalaman.

=000=

Pada sisi lain ada pula penerbangan yang berbasis Gereja Katolik, yakni  Associated Mission Aviation (AMA). Perencanaan untuk membeli pesawat guna dipakai di New Holandia yang kemudian menjadi Irian Jaya, lalu disebut Papua, sudah dilakukan sejak tahun 1935. Ini terkait dengan diijinkannya misi Katolik masuk ke Papua, setelah pulau ini diproteksi oleh pemerintahan Hindia Belanda.

Pesawat AMA (Sumber: amaindonesia.org)
Pesawat AMA (Sumber: amaindonesia.org)

 Akhirnya, pada tanggal 23 Mei 1959, pesawat misi pertama tiba di Sentani [3].

Pada awalnya, pesawat diterbangkan oleh para Pastor  Fransiskan. Beberapa orang dipilih dan dikirim ke luar negeri untuk menekuni bidang penerbangan menjadi pilot maupun teknisi.

Hanya saja, sering terjadi kecelakaan. Dan pilot yang pastor tadi tewas. Sementara untuk menjadi imam bukan perkara gampang. Perlu sekolah minimal 7-10  tahun selepas SMA. Dan jika merasa terpanggil, barulah ditahbiskan menjadi imam. Jadi sedikit yang sampai pada tahap itu.  Maka segera diputuskan agar para imam lebih baik berkonsentrasi saja pada tugas-tugas pengembalaan. Direkrutlah para pilot profesional untuk dipekerjakan .

Pilot profesional pertama AMA dilatih oleh KLM Royal Netherlands Airlines. Ketika pada tahun 1984 AMA merayakan pesta peraknya, Direktur AMA Blommaert memberi catatan sbb:

"Kami telah terbang selama 67 ribu jam, menjangkau 13, 4 juta kilometer, mengantarkan 120 ribu penumpang dan mengangkat kargo seberat 15,5 juta kg."

Itu tahun 1984. Padahal mereka sudah melewati 36 tahun sejak itu. AMA kini sudah 63 tahun berada di Papua.

=000=

"Kami kelola penerbangan ini secara mandiri. Meskipun pemiliknya tetap 5 keuskupan di seluruh Tanah Papua," kata Bob Kayadu, Direktur Utama AMA.

Saya jumpa Om Bob, demikian disapa, pada suatu malam di Abepura. Ia mengajak saya makan malam ikan bakar. Om Bob pernah menjadi perwakilan MAF di Jakarta, sebelum ia pensiun. Ketika pensiun itulah ia dilamar oleh AMA menjadi direktur pemasaran, lalu naik sebagai direktur utama.

Pesawat dari jenis Kodiak 100 milik MAF (Sumber: maf.org)
Pesawat dari jenis Kodiak 100 milik MAF (Sumber: maf.org)

Ketika ditraktir makan malam itu, banyak hal tentang AMA yang saya tanyakan kepadanya. Terutama tentang bagaimana mengelola AMA agar tetap untung tanpa meninggalkan pelayanan sosialnya kepada masyarakat Papua. 

Salah satu sumber pemasukan, kata Om Bob,  adalah dari pemerintah. AMA salah satu maskapai yang menjalin kerjasama dengan pemerintah kabupaten dan provinsi di Papua.  Om Bob tidak persis menyebut angka-angkanya.  Tapi kalau biaya pemeliharaan 11 pesawat AMA  saja mencapai Rp 50 miliar per tahun, silakan ditaksir sendiri berapa pendapatan mereka dalam setahun. Pasti jauh di atas itu.

"Biasanya kalau rapat Dekom (Dewan Komisaris), Bapa Uskup John Saklil hanya bilang 'coba lihat halaman terakhir soal pembagian deviden. Apakah angkanya sudah dipahami'? Semua menangguk. Rapat ditutup,ha-ha-ha," Paulus Arfayan tertawa.

Dekom terdiri atas lima uskup di seluruh Papua. Tahun 2019 lalu Mgr. John Saklil meninggal secara mendadak di Timika. Ia digantikan oleh Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM, Uskup Jayapura sebagai ketua Dekom.

Paulus salah seorang profesional yang pernah bekerja mengurus manajemen AMA. Ia berada di sana ketika Hardus Desa---kini kepala Yayasan Dian Harapan---menjabat Direktur Utama. Saya kenal Om Hardus waktu menulis buku 25 tahun RS Dian Harapan di Waena, Jayapura.

Paulus sekarang adalah Direktur Utama RS Provita.  Sebuah RS yang "wah" di Jayapura.  Letaknya baku dempet dengan Biara Provinsi Fransiskan Duta Damai Papua, di APO. Memang keduanya terkait erat satu sama lain.

=000=

Ternyata tidak semua pilot, entah senior apalagi yunior, bisa mendarat di semua bandara di pedalaman Papua. Ada juga pilot yang 'mati kutu' kalau berhadapan dengan bandara  tertentu. Sebab itu,  tak berani mereka ambil rute ke sana.

 Alasannya kemudian saya dapatkan dari Kapten Pilot Jeff Ron Sohilait. Ia pilot senior Maskapai Yajasi. Misalkan saja Bandara Bilogai di Sugapa, Kabupaten Intan Jaya.

"Salah satu persoalannya adalah cuaca dan panjang bandara," kata Jeff Ron.

Landasan bandara Bilogai  'hanya' sepanjang 750 meter. Pilot yang akan turun harus berhitung secara tepat ketika mendaratkan pesawatnya.

Namun ini belum seberapa, menurut Jeff Ron. Yang lebih 'menakutkan' adalah ketinggian terbang. Kawasan Pegunungan Tengah Papua terdiri atas gunung-gunung tinggi. Kalau menjelajah ke Intan Jaya atau Puncak Jaya, minimal pesawat harus berada pada ketinggian sekitar tujuh ribu meter. Padahal pesawat bermesin kecil seperti yang ia piloti tak dilengkapi dengan pengatur tekanan udara seperti terdapat pada pesawat ATR atau pesawat Boeing.

Jika sudah demikian, pengalamanlah yang sangat menentukan. Meskipun juga, ada beberapa pilot senior yang telah puluhan tahun terbang di balik gunung-gemunung di Papua, namun pesawatnya menabrak tebing dan tewas.

"Kalau mulai pening atau mata berkunang-kunang, saya segera turunkan ketinggian. Biasanya itu karena oksigennya sudah sangat tipis. Ini yang ditakuti oleh pilot yang lain. Karena bisa kehilangan kesadaran. Tiba-tiba saja pesawat sudah di depan tebing dan tidak bisa menghindar," kata Jeff Ron. Dengan kecepatan minimal  300 knot (sekitar 600 km/jam), menghindari tebing minimal dari jarak seribu meter.

Faktor lain  menurut Jeff Ron adalah cuaca. Dalam hitungan menit cuaca di Pegunungan Tengah bisa berubah drastis.

"Kalau saya ke sana, paling lama hanya 10 menit di darat. Lalu harus segera keluar. Tetapi kalau kabut tutup sama sekali, pilihannya nginap," kata Jeff Ron. Sebab itu setiap kali terbang ia selalu menyiapkan pakaian dan logistik untuk dua hari.

Ketika kami ketemu malam itu, di UGD RS Dian Harapan, Jeff Ron baru saja turun dari Ilaga. Ia tertahan sehari di sana karena cuaca sangat buruk. Tidur di rumah penduduk.

Malam-malam ketika tiba di rumah itulah, Jeff Ron akan menyiapkan makan malam. Tak sengaja kuali penggorengan miring,  dan minyak panas mengenai dadanya. Melepuh pada beberapa bagian. Tengah malam itu ia datang ke Dian Harapan.

 Sambil menunggu dokter itulah kami bercerita.

"Saya kayaknya tidak bisa terbang beberapa hari ini. Tidak bisa pakai seat belt," kata dia.

Memang beda. Jika seat belt pada penumpang dipasang di pinggang, pada pilot seperti pada mobil. Di kalungkan dari pundak melewati dada. ***

Sumber:
[1] https://misi.sabda.org/mission_aviation_fellowship_maf,

[2] https://mafindonesia.org/

[3] ilankrt1.blogspot.com

[4] https://www.amapapua.com/ba/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun