Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

MAF dan AMA: Kisah Dua Maskapai Legendaris di Papua

4 Agustus 2022   11:56 Diperbarui: 4 Agustus 2022   12:03 2159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Alasannya kemudian saya dapatkan dari Kapten Pilot Jeff Ron Sohilait. Ia pilot senior Maskapai Yajasi. Misalkan saja Bandara Bilogai di Sugapa, Kabupaten Intan Jaya.

"Salah satu persoalannya adalah cuaca dan panjang bandara," kata Jeff Ron.

Landasan bandara Bilogai  'hanya' sepanjang 750 meter. Pilot yang akan turun harus berhitung secara tepat ketika mendaratkan pesawatnya.

Namun ini belum seberapa, menurut Jeff Ron. Yang lebih 'menakutkan' adalah ketinggian terbang. Kawasan Pegunungan Tengah Papua terdiri atas gunung-gunung tinggi. Kalau menjelajah ke Intan Jaya atau Puncak Jaya, minimal pesawat harus berada pada ketinggian sekitar tujuh ribu meter. Padahal pesawat bermesin kecil seperti yang ia piloti tak dilengkapi dengan pengatur tekanan udara seperti terdapat pada pesawat ATR atau pesawat Boeing.

Jika sudah demikian, pengalamanlah yang sangat menentukan. Meskipun juga, ada beberapa pilot senior yang telah puluhan tahun terbang di balik gunung-gemunung di Papua, namun pesawatnya menabrak tebing dan tewas.

"Kalau mulai pening atau mata berkunang-kunang, saya segera turunkan ketinggian. Biasanya itu karena oksigennya sudah sangat tipis. Ini yang ditakuti oleh pilot yang lain. Karena bisa kehilangan kesadaran. Tiba-tiba saja pesawat sudah di depan tebing dan tidak bisa menghindar," kata Jeff Ron. Dengan kecepatan minimal  300 knot (sekitar 600 km/jam), menghindari tebing minimal dari jarak seribu meter.

Faktor lain  menurut Jeff Ron adalah cuaca. Dalam hitungan menit cuaca di Pegunungan Tengah bisa berubah drastis.

"Kalau saya ke sana, paling lama hanya 10 menit di darat. Lalu harus segera keluar. Tetapi kalau kabut tutup sama sekali, pilihannya nginap," kata Jeff Ron. Sebab itu setiap kali terbang ia selalu menyiapkan pakaian dan logistik untuk dua hari.

Ketika kami ketemu malam itu, di UGD RS Dian Harapan, Jeff Ron baru saja turun dari Ilaga. Ia tertahan sehari di sana karena cuaca sangat buruk. Tidur di rumah penduduk.

Malam-malam ketika tiba di rumah itulah, Jeff Ron akan menyiapkan makan malam. Tak sengaja kuali penggorengan miring,  dan minyak panas mengenai dadanya. Melepuh pada beberapa bagian. Tengah malam itu ia datang ke Dian Harapan.

 Sambil menunggu dokter itulah kami bercerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun