Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemekaran Wilayah: Papua dan Empat Masalah Laten

3 Agustus 2022   20:10 Diperbarui: 3 Agustus 2022   20:18 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Papua adalah pulau besar di sebelah timur Indonesia. Terbagi menjadi dua, yakni negara Papua New Guninea (PNG) di sebelah timur dan Papua yang kerap disebut Papua Barat (West Papua) di sebelah barat. Papua Barat inilah yang menjadi bagian dari wilayah Indonesia.

Secara administratif pemerintahan, Papua terbagi menjadi dua provinsi yakni Provinsi Papua dengan ibukota Jayapura dan Provinsi Papua Barat yang beribukota di Manokwari. Kini pemekaran Papua dilakukan, menjadi 5 provinsi sejak Juni 2022.

Kekayaan Papua telah membuatnya ibarat gula yang dikerubuti semut. Begitu banyak orang yang datang dan belakangan melahirkan persoalan-persoalan di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Usai tambang berskala raksasa beroperasi di Papua kini di Merauke mudah menemukan perkebunan sawit dengan membabat ratusan hektar hutan.

Hingga tahun 1970 mayoritas suku Melanesia yang mendiami Papua. Tetapi sejak pulau ini menyatakan berintegrasi ke dalam wilayah RI pada tahun 1969, pendatang mulai membanjiri Papua. 

Hal ini tak terlepas dari kebijakan pembangunan yang dicanangkan pemerintah yakni transmigrasi dari pulau-pulau lain terutama dari Jawa sebelum dihentikan pada awal tahun 1990 karena dinilai mengganggu demografi Papua. 

Persoalan keseimbangan demografi antara penduduk asli Papua dan pendatang non-Papua serta penguasaan terhadap sumber-sumber ekonomi ini menjadi persoalan yang menonjol akhir-akhir ini. Tak luput juga transmigrasi spontan dan  perpindahan PNS dalam rangka mencari penghidupan yang lebih layak. 

Sejak dahulu, laju pertumbuhan ekonomi di Papua memang sangat pesat, tetapi hanya di kota-kota provinsi dan kabupaten, dan pusat-pusat kemajuan lainnya.  

Kemajuan ekonomi ini tidak dinikmati oleh rakyat Papua. Karena para pendatang dari luar Papua-lah yang menguasai pusat-pusat perekonomian dan pembangunan di perkotaan, sementara masyarakat asli Papua menetap di wilayah-wilayah mereka di pegunungan. Bahkan sekarang ada wilayah, seperti Merauke misalnya, penduduknya didominasi oleh pendatang dari luar Papua.

Secara sederhana, jika ditanya, apa persoalan Papua hari ini? Jawabannya mudah: Pendidikan, Kesehatan dan kesejahteraan warganya. Tiga persoalan ini sudah ada  sejak Indonesia merdeka sampai sekarang.

Sampai dengan saat ini berbagai program pemerintah sepertinya tak membuat warga Papua sejahtera. Mulai dari bagi hasil dengan Freeport, dana Otnomi Khusus dan rupa-rupa program lainnya.

Indikator kesejahteraan melalui Indeks Pembangunan Manusia pada lima tahun terakhir ini (2017-2022) meskipun mengalami kenaikan,  Papua  masih berada pada posisi kedua paling rendah di Indonesia.

Catatan-catatan tentang kematian yang menimpa warga asli Papua yang tinggal di gunung-gunung masih mudah kita jumpai sampai saat ini. Tingkat kemiskinan yang tinggi dan derajat kesehatan yang rendah di kalangan warga asli Papua membuat angka kematian lebih tinggi dibanding tingkat kelahiran. Ini menjadi ancaman tersendiri bagi warga asli Papua.

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua periode 2016-2019, drg. Aloysius Giyai, M.Kes, mengakui cakupan pelayanan kesehatan di Papua masih yang paling buruk di Indonesia.

“Dari semua cakupan pelayanan kesehatan di Indonesia, Papua yang paling buruk. Terutama sanitasi lingkungannya,” kata dia. 

Cakupan kesehatan yang buruk inilah yang membuat angka kematian ibu dan anak masih tinggi hampir di semua kabupaten di Papua. “Sebelas kabupaten nilai rapornya masih  merah di bidang ini.  Yang kuning 10 kabupaten lain, dan sisanya sudah  dianggap hijau karena cakupan kesehatannya baik,” kata dokter Alo. Provinsi Papua memiliki luas wilayah 317.602 km2, terdiri atas 28 Kabupaten dan 1 kota yang meliputi 385 distrik.

Menurut dia, dua pokok masalah kesehatan di tingkat masyarakat asli Papua. Pertama, penanganan kesehatan di sebagian besar masyarakat masih tergantung pada ikatan budaya sehingga pengobatan medis secara modern relatif kalah dan tertinggal. Kedua,  mahalnya biaya pengobatan, sehingga akses masyarakat miskin terhadap kesehatan relatif sulit.

“Kelahiran lebih sedikit daripada kematian. Lama-lama kami bisa habis,” ujar Aloysius.

Tetapi kesehatan hanya sebuah kepingan puzzle dari potret besar persoalan di Papua. Para peneliti dan penggiat transformasi sosial di sana umumnya mengidentifikasi empat persoalan pokok yang terkait satu sama lain, dan menandai dinamika persoalan di Papua.

Pertama, sejarah politik Papua yang problematik terkait Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Persoalan ini yang belakangan membidani lahirnya protes oleh sekelompok orang. Ada yang berjuang lewat jalur diplomasi di luar negeri, namun ada pula yang bergerilya menenteng senjata di gunung-gunung.

Kedua, paradoks pembangunan yang kendati sangat marak namun gagal membawa kesejahteraan bagi warga biasa. Justru yang terjadi adalah  ketidakadilan dan kehancuran ekologis. Ketiga, pelanggaran politik dan hak asasi manusia. Dan keempat, peminggiran orang asli Papua melalui program-program pengembangan ekonomi dan transmigrasi.

Salah satu persoalan yang segera kelihatan adalah komposisi warga asli Papua dan non-Papua yang tidak berimbang.

Soal komposisi ini dokter Aloysius pernah mengutip Jim Elmslie, peneliti dari Universitas Sidney di Australia. Dalam tajuknya yang berjudul: West Papua Demographic Transition and the 2010 Indonesian Cencus: Slow Motion Genocide or Not?” Elmslie memperkirakan pada tahun 2020 jumlah penduduk Papua secara keseluruhan mencapai 7,2 juta orang. Dengan perbandingan penduduk asli mencapai 2,1 juta (28,9 persen) dan penduduk migran (non-Papua) sebanyak 5,1 juta (71,1 persen).

Jika ingin  pemekaran Papua benar-benar membawa kesejahteraan bagi warganya, terutama untuk Orang Asli Papua, empat persoalan laten di atas perlu diselesaikan terlebih dahulu.

Di luar itu, saya pesimis!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun