Catatan-catatan tentang kematian yang menimpa warga asli Papua yang tinggal di gunung-gunung masih mudah kita jumpai sampai saat ini. Tingkat kemiskinan yang tinggi dan derajat kesehatan yang rendah di kalangan warga asli Papua membuat angka kematian lebih tinggi dibanding tingkat kelahiran. Ini menjadi ancaman tersendiri bagi warga asli Papua.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua periode 2016-2019, drg. Aloysius Giyai, M.Kes, mengakui cakupan pelayanan kesehatan di Papua masih yang paling buruk di Indonesia.
“Dari semua cakupan pelayanan kesehatan di Indonesia, Papua yang paling buruk. Terutama sanitasi lingkungannya,” kata dia.
Cakupan kesehatan yang buruk inilah yang membuat angka kematian ibu dan anak masih tinggi hampir di semua kabupaten di Papua. “Sebelas kabupaten nilai rapornya masih merah di bidang ini. Yang kuning 10 kabupaten lain, dan sisanya sudah dianggap hijau karena cakupan kesehatannya baik,” kata dokter Alo. Provinsi Papua memiliki luas wilayah 317.602 km2, terdiri atas 28 Kabupaten dan 1 kota yang meliputi 385 distrik.
Menurut dia, dua pokok masalah kesehatan di tingkat masyarakat asli Papua. Pertama, penanganan kesehatan di sebagian besar masyarakat masih tergantung pada ikatan budaya sehingga pengobatan medis secara modern relatif kalah dan tertinggal. Kedua, mahalnya biaya pengobatan, sehingga akses masyarakat miskin terhadap kesehatan relatif sulit.
“Kelahiran lebih sedikit daripada kematian. Lama-lama kami bisa habis,” ujar Aloysius.
Tetapi kesehatan hanya sebuah kepingan puzzle dari potret besar persoalan di Papua. Para peneliti dan penggiat transformasi sosial di sana umumnya mengidentifikasi empat persoalan pokok yang terkait satu sama lain, dan menandai dinamika persoalan di Papua.
Pertama, sejarah politik Papua yang problematik terkait Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Persoalan ini yang belakangan membidani lahirnya protes oleh sekelompok orang. Ada yang berjuang lewat jalur diplomasi di luar negeri, namun ada pula yang bergerilya menenteng senjata di gunung-gunung.
Kedua, paradoks pembangunan yang kendati sangat marak namun gagal membawa kesejahteraan bagi warga biasa. Justru yang terjadi adalah ketidakadilan dan kehancuran ekologis. Ketiga, pelanggaran politik dan hak asasi manusia. Dan keempat, peminggiran orang asli Papua melalui program-program pengembangan ekonomi dan transmigrasi.
Salah satu persoalan yang segera kelihatan adalah komposisi warga asli Papua dan non-Papua yang tidak berimbang.
Soal komposisi ini dokter Aloysius pernah mengutip Jim Elmslie, peneliti dari Universitas Sidney di Australia. Dalam tajuknya yang berjudul: West Papua Demographic Transition and the 2010 Indonesian Cencus: Slow Motion Genocide or Not?” Elmslie memperkirakan pada tahun 2020 jumlah penduduk Papua secara keseluruhan mencapai 7,2 juta orang. Dengan perbandingan penduduk asli mencapai 2,1 juta (28,9 persen) dan penduduk migran (non-Papua) sebanyak 5,1 juta (71,1 persen).