Ini adalah catatan perjalanan saya beberapa tahun lalu menelusuri daerah-daerah terpencil di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua.Â
Kisah tentang masyarakat biasa yang menjadi Kader Kesehatan di wilayahnya, berjibaku agar kematian ibu dan anak bisa ditekan. Papua kini bukan lagi  provinsi dengan tingkat kematian ibu dan anak tertinggi di Indonesia seperti data Kemenkes tahun 2020. Â
***
ADA satu hari di mana kami  sebenarnya akan ke Tolikara dari Wamena, di Pegunungan Tengah Papua. Dua orang kader kesehatan harus diwawancarai di sana. Kami akan melewati Puncak Mega, titik di mana seluruh keindahan Lembah Baliem di bawahnya boleh dilihat dari atas.
Tetapi karena kondisi di Tolikara sedang panas akibat Pilkada pada Februari 2017 itu, tujuan dialihkan ke Iriliga, Distrik Bpiri, Kabupaten Jayawijaya, sebuah kampung yang berangin di atas bukit-bukit  hijau.  Andrie Lummy, Area Manager WVI yang meliputi Jayawijaya, Lanny Jaya dan Tolikara pagi-pagi telah mengirim pesan pembatalan:
"Jalan menuju Tolikara belum bisa dilewati karena sedang dipalang terkait Pilkada dan peristiwa tabrakan maut beberapa hari lalu. Sopir yang tabrak belum bayar ganti rugi," kata Andrie.
Kami berkendara selama satu jam melewati Kampung Air Garam di Distrik Bugi. Kampung ini terkenal berkat Yali Inggibal dan Kepala Suku Wulep Kenelak yang membangun jamban agar warganya tidak buang air besar di sembarang tempat. Jamban bikinan Yali telah diduplikasi ke beberapa desa di sekitarnya, termasuk konsep denda yang diterapkan Wulep.
Yali dan Wulep menjadi tokoh penggerak untuk kampung Air Garam, Manda dan tiga kampung lainnya di sekitar Air Garam. Total sudah 328 buah jamban mereka bikin.
Lepas dari Distrik Bugi, kami masuk Distrik Yalengga, lalu belok kanan keluar dari ruas jalan Wamena-Tolikara. Mobil mulai merayap di punggung-punggung bukit. Jalan baru perkerasan, tetapi di sana-sini telah digerus banjir. Andai saat naik sedang turun hujan, kami harus balik kanan ke Wamena.Â
Bahkan mobil jenis four wheel drive seperti yang kami tumpangi akan sukar melewati jalanan yang licin dengan kemiringan 60 derajat. Namun beruntung, selama dua minggu pada akhir Februari itu, Jayawijaya hanya diguyur hujan ringan.
Dan kami tiba di Iriliga. Mobil telah kami tinggalkan jauh di belakang di atas bukit yang lain. Kami berjalan kaki. Jembatan kayu yang menjadi penghubung antar kampung tak kuat menahan bobot mobil. Tetapi lebih dari itu kami sengaja memilih jalan kaki, agar dapat menikmati alam Iriliga seasli-aslinya.
Barisan pegunungan yang memanjang dan curam menjadi pembatas kawasan ini, sebab di sebelah gunung itu adalah kabupaten lain yakni Kabupaten Membramo Tengah. Namun di sisi yang berlawanan, setelah melewati landskap pemukiman warga, pandangan bisa leluasa dilepas ke lembah Baliem yang elok di bawahnya.Â
Saya membayangkan kawasan Puncak di Bogor Jawa Barat yang setiap akhir pekan penuh oleh atlet paralayang, dengan payung warna-warni memenuhi udara di atasnya. Potensi olahraga sekaligus wisata paralayang  sangat terbuka di gunung-gunung di Jayawijaya.
 Tentu saja Iriliga tak ada dalam peta Indonesia, kecuali peta kabupaten Jayawijaya. Di bawah terik matahari bersama fasilitator Wahana Visi Indonesia (WVI), kader kesehatan Lanni Koroba dan Sara Uaga,  kami berjalan kaki. Sara tengah hamil delapan bulan, tetapi masih kuat naik-turun bukit. Langkahnya kadang terlalu cepat bagi kami.
Tujuan kami menemui Wamber Gombo, tokoh agama di Iriliga. Begitu tiba di Gereja GIDI Jemaat Anugerah Iriliga semua rasa lelah seolah terbayar tuntas. Saya kaget, karena tiba-tiba kami telah berada di ketinggian, dikepung oleh lanskap pegunungan yang indah.
Ladang ipere menghampar jauh, kerap menukik di dasar lembah. Sukar mencari tanah yang datar di sini, kecuali di mana kampung-kampung berada. Dan setiap kampung dipagari oleh kayu-kayu yang ditancap rapi lalu atasnya diberi "payung" rumput-rumput agar tak mudah lapuk terkena hujan dan panas.Â
Setiap kampung punya gerbang sebagai jalan masuk-keluar. Setiap gerbang juga "dipayungi" dan selalu ditutup. Beberapa anak kecil berlari-lari membuka gerbang buat kami. Dan dalam sekejap seluruh kampung telah berkumpul.
Bukan hanya kampung yang diberi pagar sebagai batas teritori. Ternyata setiap rumah memiliki pagarnya masing-masing, melingkari seluruh bagian rumah dengan halaman yang luas. Sehingga ketika anak-anak ingin bermain bersama kawan-kawan sekampung, ia akan keluar melewati gerbang rumahnya dan datang ke halaman kampung yang lebih luas. Rumput-rumput di halaman dipangkas rapi.
Saya kagum karena yang seperti ini hanya pernah saya tonton dalam film-film  kolosal tentang raja dan pengeran dari pedalaman Irlandia.Tetapi kali ini kami berada di Iriliga di Papua, masih bagian dari Indonesia. Sebagai orang yang hidup di Jakarta yang jarak antar rumah hanya dipisah oleh tembok, datang ke Iriliga memang bikin iri. Kalau tidak kaya luar biasa, tak mungkin punya rumah berhalaman luas seperti di sini.
Dan bagi saya , honai-honai yang teratur rapi dengan public space di depannya, Â dan bangunan gereja pada ujungnya yang lain, hanya dihasilkan oleh peradaban yang maju. Saya yakin semua itu dirancang dengan sengaja. Dari hal ini saja saya menjadi sangsi dengan pandangan sementara orang yang menilai warga Papua terbelakang dan bodoh.Â
Sebab tidak mungkin menata lanskap perkampungan yang  menghadap hamparan lembah di bawahnya,  dan gunung yang memagarinya di belakang, jarak antar honai sekian meter, dirancang oleh mereka yang bodoh.
Bagi saya, orang  Papua memiliki kegeniusannya sendiri. Punya local wisdom-nya  sendiri. Punya cara bertahan hidupnya sendiri. Punya ipere yang tidak perlu diganti dengan beras. Punya sayur-sayuran, buah, kopi, tebu, buah merah, dan apa saja yang telah menghidupi mereka secara turun-temurun.Â
Mereka punya babi sebagai sumber gizi dan komoditas ekonomi. Sialnya, kita selama ini mengukur segala kemajuan dari Jawa. Dilihat dengan kacamata Jakarta. Juga Papua dan rakyatnya selalu dilihat dari kacamata ini. Dan mereka dicap bodoh dan terbelakang.
Keramahan selalu tampil kapan saja, di mana saja di sini. Keramahan yang tulus. Bukan keramahan yang basa-basi. Maka ipere bakar mudah terulur dari dalam noken ibu-ibu. Itu bekal makan siang mereka di ladang. Agar kami yang masih berjalan jauh tak perlu kelaparan. Ikhlas!
Atau ada yang menahan kami agar menunggu barang sebentar saja. Lalu ia berlari-lari ke honainya. Kemudian datang menatang nampan berisi ipere bakar yang manis.Â
Atau di lain rumah, si empunya rumah secara terburu-buru memetik buah markisa dari pohonnya. Ia mengulurkannya dengan wajah penuh senyuman, dan berujar, "Maaf, kami tidak bisa memberi apa-apa selain ini."
 Kala berpapasan di jalan, entah kenal atau tidak kenal, ringan sekali kami disapa dan diajak berjabat tangan. Rupanya berjabat tangan dan mengucapkan salam sudah mendarah daging.Â
Pada jalanan yang menanjak tajam di Iriliga itu, mama-mama dengan noken yang penuh berisi ubi dan sayuran di kepalanya, selalu berhenti sekedar berjabat tangan dan mengucapkan salam. Keramahan orang kampung yang tulus.Â
Tidak dibuat-buat. Sebab orang yang lewat di hadapannya adalah sesama yang perlu disapa. Homo homini socius!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H