Mereka punya babi sebagai sumber gizi dan komoditas ekonomi. Sialnya, kita selama ini mengukur segala kemajuan dari Jawa. Dilihat dengan kacamata Jakarta. Juga Papua dan rakyatnya selalu dilihat dari kacamata ini. Dan mereka dicap bodoh dan terbelakang.
Keramahan selalu tampil kapan saja, di mana saja di sini. Keramahan yang tulus. Bukan keramahan yang basa-basi. Maka ipere bakar mudah terulur dari dalam noken ibu-ibu. Itu bekal makan siang mereka di ladang. Agar kami yang masih berjalan jauh tak perlu kelaparan. Ikhlas!
Atau ada yang menahan kami agar menunggu barang sebentar saja. Lalu ia berlari-lari ke honainya. Kemudian datang menatang nampan berisi ipere bakar yang manis.Â
Atau di lain rumah, si empunya rumah secara terburu-buru memetik buah markisa dari pohonnya. Ia mengulurkannya dengan wajah penuh senyuman, dan berujar, "Maaf, kami tidak bisa memberi apa-apa selain ini."
 Kala berpapasan di jalan, entah kenal atau tidak kenal, ringan sekali kami disapa dan diajak berjabat tangan. Rupanya berjabat tangan dan mengucapkan salam sudah mendarah daging.Â
Pada jalanan yang menanjak tajam di Iriliga itu, mama-mama dengan noken yang penuh berisi ubi dan sayuran di kepalanya, selalu berhenti sekedar berjabat tangan dan mengucapkan salam. Keramahan orang kampung yang tulus.Â
Tidak dibuat-buat. Sebab orang yang lewat di hadapannya adalah sesama yang perlu disapa. Homo homini socius!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H