Tahun 2010 Japan Airlines (JAL) dinyatakan bangkrut. Â Meninggalkan utang yang besar. Sekitar 400 triliun rupiah. Padahal setahun sebelumnya pemerintah Jepang sudah menyuntikan dana segar. 900 juta yen. Setara Rp 122 miliar. Tapi tak berefek sama sekali.
Luka JAL sangat dalam. Terlanjur berdarah-darah.
Jalan terakhir ditempuh. Â Sebuah konsorsium dibentuk. Terdiri atas beberapa perusahaan. Di bawah komando pemerintah. Tujuannya adalah menyelamatkan perusahaan penerbangan ini. Dari kebangkrutan total.
Konsorsium diberi nama Enterprise Turnaround Initiative Corporation of Japan. Disingkat ETIC.
Anggota ETIC adalah para CEO hebat. Dengan pengalaman panjang. Dan jaringan luas.Â
Namun tak satu pun yang mau pegang komando. Â Bukan tak sanggup. Tapi ngeri saja. Salah langkah, JAL bisa benar-benar meregang nyawa.
Diperlukan seseorang yang punya pengalaman lebih panjang dari mereka. Punya jaringan lebih luas dari mereka. Punya banyak akal. Kalau bisa seorang "naga berkepala sembilan". Perlu ahlinya ahli. Core of the core. Intinya inti. Istilah Pak Ndul. Â
Konsorsium minta seorang kakek 'turun gunung'.
Padahal si kakek sudah hidup tenang. Sudah disumpah jadi pendeta zen. Seorang biksu.
Tapi rupanya tugas 'negara' lebih penting. Kalau JAL sampai bangkrut beneran, bukan hanya perusahaan yang malu. Tetapi seluruh negeri. Soalnya, Â salah satu "wajah" Jepang terpampang pada perusahan penerbangan ini.