Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Revitalisasi Adat Kematian dan Perkawinan di Sumba Tmur

2 Agustus 2022   20:16 Diperbarui: 2 Agustus 2022   20:22 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penandatanganan kesepakatan penyederhanaan adat kematian dan perkawinan (Dok.WVI)

Perjalanan paling baru saya ke Sumba terjadi pada Maret-April 2022 lalu. Untuk menuliskan praktik baik Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) di Sumba Timur, NTT. Praktik baik tentang perlindungan anak dan pemberdayaan masyarakat. 

Salah satu topiknya adalah soal revitalisasi adat perkawinan dan kematian yang terkait dengan pendidikan anak.

Saya jumpa Gidion Mbilijora Bupati Sumba Timur periode 2016-2021. Sebelumnya ia menjabat Wakil Bupati pada periode 2011-2016, sebelum di tengah perjalanan ia menggantikan Bupati Umbu Mehang Kunda yang meninggal dunia. Ia bercerita tentang ini:

Suatu kali Ketua WVI Sumba Timur, dr. Amsal Ginting (1971-2015) datang menghadapnya untuk melaporkan program kerja Yayasan itu. Antara lain soal pengadaan dokumen kependudukan bagi anak-anak berupa Akta Lahir.

 Amsal Ginting, kata dia, ingin melaksanakan kampanye antara lain dengan cara memasang baliho sebagai seruan kepada orang tua agar memprioritaskan anak-anak mereka.  Amsal Ginting bertanya kepadanya, "Bapa Bupati ada ide soal baliho? Apa yang harus kita tulis?"

Gidion dengan sigap menjawab. Ia berkata: "Hewan saja ada suratnya, masa anak-anak kita tidak?"

Yang datang bersama Amsal Ginting adalah seorang Jawa. Karikaturis. Ia yang akan menerjemahkan omongan Pak Bupati ke dalam gambar dan tulisan.

"Eh, itu karikaturis dia kaget sekali. Dia bilang, 'masa anak disamakan dengan hewan'? Terus saya bilang, 'Sumba ini wataknya keras,Pak. Jadi kita juga mesti keras omongnya', hehehe," kata Gidion tertawa.

Namun apa yang disampaikan Gidion adalah gambaran bahwa anak-anak, terutama masa depan mereka dalam pendidikan, belum terlalu dipedulikan oleh mayoritas orang tua di Sumba Timur dan Pulau Sumba pada umumnya. Pesta-pesta adat lebih penting dari pada masa depan anak-anak.

"Kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri. Sampai sekarang masih terjadi," kata Gidion kepada saya.

Sejak tahun 2015 WVI sudah menginisiasi penyederhanaan adat perkawinan dan kematian di Sumba Timur. Mereka bekerjasama dengan Forum Peduli Adat (FPA) "Pangadangu Mahamu" dan tokoh masyarakat di setiap desa.

Tujuannya satu: Prioritaskan pendidikan anak-anak. Bukan pesta adat!

Beberapa hari sebelum saya berjumpa Gidion, saya berada di bagian paling selatan kabupaten ini, di Desa Tawui, Kecamatan Tabundung. Ini daerah yang berbatasan dengan lautan Hindia, karena di sebelahnya sudah Australia. Piter Nahu Mara, sang kepala desa, adalah salah satu tokoh yang  sudah melaksanakan deklarasi penyederhanaan adat perkawinan dan kematian  di desanya.

"Maksimal di sini jenazah hanya boleh disimpan di rumah selama 8 hari sesuai kesepakatan bersama. Tuan rumah hanya menyiapkan makanan untuk tamu sebanyak tiga kali saja. Saat kumpul keluarga, pas rembuk soal pemakaman dan saat hari pemakaman," ujarnya.

 Sebab di Sumba Timur ada kebiasaan menyimpan jenzah di rumah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, hingga datang "hari baik" ketika seluruh keluarga dikumpulkan dan yang meninggal dimakamkan. Selama jenazah berada di rumah, orang yang datang melayat wajib diberi suguhan.

"Dan itu biayanya bisa sampai 300-500 juta," kata Paulus K. Tarap, salah satu anggota FPA.

Saya jumpa Paulus lagi pertengahan Juli 2022 di Jakarta. Ia sedang mengikuti lokakarya penerima Fasilitasi Bidang Kebudayaan dari Kemendikbudristek. Yang ia usulkan adalah tentang revitalisasi adat perkawinan dan kematian di atas.

"Kita di Sumba sama sekali belum mengutamakan anak-anak untuk sekolah. Orang tua rela berutang untuk acara adat, sementara sekolah anak-anak tidak dipedulikan," kata Paulus.

Penulis bersama Paulus K. Tarap, anggota Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu, Sumba Timur. Dokumen pribadi 
Penulis bersama Paulus K. Tarap, anggota Forum Peduli Adat Pangadangu Mahamu, Sumba Timur. Dokumen pribadi 

Banyak orang tua yang terbelenggu oleh hutang adat, kata dia.

Tokoh lain yang saya jumpai adalah Marius Kuramoki. Ia mantan camat. Sudah pensiun. Seorang keturuan bangsawan. Ia yang pertama menyampaikan ide pembentukan FPA. Sebab ia pernah merasakan sendiri betapa kuliahnya terkatung-katung karena orang tuanya lebih mengutamakan adat, ketimbang ia yang sedang kuliah.

"Karena saya yang usul, saya mulai dari diri sendiri. Dari keluarga sendiri. Mula-mula sangat berat tantangannya. Bahkan dimaki-maki," kata dia.

Adik ayahnya meninggal. Marius nekat menerapkan aturan bersama di atas. Aturan yang sudah dilaksanakan di beberapa desa.

"Delapan hari saja. Dan bisa jalan. Dengan pengeluaran yang sedikit," kata dia.

Tak urung, keluarga memusuhinya. Tetapi belakangan, kata Marius, mereka justru berterima kasih. Sebab taka da utang adat dari peristiwa itu.

"Di Sumba Timur ini masih banyak orang yang punya hutang adat turun-temurun. Dan wajib dibayarkan. Kalau tidak ada uang saat itu, terpaksa tanah yang dijual. Dan sering terjadi," kata dia.

Hemat WVI, telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat

dan organisasi non-pemerintah untuk meningkatkan pendapatan warga. Pendapatan memang meningkat dari tahun ke tahun, tetapi perubahan taraf hidup masyarakat relatif tetap, bahkan cenderung menurun. 

Hal ini disebabkan oleh upaya peningkatan pendapatan tersebut tidak diimbangi dengan pengurangan biaya sosial, dalam hal ini besarnya biaya adat antara lain perkawinan adat, pesta kematian, dan pembuatan rumah adat. Demikian dicatat WVI.

Warga mengakui bahwa mereka telah berinvestasi dalam bentuk ternak seperti babi dan kerbau, dan menabung uang untuk digunakan sebagai mas kawin (belis) pada upacara pernikahan atau persembahan pada upacara pemakaman. 

Praktik ini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial mereka. Masyarakat beranggapan, apabila mereka tidak membawa persembahan, harga diri mereka akan terinjak-injak dan mungkin akan diasingkan oleh  kerabat. 

Praktik semacam ini menyebabkan banyak keluarga menghabiskan sumber dayanya dan mengabaikan pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, antara lain Pendidikan anak-anak mereka.

Sebab itu WVI mengupayakan yang disebut revitalisasi adat di atas.

"Bukan untuk menghilangkan budayanya, tetapi tatacaranya dibikin lebih sederhana," kata Paulus kepada saya.

Kini sudah 33 desa (dari 156) di seluruh Sumba Timur yang menandatangani deklarasi penyederhanaan adat tersebut.

"Kalau bisa 70 desa saja yang sudah tandatangani kesepakatan revitalisasi ini, kita sodorkan kepada Bupati atau DPRD untuk dibuatkan Peraturan Daerah.Pelanggarnya akan dikenai sanksi," kata Paulus optimis.

Bagi WVI tak ada pilihan lain kecuali terus mendorong masyarakat mempraktikkan nilai komunal yang positif yakni membatasi pengeluaran dalam upacara budaya sehingga kapasitas dan sumber daya yang dimiliki dipakai untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak-anak mereka. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun