Adik ayahnya meninggal. Marius nekat menerapkan aturan bersama di atas. Aturan yang sudah dilaksanakan di beberapa desa.
"Delapan hari saja. Dan bisa jalan. Dengan pengeluaran yang sedikit," kata dia.
Tak urung, keluarga memusuhinya. Tetapi belakangan, kata Marius, mereka justru berterima kasih. Sebab taka da utang adat dari peristiwa itu.
"Di Sumba Timur ini masih banyak orang yang punya hutang adat turun-temurun. Dan wajib dibayarkan. Kalau tidak ada uang saat itu, terpaksa tanah yang dijual. Dan sering terjadi," kata dia.
Hemat WVI, telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat
dan organisasi non-pemerintah untuk meningkatkan pendapatan warga. Pendapatan memang meningkat dari tahun ke tahun, tetapi perubahan taraf hidup masyarakat relatif tetap, bahkan cenderung menurun.Â
Hal ini disebabkan oleh upaya peningkatan pendapatan tersebut tidak diimbangi dengan pengurangan biaya sosial, dalam hal ini besarnya biaya adat antara lain perkawinan adat, pesta kematian, dan pembuatan rumah adat. Demikian dicatat WVI.
Warga mengakui bahwa mereka telah berinvestasi dalam bentuk ternak seperti babi dan kerbau, dan menabung uang untuk digunakan sebagai mas kawin (belis) pada upacara pernikahan atau persembahan pada upacara pemakaman.Â
Praktik ini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sosial mereka. Masyarakat beranggapan, apabila mereka tidak membawa persembahan, harga diri mereka akan terinjak-injak dan mungkin akan diasingkan oleh  kerabat.Â
Praktik semacam ini menyebabkan banyak keluarga menghabiskan sumber dayanya dan mengabaikan pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, antara lain Pendidikan anak-anak mereka.
Sebab itu WVI mengupayakan yang disebut revitalisasi adat di atas.