Membahas mengenai peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di negara Indonesia, tentunya kita tidak terlepas dari kejadian di daerah Timor Timur pada tahun 1999. Tahun ini merupakan tahun terpenting bagi daerah Timor Timur. Di tahun ini, serangkaian peristiwa terjadi untuk menentukan status kemerdekaan dari daerah Timor Timur itu sendiri.Â
Salah satu peristiwa yang terjadi adalah, disetujuinya referendum kemerdekaan dan pemisahan secara langsung daerah Timor Timur dari teritori Negara Kesatuan Republik Indonesia.Â
Sayangnya, peristiwa ini tidak disambut baik oleh semua pihak, terutama pihak dari negara Indonesia. Akibatnya, dikala itu, berbagai bentuk tindakan pelanggaran HAM pun terjadi, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran, penahanan ilegal, sampai dengan pemaksaan deportasi, semua terjadi pada tahun ini.Â
Informasi ini didasarkan oleh wawancara yang dilakukan penulis dan beberapa anggota kelompok lain kepada narasumber yang kita sebut saja "Pak Budi" (Narasumber menginginkan namanya untuk di anonimkan)
Bila kita mundur sejenak, dalam sejarahnya, memang dahulu daerah Timor Timur pernah bergabung menjadi salah satu daerah di dalam teritori NKRI. Kondisinya waktu itu, di tahun 1975, daerah Timor Timur masih dibawah pemerintahan negara Portugis. Namun, pada saat itu, pemerintahan Portugis menjanjikan kemerdekaan kepada daerah Timor Timur dan dari sinilah terbentuk 3 partai besar di Timor Timur yaitu, partai Front Revolusioner untuk Timor Leste Merdeka (FRETILIN), Uniao Democratica Timorense (UDT), dan Associacao Popular Democratica Timorense (APODETI) yang dimana mereka memiliki keinginan yang berbeda- beda.Â
Partai FRETILIN sendiri, merupakan partai yang berbasis komunis, yang berisikan masyarakat Timor Timur yang ingin merdeka sepenuhnya dan berdiri menjadi negara sendiri, sedangkan partai UDT, merupakan partai anak- anak keturunan Indonesia-Portugal yang menginginkan kemerdekaan namun masih dibawah pemerintahan Portugis, dan untuk partai APODETI, partai ini merupakan partai yang berisikan masyarakat yang ingin merdeka dan bergabung dengan negara Indonesia.Â
Kompetisi ketiga partai ini dalam merekrut anggotanya masing- masing, sangatlah rusuh, sampai berujung pada konflik berdarah dan menyebabkan banyak rakyat yang mengungsi ke wilayah perbatasan dengan Indonesia.Â
Kala itu, partai FRETILIN cukup memegang kekuasaan yang besar di Timor TImur. Oleh karena itu, hal ini memicu terciptanya sebuah kekhawatiran pemerintah Indonesia akan penyebaran paham komunis di kalangan masyarakat Indonesia. Dengan ini, pemerintah Indonesia, dengan didukung oleh pemerintah AS, secara sengaja melakukan invasi militer dengan tujuan untuk menghentikan penyebaran paham komunis di Indonesia. Untungnya, dengan didukung oleh pemerintah AS, Indonesia berhasil menguasai negara Timor Timur kembali dan penyebaran paham komunis pun dapat dicegah.
Menanggapi kekalahan atas Indonesia, partai FRETILIN mulai membangun lagi kekuatannya dengan membentuk Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yang akhirnya menyebabkan banyaknya perang saudara pada saat itu. Puncak dari kerusuhan ini terjadi di tahun 1999. Di tahun ini, Pak Presiden B.J. Habibie kembali memberikan kesempatan bagiÂ
daerah Timor TImur untuk menentukan kembali nasib kemerdekaanya, apakah ingin bergabung dengan Indonesia atau ingin berdiri sendiri sebagai suatu negara? Melalui jajak pendapat yang diselenggarakan oleh United Nations Mission in East Timor (UNAMET), lembaga yang didirikan oleh PBB, didapatkan hasil sebanyak 21,5% memilih otonomi dan 78,5% memilih untuk berpisah.Â
Sayangnya, hasil ini tidak disambut baik oleh beberapa pihak, khususnya Indonesia. Hasil ini dinilai sebagai bentuk kecurangan oleh pihak UNAMET yang bersifat pro-kemerdekaan. Melalui hal ini, terjadilah kerusuhan besar- besaran di kota Dili, oleh tentara Indonesia yang berjuang dalam mempersatukan negara Timor Timur disana.Â