PT KAI dapat dikenakan sanksi sesuai Pasal 107 UU No.8 Tahun 1995 yang menyatakan: “Setiap Pihak yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan Pihak lain atau menyesatkan Bapepam, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran termasuk Emiten dan Perusahaan Publik diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).”
Perbuatan manajemen PT.KAI merugikan publik/masyarakat dan pemerintah.
Publik (investor); dirugikan karena memperoleh informasi yang menyesatkan, sehingga keputusan yang diambil berdasarkan informasi keuagan PT. KAI menjadi tidak akurat/salah.
Pemerintah; dirugikan karena dengan rekayasa keuangan tersebut maka pajak yang diterima pemerintah lebih kecil
Hak-hak Publik; dirugikan karena investor memperoleh informasi yang menyesatkan, sehingga keputusan yang diambil menjadi salah/tidak akurat.
Pemerintah; dirugikan karena pajak yang diterima pemerintah menjadi lebih kecil.
Rekayasa yang dilakukan manajemen PT KAI bersifat jangka pendek dan bukan jangka panjang, karena hanya menginginkan keuntungan/laba untuk kepentingan pribadi/manajemen (motivasi bonus).
Prinsip Etika Yang Dilanggar
Selain akuntan eksternal dan komite audit yang melakukan kesalahan dalam hal pencatatan laporan keuangan, akuntan internal di PT. KAI juga belum sepenuhnya menerapkan 8 prisip etika akuntan. Dari kedelapan prinsip akuntan yaitu tanggung jawab profesi, kepentingan publik, integritas, objektifitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional, dan standar teknis, prinsip-prinsip etika akuntan yang dilanggar antara lain :
Dimana seorang akuntan harus bertanggung jawab secara professional terhadap semua kegiatan yang dilakukannya. Akuntan Internal PT. KAI kurang bertanggung jawab karena dia tidak menelusuri kekeliruan dalam pencatatan dan memperbaiki kesalahan tersebut sehingga laporan keuangan yang dilaporkan merupakan keadaan dari posisi keuangan perusahaan yang sebenarnya.
Dimana akuntan harus bekerja demi kepentingan publik atau mereka yang berhubungan dengan perusahaan seperti kreditur, investor, dan lain-lain. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak bekerja demi kepentingan publik karena diduga sengaja memanipulasi laporan keuangan sehingga PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun karena manipulasi tersebut PT. KAI terlihat mengalami keuntungan. Hal ini tentu saja sangat berbahaya, termasuk bagi PT. KAI. Karena, apabila kerugian tersebut semakin besar namun tidak dilaporkan, maka PT. KAI bisa tidak sanggup menanggulangi kerugian tersebut
Dimana akuntan harus bekerja dengan profesionalisme yang tinggi. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI tidak menjaga integritasnya, karena diduga telah melakukan manipulasi laporan keuangan.
Dimana akuntan harus bertindak obyektif dan bersikap independen atau tidak memihak siapapun. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak obyektif karena diduga telah memanipulasi laporan keuangan sehingga hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu yang berada di PT. KAI.
Akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan. Dalam kasus ini, akuntan PT. KAI tidak melaksanakan kehati-hatian profesional sehingga terjadi kesalahan pencatatan yang mengakibatkan PT. KAI yang seharusnya menderita kerugian namun dalam laporan keuangan mengalami keuntungan.
Akuntan sebagai seorang profesional dituntut untuk berperilaku konsisten selaras dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesinya. Dalam kasus ini akuntan PT. KAI diduga tidak berperilaku profesional yang menyebabkan kekeliruan dalam melakukan pencatatanlaporan keuangan, dan hal ini dapat mendiskreditkan (mencoreng nama baik) profesinya.
Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dan dengan berhati-hati, akuntan mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektifitas. Dalam kasus ini akuntan tidak melaksanakan prinsip standar teknis karena tidak malaporkan laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi keuangan. Contohnya, pada saat PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset.
Pencegahan Kasus Fraud PT. Kereta Api Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H