Vousinas, 2019 dalam teorinya fraud hexagon theory mengungkapkan bahwa kolusi yang dimaksudkan pada penelitiannya merefleksikan pada suatu kegiatan penipuan yang dilakukan melalui perjanjian untuk menipu suatu pihak yang mana pihak yang ditipu berjumlah lebih dari dua orang, penipuan tersebut dilakukan guna menipu pihak tertentu demi memperoleh keuntungan pribadi. Adanya teori ini merupakan bentuk pengembangan teori yang terbaru yang mana teori tersebut berisikan unsur diantaranya adanya tekanan (pressure), adanya kesempatan (opportunity), adanya rasionalisasi atas perbuatan curang (rationalization), pelakunya memiliki kemampuan (capability), pelakunya juga memiliki sifat arogansi (arrogance) dan yang terakhir pelakunya juga melakukan kolusi (collusion). Apabila diilustrasikan fraud hexagon theory dapat digambarkan dalam gambar yang ada di bawah ini:
Berdasarkan perkembangan dari Triangle Theory sampai dengan Hexagon Theory tersebut dapat dikatakan bahwa fraud lebih banyak menimbulkan kerugian ketika dilakukan oleh pihak yang memiliki kuasa besar di dalam suatu perusahaan seperti Direktur karena mereka memiliki kemampuan (capability), sifat arogansi (arrogance) dan juga bisa melakukan kolusi (collusion) untuk menutupi kecurangan yang telah dilakukan. Oleh karena itu pihak yang berkuasa dalam suatu perusahaan memiliki lebih banyak power atau kekuasaan untuk mengabaikan pengendalian internal perusahaan karena berpikir bahwa mereka tidak tersentuh oleh pengendalian yang telah dibentuk.
Contoh Kasus Fraud di Indonesia
PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) ditemukan terlibat dalam kecurangan terkait laporan keuangan, yang merupakan bentuk penipuan yang bisa merugikan investor dan pihak terkait lainnya. Kasus ini juga melibatkan pelanggaran kode etik profesi akuntansi, di mana diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, yang menunjukkan keuntungan Rp6,9 miliar, padahal seharusnya perusahaan mengalami kerugian Rp63 miliar.
Hekinus Manao, Komisaris PT KAI dan juga Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara, menyebut bahwa laporan keuangan tersebut telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit untuk tahun 2003 dan sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sementara audit tahun 2004 dilakukan oleh BPK dan akuntan publik. Laporan keuangan tersebut kemudian diserahkan kepada Direksi PT KAI untuk disetujui sebelum disampaikan dalam Rapat Umum Pemegang Saham, namun Komisaris menolak menyetujui laporan tahun 2005 setelah menemukan kejanggalan dalam audit tersebut.
Beberapa kejanggalan yang ditemukan dalam laporan keuangan 2005 antara lain:
- Pajak pihak ketiga yang tidak ditagih selama tiga tahun dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI meskipun tidak sesuai dengan standar akuntansi.
- Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp24 miliar yang seharusnya dicatat sebagai kerugian seluruhnya pada tahun 2005.
- Bantuan pemerintah yang statusnya belum jelas dimasukkan sebagai bagian dari hutang.
- Tidak ada pencadangan kerugian atas kewajiban pajak yang tidak tertagih dari pelanggan.
Perbedaan pendapat antara Komisaris dan auditor terjadi karena kurangnya tata kelola yang baik di PT KAI, yang juga membuat komite audit baru bisa mengakses laporan keuangan setelah diaudit. Akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan PT KAI tahun 2005 diperiksa oleh Badan Peradilan Profesi Akuntan Publik dan bisa mendapat sanksi jika terbukti bersalah.
Kasus ini bermula dari pembukuan yang tidak sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum. Sebagai profesi, akuntan harus menguasai prinsip akuntansi dan menerapkan etika profesi dengan baik. Manipulasi laporan keuangan PT KAI tahun 2005 menimbulkan pertanyaan mengapa auditor menyatakan laporan tersebut wajar tanpa pengecualian, padahal banyak kejanggalan yang ditemukan. Sejak 2004, laporan PT KAI diaudit oleh Kantor Akuntan Publik, berbeda dengan sebelumnya yang melibatkan BPK, yang menimbulkan dugaan adanya kesalahan dari auditor. Profesionalisme dan etika profesi akuntan harus dijaga, karena kepercayaan masyarakat sangat bergantung pada integritas mereka. Tindakan tegas terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh akuntan perlu diberlakukan untuk menjaga kepentingan berbagai pihak.
Pembahasan Kasus Fraud PT. Kereta Api Indonesia
- Analisis 5 Question Approach
- Profitable
Pihak yang diuntungkan adalah Manajemen PT KAI karena kinerja keuangan perusahaan seolah-olah baik (laba Rp6.9 M), meskipun pada kenyataannya menderita kerugian Rp 63 M. Tidak tertutup kemungkinan, pihak manajemen memperoleh bonus dari “laba semu” tersebut.
Pihak lain yang diuntungkan adalah KAP S. Manan & Rekan, dimana dimungkinkan memperoleh Fee khusus karena memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian. - Legal
PT KAI melanggar Pasal 90 UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal “Dalam kegiatan perdagangan efek, setiap pihak dilarang secara langsung maupun tidak langsung: Menipu atau mengelabui Pihak lain dengan menggunakan sarana dan atau cara apa pun; Turut serta menipu atau mengelabui Pihak lain; dan Membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek.”
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!