Seperti yang kita tahu, dunia malam sentral Yogyakarta begitu asyik. Hiruk pikuknya menarik. Langit malamnya cerah dan berbintang, meski sedikit parau oleh knalpot kendaraan bermotor yang tak henti-hentinya menderu di sepanjang jalan rayanya. Para penglaju yang bergerak di bidang kuliner masih menikmati laris manis dagangan mereka. Warung seblak, lapak nasi gudeg, angkringan-angkringan di samping jalan, dan beberapa titik menarik Yogyakarta yang sedari tadi terus diramaikan oleh remaja-remaja pergaulan, pemuda materialistis.
Tiada kemacetan suntuk membuat mabuk, tiada deret pencakar langit yang mengintimidasi, tiada jejalan layang dan tonggak-tonggak raksasa berdiameter mega mencekat napas, apalagi dengan desas-desus mengerikan kriminalitas yang mengakar, membudaya. Semuanya benar-benar aman dan terkendali di bawah kepemimpinan Hamengkubuwono X nan berjasa.
Di Yogyakarta, hanya ada terang lampu kota yang bulat hangat, bangunan-bangunan kolonial yang dialihfungsikan oleh beberapa perusahaan swasta dan negeri, seperti bank BNI dan pusat perbelanjaan dan wisata seperti Malioboro, juga beberapa sudut estetik Yogyakarta yang kesannya selalu romantis, wajar saja, anak-anak muda duduk berselesa di sana, bersama sandingannya, bahkan sesekali tawa menyemburatkan rasa hangatnya ke kaca mobil Terios omku yang tengah berembun. Ya, inilah Yogyakarta, kota cinta yang terkenal dengan romansanya, selalu ada sesuatu di sini, dan akan tetap seperti ini, terus kuyakini.
Cinta sepasang manusia, esensi yang bahkan tak pernah kuraba. Adakah kalanya aku akan merasakannya seperihal dengan mereka? Di bawah pohon beringin, berteduh, meski tak hujan, meski tak terik, namun sendu syahdunya melebihi teman kala penghujan, pun dengan kilah panas yang menyorot hatiku yang kadung iri dan sirik. Asyik-asyik kadang pelik.
Terios hitam kepunyaan omku memasuki kawasan Dusun Wisata, suatu tempat pemukiman warga dengan gang cukup besar dengan deretan rumah dan bangunan berwarna-warni di sisinya. Kerlap-kerlip lampu atas gang, beberapa coretan dinding nasionalisme, kerumunan bocah-bocah bermain bola sepak di lapangan TK kecil, mengalihkan atensiku sesaat, sebelum kami tiba di Rumah om yang berada di tengah tempat keren ini.
Seperti biasa, sesampainya aku di rumah om, tak lupa ku cuci kaki, dan segera melaksanakan salat isya, lantas melepas rehat di atas sofa ruang tamu om yang kukenal empuk, sehingga kerap anak-anak tamu yang masih balita menghabiskan hari-harinya hanya untuk berloncatan di atasnya, walaupun mereka tahu pada akhirnya mereka akan terpental, jatuh, menangis, dan mengadukannya kepada orangtua mereka. Selanjutnya, orangtua mereka pasti bilang,
"Lah mama kecek, jan loncat-loncat di ateh sofa tu lai. Jatuh, manangih, sia nan repot lai nyo?" sembari mengelus-elus bagian tubuh anaknya yang terasa sakit. Tangis mereka terhenti, lantas tersenyum sembari tertawa kecil.
"Hehehe."
Aku menggeleng, begitu pula dengan om dan istri barunya yang cantik itu. Ia penjual busana aktif di Pusat Pasar Beringharjo kelahiran Medan yang kerap ku sapa Nantulang. Mereka duduk tepat di hadapanku. Tangan kanannya sibuk menggandeng tangan omku, beradu pandang sejenak, kemudian saling senyum sembari mengadu kedua hidung mancung mereka. Pemandangan yang membuatku sedikit bergairah, emosi, sekaligus iri. Diakhiri dengan tawa mereka timbul, sangat mengejek.
"Oiya, Bang. Usia Abang berapa sekarang?" ujar Nantulang bertanya kepadaku, wajahku tetap pahit dan cemberut.