Mohon tunggu...
Aletheia
Aletheia Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar di SMP Alam Planet Nufo, Rembang, Jawa Tengah

Pelajar ingusan yang tengah bersengketa dengan kegabutan duniawi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mayday on Unexpected Day

20 Agustus 2022   23:39 Diperbarui: 21 Agustus 2022   16:59 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kandidat Wakil Ketua OSIS SMAN 1 Sulang periode 2022/2023

          

 "Kalian harus menjadi pemimpin di sekolah kalian nanti ya. Baik dengan jalur OSIS, kelas, dan organisasi-organisasi lainnya. Ikuti!" ucap Ustaz Su'ud dengan semangat, oktaf, seperti biasanya. Menggebu-gebu di antara kami, angkatan yang baru saja beranjak dari kursi putih biru, SMP.

           "Dengan kalian menjadi pemimpin, secara langsung, kalian bisa mengendalikan dinamika yang ada di sekolah, sehingga kalian tidak akan dipermainkan oleh ketua, dan siapapun yang merasa dirinya senior di sana. Jadi, pastikan kalian semua dapat mengindahkan pesan ini baik-baik ya," lantas beliau akhiri, dan segera beranjak menuju tempat piket masing-masing.

           Sepertinya wejangan sore ini menjadi lampu hijau bagi kami, baik dalam menaikkan image pribadi, juga Planet Nufo sebagai naungan kami berdiri. Karena menjaga nama baik itu penting, mengapa tidak dilangitkan sekalian saja?

Baca juga: Dua Setengah Jam

***

"Siapa yang siap mencalonkan diri untuk mengemban amanah, menjadi wakil ketua OSIS periode selanjutnya? Silakan angkat tangan."

           Seperti biasa, sebelum kepengurusan OSIS yang usai setahun menjabat hendak purna. Reorganisasi wajib untuk diadakan, guna mencari dan menyeleksi siswa-siswa yang pantas untuk memikul tanggung jawab seluruh agenda dan beberapa program kerja nantinya. Bersama Ezy yang sedari tadi tampak serius air mukanya, sekerindangan dengan kipas angin kecil di langit-langit musala yang stagnan berputar pada orbitnya.

Baca juga: Darah Tercinta

           Seharusnya, Wildan hadir bersama kami hari itu. Nahasnya, penyakit cacar air dan bisul memenjarakannya di Planet Nufo. Padahal, antusias sekali wajahnya setiap mendengar warta-warta seputar OSIS dan kepengurusan lainnya. Dengan kemampuannya dalam beretorika dan berdebat, aku dan Ezy pun yakin, ia akan memenangkan taruhan kursi kepemimpinan OSIS tahun ini.

"Kui lho, Bu! Seng nganggo kocomoto!" pungkas seorang kakak kelas mencuri segala atensi.

           Ya. Semua mata itu tertuju pada wajahku. Seketika forum konferensi DPK (Dewan Perwakilan Kelas) yang diselenggarakan di musala SMAN 1 Sulang, riuh dengan tepuk tangan dan sorakan. Bu Eko, Bu Nora, dan Bu Dewi yang familiar dengan panggilan sayang "Ibuk" lantas menoleh kepadaku. Seolah-olah penguasa forum ini adalah aku seorang, bahkan anggota DPK yang lain enggan mengutik, benar-benar mematung. Ya sudahlah, apa boleh buat?

           BETT!

           Tanganku terangkat sedikit tegas, menghentikan kebisingan barusan. Belum, hanya sesaat, sebelum akhirnya sorak sorai tepukan tangan dan selebrasi bergema kencang, hingga langit-langit musala pun bergetar, sekeras-kerasnya. Entah angin apa yang membersit akal sehatku saat itu, sehingga memunyai secercah nyali untuk mencalonkan diri menjadi seorang kandidat pemimpin, yakni wakil ketua OSIS. Terlanjur sudah diriku melangkah, kuhanya bisa pasrah dan tabah.

           "Jadi, kamu siap untuk bercapek-capek ya, Nak," ucap Ibuk dengan suara khasnya, oktaf rendah namun cukup keras. Mata beliau menatap sungguh, pun aku yang membalas pesan tersebut dengan anggukan mantap. Tiada yang perlu diragukan lagi.

           "Nang, segera cantumkan namamu di kertas ini!" tukas Bu Eko menyahut. Lekas kuberanjak dari tempatku duduk, mengambil bolpoin, lalu mengisi salah satu kolom kosong, dari enam kolom lainnya. Tiga untuk ketua OSIS, dan sisanya untuk wakilnya.

           "Aletheia Raushan Fikra Ukma? Duh, jenengmu angel tenan e, Naang, Nang. Hehehe," lanjut Bu Nora setelah mengeja nama lengkapku, sembari terkekeh kecil tanda keheranan. Aku biasa saja, sudah lebih dari seribu manusia yang seperihal dengannya.

           "Kalau boleh tahu, arti dari namamu itu apa, Nang?" tanya Bu Eko. Ah, kesempatan yang tepat untuk mengutarakan penjelasan Ayah yang selalu kuingat hingga saat ini.

           "Aletheia, artinya adalah hakikat kebenaran, juga Raushan Fikra, berarti pemikiran yang tercerahkan. Begitu, Bu," balasku menimpali. Mereka semua termanggut, meskipun senyuman kecil tetap terlihat dari bibir-bibir mereka.

           "Itu dari bahasa apa, Nang?" giliran Bu Nora yang melontarkan tanda tanya kepadaku.

           "Aletheia, berasal dari Bahasa Yunani, sedangkan Raushan Fikra, berasal dari Bahasa Arab, Bu," tiba-tiba riuh tepukan tangan kembali mengudara. Namun, ragaku yang hampir saja terbang, tetap kubersikeras untuk bersikap bodo amat dengan segala godaan, dan hal-hal serupa.

Teramat banyak buku-buku Ayah, berak-rak, bertumpang tindih di rumah. Sedikit membentuk tanda tanya besar di relung neuron mungilku, di masa kecilku dulu. Ya, terbiasa bergaul dengan sampul buku Harry Potter dengan berbagai ilustrasi magis dan berwarna, Sang Pemimpi dengan tema kontemplasi dalam jalan sunyi, serial Digby dengan histori dunia Renaissance, mahakarya Sir Arthur Conan Doyle, educomics, hingga rangkaian prosa, bahkan paragraf novel dan buku-buku tebal dan menarik untuk dilihat.

Kerap kuajak teman-teman sebayaku untuk membesuk buku-buku ajaib itu di perpustakaan Ayah. Sebetulnya, ruangan itu adalah kantor tempat Ayah bekerja dan bermain games di komputer, namun lebih senang kusebut sebagai perpustakaan. Karena menurutku saat itu, perpustakaan menyimpan banyak sekali rahasia soal pertanyaan dan jawaban, seperti permainan. Ekspresi pertama yang kutangkap, wajah mereka kebingungan, belum lima detik mereka menginjak karpet batik perpustakaan, air muka senang terpampang di wajah mereka.

"Wah! Banyak sekali buku di tempat ini!"

"Lihat ini! Kok bisa ada anjing berwajah manusia sih?"

"Ada wayang merah, t-rex, Cleopatra, dan pacuan kuda!"

"Wah! Ini bukannya Harry Potter dan Dumbledore?"

Rasa bersyukur tebersit dalam hati. Kala hobi tersendiri mereka ketahui, bahkan diantusiasi, merupakan satu tingkat keberhasilan dalam mengimplementasikan konsep riil dari berbagi. Ya, berbagi itu indah bukan? Menjadi motif besar bagiku untuk turut serta dalam kepengurusan OSIS SMAN 1 Sulang tahun ini.

"Ayo! Siapa lagi?" lanjut Bu Eko.

BETT!

Sekonyong-konyong, Ezy, temanku yang sedari tadi merenung di sebelahku, mulai unjuk aksi. Rentetan applause kembali memainkan perannya. Musala kembali riuh. Lantas ia jalan beringsut menuju Ibuk, lalu menorehkan nama lengkapnya yang panjang, tepat di bawah namaku.

"Kamu harus bisa, Nang!" tukas Ibuk menyemangatinya.

Wajar saja jikalau seorang wali kelas yang berjiwa keibuan, menyemangati anak asuhnya kala mengetahui ia memunyai nyali untuk menjadi seorang pemimpin. Sedikit menyudutkanku sebagai siswa yang kurang pembela, selain nurani dan semangat si penyeru barusan. Ezy pun kembali duduk di sebelahku.

"Kamu beneran mau nyalon, Zy?" bisikku serius, walau tersenyum sumringah.

"Hah? Cuma numpang nama doang, Rak," celetuknya sembari terkekeh, menular tawanya.

"Ya! Selanjutnya siapa?" ujar Bu Eko dengan volume yang sama.

Menunggu sejenak, tiada yang hendak bersuara. Pengurus OSIS yang hendak purna terlihat celingukan satu sama lain. Bu Nora, Bu Eko, dan Ibuk mengamati wajah-wajah kami, satu-persatu, entah apa yang perlu kami lakukan selanjutnya. Ezy pun hanya tertegun mematung.

"Tidak ada lagi? Hanya dua saja yang berani?" Bu Eko kembali angkat suara. Tiba-tiba dari sebelah Ezy.

BETT!

           Seorang siswi, tepat di sebelah Ezy, mengangkat tangan walau setengah, pelan. Akhirnya, saingan kami bertambah satu, seorang perempuan. Kami tidak pernah mengenal dia sebelumnya. Siapa gerangan? Ia langsung maju ke depan, menuliskan namanya di kertas yang sebelumnya sudah ada nama kami. Ia kembali ke tempat duduknya. Tak lama kemudian, forum ini dibubarkan, para DPK kembali ke kelas mereka masing-masing. Dengan ragu yang masih membersit hatiku, oleh Ezy, dan seorang siswi yang entah siapa namanya.

***

           "Kenali musuhmu!" tekan Ustaz Su'ud dalam wejangan beliau ba'da ashar, kepada kami, angkatan baru yang. Suaranya menggetarkan seisi gedung baru.

           "Permusuhan dalam politik itu, tidak seperti permusuhan yang biasa anak-anak lakukan. Dalam berpolitik, meskipun status kami adalah sebagai musuh, namun jikalau sudah bertemu dalam suatu perjamuan atau acara, kami akan berlaku layaknya teman dekat. Tersenyum, berjabat tangan, bahkan bersenda gurau, itu adalah hal yang biasa. Membangun relasi dengan musuh, mengenal musuh lebih dekat, sehingga kita bisa mencari celah dan kelemahan yang mampu kita tutupi," wejang Ustaz Su'ud kala itu. Masih teringat jelas.

           Petang ini, aku sudah mendoktrin diri untuk tidak menambah kalut pikirku. Terus mencari peluang di mana sekiranya aku bisa memperbaikinya dengan visi misiku, atau bahkan membuat sebuah inovasi pastinya. Ah, mengapa tidak memanfaatkan SDM guru atau kakak-kakak Pete Sepuluh saja ya? Lagipula, jam terbang mereka dalam berorganisasi sudah dibilang cukup banyak. Segera kulangkahkan kakiku ke sana, menemui salah satu dari mereka, Bang Riziq di Nufo Farm.

           "Untuk merangkai visi dan misi itu, yang utama adalah tujuan, maksud kamu mencetuskan visi dan misi yang seperti itu untuk apa? Harus jelas dan tidak bertele-tele. Sudah, itu aja kalau dari Bang Riziq mah. Selebihnya, tinggal pengembangan dari gagasan kamu aja. Bagaimanapun juga, yang lebih mengetahui masalah di lapangan adalah kamu, karena kamu berbaur dengan lingkungan yang demikian kan?" Bang Riziq menjelaskan, sembari fokus dengan laptopnya.

           Ya. Alhamdulillahnya, ia diterima di fakultas hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta beberapa hari yang lalu. Salah satu alasan mengapa aku berdiskusi soal ini kepada Bang Riziq. Bukankah belajar akan lebih intensif jikalau langsung diajar oleh pakarnya? Alasan dan saran yang beliau paparkan juga rasional, dapat diterima oleh pikirku. Seketika, buah ide satu persatu bertengger di pikirku, harus segera kutangkap, dan kuabadikan dalam kertas buku Inspirasi Republika, buku peninggalan alumni yang kugunakan untuk mencatat Irabul Quran.

           Visi dan misi berhasil disuratkan. Mentari perlahan merangkak mundur dari ufuk barat, memberitai jam tubuhku untuk segera mandi dan berbenah diri, waktu magrib hampir dekat. Segera menuju kamar mandi atas, dan melaksanakan salat magrib berjamaah. Menurutku, sujud adalah posisi termutakhir untuk berkontemplasi secara lancar. Nantikan saja.

           Malam, agenda pondok usai dijalani, saatnya untuk mengambil handphone yang dititipkan di Ustazah Endah, wali kelasku. Guna menuntaskan tugas yang hendak dikumpulkan esok hari, atau bahkan beberapa hari mendatang. Soal tenggat waktu, santri murid Planet Nufo didoktrin untuk menjadi pribadi yang disiplin dalam segala hal. Oleh karena itu, tak payah ragu. Tiba-tiba, Ria, datang menemuiku di gazebo depan.

           "Rak, kamu tahu gak siapa lawanmu di penentuan kandidat tadi?" ia bertanya kepadaku, dengan wajah sumringah, misterius. Aku sedikit terkesiap, sekaligus tak siap.

           "Dia orang pintar di kelas, pintar banget! Orang yang selalu menjawab pertanyaan dari guru, dan jawabannya juga rasional, Rak. Dia juga jago nyanyi, plus pake banget!" jelas Ria serius. Sial, ada apa gerangan? Seakan-akan dunia ini menekanku untuk tersungkur di tanah keringnya.

           "Dia sekelas sama kamu tho, Ri?" tanyaku memastikan.

           "Iya, X-7."

           "Ouh... Siapa namanya?"

           "Intan, bendahara kelas," jawabnya terang. Aku kembali tertegun.

           "Lho, kamu sekretaris kelas kan, Ri? Kenapa malah Intan yang maju jadi DPK pagi itu? Kenapa gak kamu aja?" tukasku cergas, berusaha protes kepada keadaan yang usai berlalu, tiada guna.

           "Ya saya nggak tahu, Rak. Lah pas pengumuman aja dia nyelonong keluar kok. Saya bisa apa?" pungkasnya pasrah, wajahnya semrawut sekarang. Sang nasib menekannya untuk maju.

           Entahlah, apa yang harus kuperbuat saat ini? Dilambung oleh kemesteriusan yang pelik dan memabukkan. Bagaimana tidak? Lawanku adalah pria tinggi, misterius, cergas, dan diidolakan oleh banyak kakak kelas, diamnya dapat menciptakan pergerakan yang bukan main, sahabatku sendiri, Essedine. Juga dengan pamong kelas dengan segudang prestasi, "jago nyanyi", dan lebih empiris dalam melaju dalam beberapa organisasi, sepertinya, Intan. Ya Allah, pantaskah aku pasrah, atas dilema kompetitor kelas kakap seperti mereka?

           Ya sudahlah, lagipula, tidak ada salahnya jikalau mereka yang memimpin. Bukankah bagus jikalau SMAN 1 Sulang dipimpin oleh mereka yang hebat? Siapa tahu dengan kehebatan mereka, dapat melejitkan nama Smalang hingga ke jagad dunia. Ah, biarkan saja. Sekiranya usahaku untuk menang terlihat serius, apa mungkin ia akan mengkhianati hasil? Lihat saja nanti.

           "Mba Aiz, minta nomornya Intan dong. Hehe," pintaku via balon kata di Whatsapp. Syukurlah dia sedang online, langsung menanggapi pesanku dengan baik. Seperti ketua OSIS pada umumnya.

           "Intan? Oh, Erdila Intan yang kandidat itu? Tunggu sebentar ya, Ale!" balas Mba Aiz, kuindahkan perkataannya. Tak lama kemudian, ia kembali.

           "Ini, Ale."

           "Terima kasih ya, Mba," tandasku mengakhiri percakapan kami. Langsung saja kutekan tombol message, berlaku seperti manusia dengan etiket santun pada umumnya. Aksi bermula.

           "Assalamualaikum, Ntan. Ini Raka." Dia yang kebetulan online, segera membalas pesanku.

           "Raka?" jawabnya singkat.

           "Ale, Aletheia, kandidat wakil ketua OSIS kemarin,"

           "Oh... Raka," sama saja, ia tetap memanggilku Raka. Ya sudahlah.

           Demikian, percakapan kami berlanjut hingga jam sepuluh. Jejak rekamku sudah puas mengetahui sifat, dan psikologinya. Data sudah berkumpul, saatnya mengakhiri.

           Essedine Muhammad Antariksa El-Zidane, minim gerakan yang terlihat, namun sebenarnya sangat cekatan di belakang layar. Tahu-tahu, visi dan misinya usai digarap tuntas dan rap. Kesalahan besarnya, ia menunjukkan hasil kerjanya kepadaku, sehingga aku tahu persis di mana ia menggali sumber dan letak sedikit dari perubahan yang ia gubah. Visi dan misi ketua OSIS terpilih SMP Alam Planet Nufo, yakni Agha Abitha Ismanto. Memang esensi visi dan misinya bagus dan berbobot.

           Namun, Ezy tidak tahu pasti, siapa tangan kanan yang Agha percaya untuk membantunya membenahi visi misinya kala itu. Aku.

           Erdila Intan, cukup teliti dan mampu menjalin komunikasi dengan baik, sehingga tiada pengaruh negatif yang ia timbulkan di setiap klausa dalam balon katanya, berkenan namun menekan, satu level di atasku. Namun, karakteristiknya yang cenderung tidak mau ribet, memilih untuk menorehkan misi yang pendek dan misi yang begitu universal, dengan alasan,

           "Nggak papa, nanti kan tinggal dijelaskan saat orasi di depan umum. Lagipula, untuk public speaking sendiri, aku sudah terbiasa sejak kecil."

           Hanya itu, itu saja. Selebihnya, bisa kutarik kesimpulan bahwasanya dia adalah saingan terberatku dalam perkandidatan kali ini, dengan melihat segala kelebihan dan kemampuannya. Mengingat tentang psikologi pemuda dalam melakukan suatu pemilihan, seperti yang dituturkan Ustazah Novi, mentor mengajiku saat mengaji subuh.

           "Dianugerahi wajah rupawan itu menjadi sebuah nilai plus, sekaligus peluang dalam memenangkan pemilu, Mas. Tapi, perlu diingat, jikalau lawanmu itu adalah siswi yang dikenal cantik dan pintar dalam mengutarakan gagasan, peluang kalahmu adalah 70%, sedangkan kalau "tidak cantik" dan energik, kemungkinan menangmu juga 70%, percaya deh." Aku termanggut, jikalau dipikirkan lebih lanjut, benar juga ujaran beliau.

           "Nah, satu-satunya cara untuk memenangkan pemilu ini adalah dengan cara memaksimalkan diri saat berorasi, Mas. Percuma ganteng, tapi saat berbicara di muka umum saja tidak bisa, belepotan, apa yang mau di dengar rakyat?" ujar beliau mengevaluasi. Akan kuindahkan dengan benar, insyaAllah. Ngaji subuh pun usai terlaksana, kami langsung berangkat menuju SMA dengan hati yang tak sabar.

***

           Pagi yang cerah, indah, kawanan cirrus pun sumringah, tiada nikmat Allah yang mendelik pagi ini. Wajah para siswa tersimbah cahaya mega merah, benar benar megah, syukurlah. Tetapi tidak dengan suasananya mencekam ini, kakiku bak mesin diesel tua yang bergetar hebat kala diaktifkan. Sepasang bola mataku tak henti-hentinya menatap tujuh ratus sembilan puluh delapan siswa yang kini tengah berbaris di hadapanku. Lihatlah, mereka juga menatap kami demikian, sinis, seperti memiliki dendam pribadi yang mendalam.

           Apakah karena tingkah kami, sehingga mereka harus berjemur sampai sesi orasi usai? Ah, tidak sedikitpun peduli dengan itu. Yang terpenting, aku harus tampil baik pagi ini. Tak payah sempurna, yang penting adalah yakin usaha sampai. Walaupun kaki selalu bergetar hebat, di tengah-tengah acara orasi, masih dengan orasi ketua OSIS.

           "Untuk orasi wakil ketua OSIS yang pertama, Mas Eszi, kelas X-6 silakan maju ke depan," panggil Pak Aris, selaku pengatur jalannya acara. Dengan percaya diri, Ezy maju ke podium, mengambil mic, dan bersuara.

           "SALAM SEJAHTERA, SALAM NUSANTARA, ASSALAMUALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKAAATUH!" pekik Ezy sebagai permulaan, aku dan Intan bersitatap terkejut, aku tersenyum. Sebagai sahabat dekatnya, tak payah heran dengan kemampuannya dalam mengambil hati audience, tak payah diragukan.

           Tiba-tiba, Pak Solikin menghampiriku yang tercenung di depan.

           "Mas, nanti pas orasi di depan mereka, kamu baca puisi saja. Hehehehe," celetuk beliau dengan tawanya yang ramah. Ah, ide bagus!

           Lantas, Ezy menyampaikan visi dan misinya, kemudian segera menutupnya, tak payah berpanjang-panjang, pungkasnya. Ia pun turun dari podium, dengan senyum khasnya. Tubuhku bergoncang tak karuan.

           "Selanjutnya, Erdila Intan dari kelas X-7, silakan maju ke depan," Pak Aris kembali bersuara, kini, giliran Intan.

           Im speechless, kala mengetahui ada sedikit kemiripan di antara visi dan misi kami yang menyinggung soal pengoptimalan profil pelajar pancasila dalam lingkup Smalang. Ah, tak mengapa. Kubiarkan saja, wacanaku terlalu rahasia, sehingga percaya tak akan ada yang hendak meniru gagasan yang lebih menyeluruh soal itu. Intan pun turun dari podium. Ya, sekarang giliranku.

           "Yang terakhir, Mas Aletheia dari kelas X-3, silakan maju ke depan, Mas," Pak Aris menoleh kepadaku. Saatnya aku beraksi.

           "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaaatuh!" pekikku sedikit keras, sehingga semuanya menjawab salamku. Orasi dimulai.

***

           "To the moon, Zy!" pekikku kala pemungutan suara berlangsung, rasio suara Ezy stagnan naik di dalam kotak kelas 12, melebihi aku dan Intan.

Harus tersenyum, meski terenyuhkan karena peluang suara Ezy yang lebih besar. Pun ia hanya memberikan, tidak meberikan respon yang berarti, terus terpaku pada cahaya handphonenya yang menyala terang. Tidak sepertiku, pertambahan suara Intan dan Ezy terus balap membalap, satu sama lain, sedang suaraku tertinggal sedikit jauh. Pada akhirnya, rasa bosan menarik penglihatanku dari papan perhitungan suara itu.

Ya sudahlah, pun aku sudah melakukan yang terbaik. Sisanya, biarlah kotak suara, dan para penmungut yang bekerja. Mas Pras, salah satu kandidat ketua OSIS masih santai dengan obrolannya. Entah ilham macam apa yang membuatnya percaya diri, keluar sebagai pemenang.

"Wes tho, Let! Seng penting yakin. Man jadda wajada!" tuturna penuh semangat. Terlalu percaya diri, namun papan suara pun berpihak padanya. Ya Allah, terlalu picikkah hasratku untuk menang?

           Pukul 04.00 petang, usai lah pemungutan suara, Mas Pras, resmi menduduki kursi ketua OSIS periode 2022/2023. Berkaca-kaca matanya, terbalut haru sekaligus bangga. Sebetulnya, para guru pun tak yakin dengan kemenangan Mas Pras, mengingat wataknya yang lawak, jarang sekali terlihat serius. Namun, pemenang patut diapresiasi. Lantas, tanpa ada angin dan praduga apapun.

           "SELAMAT PRAS!!" laksana petir menyambar di penghujung siang, semuanya memekikkan selebrasi terhadap Mas Pras, pun jejeran dewan guru. Wajahnya makin terharu.

           "Selamat ya, Dek!" ujar beberapa dari panitia pemilu kepadaku, serta beberapa dewan guru yang tersenyum. Aku tertegun. Apa-apaan ini?

           "Tuh kan, Rak. Dah saya bilang," tukas Ezy berbisik kepadaku. Aku termanggut melihatnya. Ia rangkul bahuku, pun denganku, sedang Intan hanya diam saja dalam duduknya.

           "Ayo, anak-anak OSIS! Sebelum pulang, mari kita dokumentasikan hari penting SMAN 1 Sulang ini!" ajak Bu Eko kepada seluruh nyawa yang berada di aula.

           Aku segera mengambil bangku, bersebelahan dengan Mas Pras, melihatnya berbinar, aku pun bahagia. Tepat di tengah-tengah aula kami duduk. Menjadi awal akan perjuangan kami untuk satu tahun ke depan.

           "Nah, percoyo tho, seng penting yakin!" tandas Mas Pras kepadaku. Aku hanya terkekeh ringan, mengerti maksud dari slogan ajaibnya itu.

           CEKREK!

           Ya, inilah kami, serangkaian pengurus baru, yang akan mengabdi berasaskan ide-ide dan gagasan cemerlang, sekaligus baru. Mas Pras, ketua OSIS. Aletheia, wakil ketua OSIS, beserta jejeran kandidat lainnya yang sebetulnya tak kalah ciamik prospek dan janji mereka. Kami siap, melejitkan Smalang, to infinity, and beyond!

           Potongan puisi, prakarsa jemariku, titipan Pak Solikin :

           Kala mata kita terbuka, lihatlah kepada dunia!

Bahwasanya nusantara, sedang tidak baik-baik saja

Konon, Bumiputra sudah merdeka sejak lama

Terbebas, lepas dari belenggu kompeni Belanda

Namun, apa bedanya dengan kini, generasi Alpha?

Terbiasa dihalau, dipermainkan, diubah paradigmanya

Pengalihan isu, terbiasa, menjadi sah-sah saja

Oleh ulah licik pelaku politik, yang lalim dalam kuasanya

Lantas, apa upaya siswa, elemen kecil suatu negara

Namun berefek besar, bagi prospektivitas bangsa?

Oleh karena itu, izinkanlah saya, Aletheia Raushan Fikra Ukma

Nomor Tiga

Pribumi dari ujung Pulau Sumatera

Perwakilan kontingen Sepuluh Tiga

Untuk menyampaikan visi dan misi saya

Selaku kandidat wakil ketua OSIS, periode 2022/2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun