“Wildan, Mas Raka, ayo kita ke Mushala! Salat tarawih sebentar lagi mau dimulai lho,” ajak ayah Sodiq dengan suara baritonnya. Kami langsung menuju musala tanpa perlu menunda tuturannya.
Kami terpaksa menyelinap ke garasi samping. Kini, ruang tamu penuh dengan para wanita lanjut usia yang hendak mendirikan tarawih di rumah ini. Sedang lelaki sudah sepatutnya beranjak ke masjid. Akses menuju musala tidak terlalu mencolok, jalan setapak tanah nan teduh oleh pepohonan pisang menjadi jalur terdekat menuju musala.
Terus mengarah ke belakang rumah, melewati sumur, jamban bambu di luar ruangan, hingga melilau senda gurau anak-anak desa yang berbondong-bondong pergi ke musala. Setidaknya, jalan kami selaras.
Musala kecil dengan serambi mungil nan langsung berbaur dengan tempat wudhu dan kamar mandi menjadi destinasi terakhir dari penyelinapan kami. Penuh dengan para sepuh dan tetua yang tampak khidmat menghayati setiap untaian doa mereka.
Searah langkahnya dengan yang muda, meskipun kerap bersinggungan dengan tata tertib beribadah yang tetua indahkan. Ah, suasana ini, seakan-akan menerbangkanku ke pelataran Sunda kala Ramadhan. Rindu menjamah seketika.
“Rak, di sini imamnya need for speed lho,” bisik Sodiq kepadaku, aku yang kebingungan menatap serius senyum di wajahnya.
“Maksudnya, Diq?” balasku tak paham. Dia hanya menggeleng kecil, seraya terkekeh sendiri. Bingung benar-benar bermukim di pikiranku sekarang.
“Lihat saja nanti!” timpalnya tibna-tiba, lalu dia berjalan ke dalam musala, berusaha melebur dengan jamaah lainnya. Aku terus mengekor di sampingnya. Usai imam memberi kode kepada
“Bismillahirrahmanirrahim alhamdulillahirabbil’aalamiina…..waladlalin!” lekas diikuti oleh sorakan jamaah cergas.
“Aamiin!”
Sial, salat macam apa ini? Kemana perginya tumaninah yang dianjurkan itu? Kemana minggatnya rasa syukur dan takzim ini? Semua ini sangat bertentangan dengan apa-apa yang pondokku wejangkan. Lantas, apakah ini masih termasuk salat yang dapat diterima?