Mohon tunggu...
Aletheia
Aletheia Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar di SMP Alam Planet Nufo, Rembang, Jawa Tengah

Pelajar ingusan yang tengah bersengketa dengan kegabutan duniawi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjamah Memori

13 Juli 2022   07:00 Diperbarui: 13 Juli 2022   07:08 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Klaten, 15 Ramadhan 1442 H

Syukurlah, Langit Kota Klaten sedang ceria petang ini, sehingga mega merah dapat menyemburatkan cahaya oranye ciamiknya, menerpa wajahku yang mengintip di balik gorden jendela rumah yang sedikit tersibak oleh angin sore. Rembusai daun pinus melanglang buana dibuainya menuju entah berantah, walau tanah mutlak menjadi tempat mereka jatuh. Aku yakin, semesta mendukung suasana hatiku saat ini.

Namun, cerahnya Langit Klaten tidak dapat menutupi temaramnya kesunyian di luar sana, tepatnya di jalan raya Kota Klaten yang pernah hangat, ramai dengan jiwa-jiwa yang bersimpang siur di hadapan mataku. Anak-anak desa yang rutin bersepeda di sore hari, kini hanya sebuah kenangan pelik yang terus kuratapi. Kemana perginya mereka? Apa mereka juga terpenjara sama sepertiku? Entahlah, mungkin saja kami senasib.

           Rezim corona berhasil merevolusi semuanya. Mulai dari kebebasan bergerak, kebebasan bersosial, juga siaran televisi yang masih bersitegang dengan warta perkembangan covid-19 di Tanah Air, hingga telingaku tak kuasa menahan gundah gunala, bahkan mataku mulai jenuh menyimak semuanya. Lelah menelisik senyapnya panorama jalanan Klaten, lekas kututup jendela, kutarik kembali gorden hingga tertutup sempurna.

           Kutatap lekat arloji yang bertengger di tangan kananku. Pukul 05:00 sore. Ah, sebentar lagi waktu berbuka akan datang menyapa. Aku baru saja terbangun dari tidur siangku. Tanpa di sadari, aku ditinggal pergi keluargaku untuk berbuka di luar. Wajar saja, bak kerbau pemalas kupulas tertidur, sehingga mereka yang lelah membangunkanku memilih untuk meninggalkanku seorang diri.

Perut yang lapar menarik ragaku untuk bergerak menuju pintu kulkas. Berharap masih tersisa sedikit makanan yang akan aku konsumsi nanti. Tiba di depan pintu kulkas yang langsung kubuka. Sial, tiada secuil konsumsi atau bahan pangan lainnya, hanya sepotong keju tua yang hendak dijemput ajal. Apakah Bunda tidak meninggalkan secuil makanan untuk perut manjaku, barang kornet sekaleng? Sial yang kedua, mungkin aku akan mati kelaparan malam ini.

TING!

Notifikasi Whatsapp mengalihkan perhatianku. Oh Bunda, bak malaikat kau membawa secercah pelita kepada gemerlapnya hidupku. Akhirnya, Bunda awas juga dengan perut manjaku. Kuraih ponsel yang usai terisi dayanya di kasur. Oh ternyata, sial yang ketiga, itu bukanlah pesan dari Bunda, melainkan dari saudara sepupuku yang paling cerewet, Adam namanya.

“Sudah memasuki pertengahan Ramadhan dan kami sekeluarga masih merindu kedatangan Abang dan keluarga di Bandung. Semoga pandemi cepat berakhir ya, Bang.” Tandas Adam merenyuhkan renjana di hatiku.

Bandung, hampir saja kulupa dengan Kota Kembang itu. Dimana memoriku merapal banyak sekali kenangan indah yang ada di sana. Sekonyong-konyong kenangan itu membawaku ke sana, menuju salah satu dari kenangan indah itu.

***

“Bangun, bangun, bangun. Bang, geura bangun!” teriak Adam bersikeras membangunkanku. Konon Adam pernah berceletuk, aku yang pulas persis menyamai kerbau pemalas yang sibuk berbaring di atas kubangannya. Mungkin benar perumpamaannya. Adam yang kebingungan, akhirnya menemukan secercah ide bagus.

“Kornetnya keburu dihabiskan Napal lho, Bang,” seketika mataku terbelalak. Bisikkan Adam mujarab betul ternyata. Kulangsung berlari menuju meja makan, berlomba dengan kecepatan jemari Napal untuk mengembat semua kornet yang terhidang.

Sampai di meja makan, penglihatanku menjadi sedikit aneh. Payahnya aku, mengapa aku harus berlari dikarenakan sepotong kornet? Wa Iis Khadijah, ibunda Adam yang terkenal keras melirikku sinis mencekam, pasti dia kesal akan sifat kerbauku yang menjadi-jadi. Sedang Napal, saudara sepupuku, masih antusias dengan hidangan yang belum ia tandaskan.

“Segera duduk, dan makan!” ketus Wa Iis kepadaku. Kumengangguk cergas, segera menarik kursi kosong untuk kududuki.

Mata luyuku menelusuri seisi meja makan yang dipenuhi dengan hidangan yang tampak lezat. Wajar saja, baru bangun dari tidur nyenyakku. Meja makan penuh dengan sayur mayur segar hijau dengan lalapan yang berbaris rapi sesuai gizi, empat sehat, lima sempurna. Diramaikan dengan sepiring kecil berisikan ranum sambal terasi. Tetapi hidangan seleraku tak kunjung terlihat. Kemana perginya kornet yang Adam maksud tadi?

“Kornetnya sudah dihabiskan Adam barusan. Makan saja yang ada di meja!” ketus Wa Iis untuk yang kedua kalinya kepadaku. Sengkarut bersemayam seketika di wajah semrawutku.

Di seberang pintu menuju meja makan, Adam melirikku sinis dengan senyum jahatnya yang menjijikkan, lalu sirna ditelan dinding yang mengarah ke ruang tamu. Mengapa kornet kesukaanku selalu saja menjadi mitos di rumah ini? Terpaksa kuambil sop asparagus gurih di piring terdekat dengan gapaian tanganku.

Pawana dingin berkesiur semilir menaungi tubuhku. Masih sejuk, belum tercemar oleh napas-napas orang munafik, tidak mungkin mereka akan bangun seawal ini. Laskar bocah pengetuk genderang sudah berkeliling desa, membangkitkan umat Rasulullah SAW untuk berjuang di medan sahur nan penuh akan godaan.

Ketukan keras genderang disertai pekikan sahur dari mulut kecil mereka menyadarkanku akan derai berkah dan nikmat bulan Ramadhan yang berlimpah ruah, termasuk rasa dan semangat yang kini terasa betul kedahsyatannya. Azan Subuh berkumandang, lekas kuahkiri sahur ini, berbenah diri menuju masjid Al-Khoer untuk mendirikan salat subuh berjamaah.

Terik matahari di siang hari menyorot tubuh lesuku, hingga aku terpaksa meneduh di dalam kamar Adam yang selalu teduh, tepat di sisi Adam yang sibuk dengan game yang ia gandrungi. Selain menahan lapar, amarah juga harus ditekan. Sekonyong-konyong kantuk menjamah, aku pun terlelap.

“Aduh-aduh. Si Abang capek katanya, euy!” godanya kepadaku yang tengah berusaha berpindah ke mimpi indah. Aku kembali terjaga, melihat Adam dengan wajah jahilnya, membuat emosiku memuncak tidak sengaja.

“Diam, Ah! Jangan ganggu dong. Mau istirahat ini teh!” timpalku sedikit keras kepada Adam. Sontak, diapun terperanjat.

“Hahaha… Iya sok atuh. Adam mah gak bakal ganggu sok,” tukasnya jera. Setelahnya, aku tertidur pulas, guna memperpendek waktu berbuka puasa.

Klimaks di siang hari usai kulewati. Salat asarpun tuntas dilangitkan, beserta doa-doa dan rasa syukur yang seluas bumantara dunia. Tidak sepelemparan batu dengan Adam yang masih melanjutkan mimpi fananya. Menilik sesuatu yang tak beres, segera kuangkat dia dari dunia khayalnya.

“Adam, bangun! Salat dulu, jangan tidur sore. Mending kita ke bazar depan Telkom yuk!” ajakku kepada Adam.

Syukurlah, Adam tidak begitu susah untuk kubangunkan, tidak selaras dengan caraku tidur. Ia salat, berdoa, lalu mengenakan jaket, dan mengambil kunci motor di kamarnya.

“Gas tidak, Bang?” tawar Adam yang menengadah ke jok belakang, kepadaku yang tercenung dalam lamunan sesaat.

“Gas keun atuh, Dam!” jawabku lantang. Layaknya kuda pacu, motor CB yang kami naiki berari kencang menuju dunia luar. Petang ini, kami merangkap sebagai pemburu takjil yang bringas.

 Ngabuburit adalah agenda wajib di kala petang, di bulan Ramadhan, meninggalkannya merupakan penyesalan yang besar bagiku. Bersama Adam, aku pergi menuju serambi Telkom University yang tersulap menjadi lokasi bazar Ramadhan dadakan. Sampai pada bibir kawasan bazar, mataku termanjakan dengan keaneka ragaman kuliner yang membuat lidah bergelayut.

Cilung, teci, kebab, dan seblak mengambil alih atensiku penuh. Dompet kurogoh, uang kutarik, semuanya kuangkut menuju motor CB yang Adam saisi. Pada akhirnya, kami pulang membawa sebongkah kenikmatan Ramadhan lainnya. Tinggal menunggu masa untuk berbuka puasa di rumah Adam.

Pukul 05:15. Tiada tempat yang lebih nikmat selain ruang keluarga di rumah Adam yang senantiasa hangat. Wa Iis yang berhilir mudik menyiapkan takjil andalannya di rumah. Bala-bala dan gehu, gurihnya semangkuk tahu bejek yang terhidang di meja makan, dilengkapi dengan sirup melon segar menggiurkan. Ah, tidak sabar untuk menyeruput segelas sirup cantik yang terhidang diatas meja makan seperti biasanya.

Allahuakbar, allahuakbar

 

Seruan merdu itu berkumandang jua, menggemakan seantero Bandung yang turut bersuka cita. Akhirnya, nikmat puasa yang ketiga berhasil kami rasakan, yakni renjana nikmat kala melahap gehu dan bala-bala di waktu berbuka. Puluhan bala-bala gehu kulumat bersemangat, seraya dengan seruput es melon beserta biji selasih yang acap bermain di kerongkonganku.

Ya, pengorbanan akan lapar dan nafsu yang tertahan bisa dileluasakan sekarang. Bala-bala habis, sepiring gehu tandas, kami berbondong-berbondong menuju masjid Al-Khoer sebelum kembali menyantap seporsi nasi bersama tahu bejek yang masih hangat. Indahnya Ramadhan tahun terakhir menjamahkan rindu di hatiku.

***

           Allahuakbar, allahuakbar

Azan magrib berkumandang cukup keras dari biasanya. Bisa kutebak, mungkin karena larangan untuk membuka masjid sudah disirnakan. Tak mengapa, mungkin seruan lantang ini menjadi wujud atas pelampiasannya yang terus terbelenggu dulu.

“Assalamualaikum, Bang. Buka pintunya dong!” terdengar suara nyaring Bunda dari pintu depan. Aku yang terkapar lesu, segera berlari membukakan pintu.

Alhamdulillah, ternyata Bunda membatalkan buka bersamanya di luar, berganti dengan beberapa bungkus bakso Malang untuk kami sekeluarga. Kugeledah kantong plastik berisikan bala-bala pedas, walau tentu berbeda rasanya dengan masakan Wa Iis di provinsi seberang. Ah, masih rindu dalam kalutnya pikiran dengan bejibunnya masalah seputar corona yang ambigu.

Salat magrib berjamaah terlaksana, dengan aku sebagai imamnya, lalu bungkusan bakso Malang dibuka. Pada akhirnya, kami masih bisa merasakan nikmat kesejahteraan berbuka puasa bersama keluarga. Jikalau kita telisik situasi para pejuang garda depan itu, masih banyak dari mereka yang mengalami kesenjangan dengan sanak famili mereka.

Tanpa kita sadari, bulan Ramadhan selalu membubuhkan kenikmatannya kepada segenap jiwa insan. Namun, hanya saja perspektif insanlah yang terlalu memedulikan kekurangan dibanding rahmat Allah yang stagnan berderai. Ya, bagaimanapun juga, manusia tidak luput dari dosa dan lupa bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun