Mohon tunggu...
Alessandra AuliaMaharani
Alessandra AuliaMaharani Mohon Tunggu... Model - Hi !

What goes around comes around

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masyarakat dan Hukum dalam Dilema Work From Home

9 Juni 2020   10:12 Diperbarui: 9 Juni 2020   10:38 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Dalam keadaan pandemi Covid-19 seperti ini pemerintah telah mengambil langkah awal yang serius salah satunya dengan mengambil kebijakan Work From Home atau dikenal dengan WFH. 

Selain itu ditetapkan pula peraturan peraturan yang harus ditaati dalam masa pandemi dan tertuang dalam Maklumat Kapolri Nomor Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19) yang salah satunya berbunyi “tidak mengadakan kegiatan sosial kemasyarakatan yang menyebabkan berkumpulnya massa dalam jumlah banyak, baik di tempat umum maupun di lingkungan sendiri, yaitu:

1) pertemuan sosial, budaya, keagamaan dan aliran kepercayaan dalam bentuk seminar, lokakarya, sarasehan dan kegiatan lainnya yang sejenis;

2) kegiatan konser musik, pekan raya, festival, bazaar, pasar malam, pameran, dan resepsi keluarga;

3) kegiatan olah raga, kesenian, dan jasa hiburan;

4) unjuk rasa, pawai, dan karnaval; serta 5) kegiatan lainnya yang menjadikan berkumpulnya massa (Moghbelli et al. 2020)

Adanya peraturan kebijakan ini bertujuan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 yang sudah menelan ribuan korban dari ratusan negara. 

Bahkan saat ini, pemerintah sudah menerapkan kebijakan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar yang diambil sebagai jalan tengah karena Indonesia tidak mungkin menerapkan kebijakan lockdown. 

Perbedaan kondisi ekonomi, sosial, budaya dan berbagai aspek lainnya yang menyebabkan Indonesia tidak bisa seperti contohnya negara Italy yang menerapkan kebijakan tersebut. 

Pada kesempatan ini, saya akan melihat kondisi peraturan hukum dan masyarakatnya sebagai pelaksana kebijakan. Dengan adanya peraturan hukum melalui kebijakan Work From Home atau WFH, sejauh ini ada masyarakat yang menaati peraturan tersebut dengan sukarela atau secara cuma cuma karena mereka sadar bahwa pandemi ini adalah hal yang serius, ada juga yang melaksanakannya dengan terpaksa karena adanya peraturan dari pemerintah serta ada pula yang tidak menaatinya dengan berbagai macam faktor penyebab.

Setiap peraturan yang dibuat melalui kebijakan kebijakan ini tentunya akan menimbulkan sisi pro dan kontra, tidak hanya dari satu kebijakan WFH ini saja namun juga dari kebijakan kebijakan lainnya. 

Bagi para pekerja yang bisa melakukan pekerjaannya dirumah tentu bisa melakukan kebijakan social or physical distancing, namun tidak sedikit pula yang tidak bisa menjalankan kebijakan tersebut. Mereka yang tetap berjuang diluar bukan hanya karena tidak ingin mengikuti anjuran pemerintah, namun karena mereka tidak bisa. 

Mereka tidak akan mendapatkan penghasilan dan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya apabila tidak bekerja. Bahkan ada dari mereka yang mencari penghasilannya untuk digunakan hari itu juga guna memenuhi kebutuhannya yang hanya sekedar makan. 

Saya akan menjelaskan sejauh mana peraturan hukum dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut bisa berlaku di kehidupan masyarakat serta konsekuensi hukum apa yang bisa diperoleh masyarakat yang melanggar peraturan hukum tersebut.

Sesuai dengan acuan asas tertinggi yang dipegang oleh Polri yakni keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex Esto) yang kemudian menghasilkan maklumat tercantum diatas, tentu bagi para pekerja yang bisa melaksanakan kebijakan Work From Home atau WFH ini akan merasa lebih aman. 

Selain itu kebijakan ini sudah diatur Undang Undang no. 13 tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan dalam pasal 86 ayat (1) huruf a yang berbunyi “setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja” (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020). Beberapa pekerjaan yang bisa menjalankan kebijakan ini yakni seperti perusahaan swasta, pengusaha, pebisnis seperti e-commerse. 

Mereka akan bergantung dengan tekhnologi internet, media sosial, sehingga tetap bisa menyelesaikan pekerjaanya namun tetap berdiam diri dirumah. Tindakan tersebut dijalankan oleh para karyawan karena pimpinan mereka memberikan perintah untuk melaksanakan pekerjaanya dirumah. 

Apabila pimpinan mereka tidak mengijinkan, bisa saja mereka akan tetap bekerja di tengah pandemi Covid-19 ini. Perusahaan perusahaan yang menerapkan kebijakan WFH ini berarti patuh terhadap peraturan hukum yang berlaku dan sadar bahwa dalam kondisi pandemi seperti ini. 

Belajar, bekerja dan beribadah dari rumah tentunya membuat kita terbentur dengan batasan  batasan tertentu saat menjalankannya, namun tindakan ini adalah tindakan yang efektif guna memutus rantai penyebaran Covid-19 (Yuliana, 2020). Tentu ini bukan kondisi yang normal seperti biasa kita hadapi, tidak bisa melakukan kebiasaan kebiasaan seperti bekerja, kita tidak bisa pergi kemana pun tanpa alasan yang jelas atau dengan kata lain tidak bisa menikmati hidup sesuai dengan yang kita inginkan.

Tetapi jika kita lihat lebih merata, masih banyak ditemui beberapa cara yang diterapkan oleh kantor atau perusahaan terhadap karyawannya yang mereka tidak bisa melakukan pekerjaannya dirumah tetapi juga ingin turut andil dalam melaksanakan kebijakan Work From Home atau WFH dengan cara memotong jam kerja karyawannya. Jadi yang biasanya para pekerja ini melakukan pekerjaannya dikantor selama 8 jam, maka saat ini hanya melakukan pekerjaan dikantornya selama 4 jam. 

Pekerjaan pekerjaan yang menerapkan sistem shift ini diantaranya adalah profesi dokter, perawat, dan pegawai negeri sipil, karyawan yang bekerja di perusahaan BUMN seperti PLN, dll. Dalam hal ini, berdasarkan Maklumat Kapolri Nomor 2/III/2020 dalam salah satu isinya berbunyi “apabila dalam keadaan mendesak dan tidak dapat dihindari, kegiatan yang melibatkan banyak orang dilaksanakan dengan tetap menjaga jarak dan wajib mengikuti prosedur pemerintah terkait pencegahan penyebaran Covid-19” (Moghbelli et al. 2020). Para pekerja harus menerapkan physical distancing serta menerapkan protokoler kesehatan yang berlaku agar bisa meminimalisir persebaran virus Corona meskipun harus bekerja.

Sedangkan untuk pegawai negeri sipil, mereka juga tidak bisa melakukan pekerjaannya dirumah saja karena mereka adalah pengemudi sistem pemerintahan di Indonesia. Seperti Kepala Desa, Bupati, Gubernur dan anggota dewan lainnya pasti memiliki pekerjaan yang tidak bisa dilakukan didalam rumah. 

Mereka akan keluar untuk melakukan kontrol, melakukan rapat pertemuan dengan tetap menjalankan physical distancing, meninjau RS rujukan, serta membuat keputusan yang bisa menanggulangi penyebaran virus dan lain lain. Mereka tidak bisa hanya berdiam diri dirumah karena merekalah yang mennjalankan roda kepemerintahan, apabila mereka hanya berdiam dirumah saja maka tentu tidak akan ada tindakan dan keputusan lebih untuk menindak lanjuti pandemi Covid-19 ini. Sungguh suatu dilema bagi pemerintah Indonesia karena kondisi yang tidak cukup stabil dan disetiap keputusan pasti ada pro kontra yang mengikutinya.

Berbeda keadaannya apabila kita menghadapi para pekerja yang tidak memiliki penghasilan menentu dan tetap. Mereka tidak akan bisa menjalankan kebijakan Work From Home atau WFH ditengah kondisi pandemi Covid-19. 

Banyak dari mereka pendapatan yang mereka dapatkan akan digunakan memenuhi kebutuhan hidup sekedar makan hanya untuk beberapa hari ke depan, bahkan yang paling menyedihkan ada beberapa dari mereka yang mendapatkan penghasilannya dan digunakan untuk hari itu juga. Sangat tidak dimungkinkan apabila mereka harus berdiam dirumah tanpa adanya pendapatan, sehingga mereka harus tetap bekerja meskipun ditengah kondisi pandemi Covid-19 ini. Pekerja pekerja ini antara lain berprofesi sebagai supir ojek online (Gojek, Grab), tukang becak dan juga pedagang kaki lima. 

Tindakan mereka yang tidak mengikuti anjuran pemerintah untuk melaksanakan kebijakan WFH ini terpaksa dilakukan karena alasan ekonomi memang tidak dapat dielak. Polri dan pemerintah sekalipun tidak bisa memaksa mereka untuk tidak bekerja karena tidak mampu memberikan pasokan setiap harinya kepada masyarakat yang kurang mampu. Mereka bisa melanjutkan hidupnya apabila mereka bekerja dan mendapatkan penghasilan dengan kondisi apapun, bagaimanapun kapanpun. 

Hal ini yang dijadikan pertimbangan oleh pemerintah sehingga tidak mengambil kebijakan lockdown karena akan ada banyak sekali warga yang makin terpuruk keadaannya. Tidak ada tindakan hukum yang dilakukan oleh Polri atau aparat keamanan selama masyarakat mampu mematuhi physical distancing dan menjalankan protokoler kesehatan salah satunya dengan wajib menggunakan masker saat keluar rumah.

Tetapi sudah ada beberapa kasus pelanggaran yang sengaja dilakukan oleh masyarakat tanpa memperhatikan protokoler kesehatan yang diberlakukan saat ini sehingga pihak kepolisian harus bertindak tegas. 

Salah satunya dengan menegur, mengingatkan dan memberikan informasi kepada masyarakat yang melanggar dengan harapan muncul adanya kesadaran masyarakat tentang pentingnya melakukan physical distancing dan menjalankan protokoler kesehatan. 

Sedangkan permasalahan hukum lainnya pada kondisi pandemi ini adalah beredarnya berita berita hoax di masyarakat yang akhirnya memicu kepanikan, keresahan bahkan bisa merusak integritas bangsa apabila tidak segera ditindak. Maka dari itu dalam peraturan hukum yang sama, Polri juga menegaskan kepada masyarakat bahwa “tidak terpengaruh dan menyebarkan berita - berita dengan sumber tidak jelas yang dapat menimbulkan keresahan di masyarakat” (Moghbelli et al. 2020). 

Hal ini dilakukan agar masyarakat lebih berhati hati dalam mempercayai berita yang mereka dengar dan mereka baca, serta diharapkan juga agar masyarakat bisa menyaring mana informasi positif yang harus mereka pahami dan mana informasi negatif yang harus mereka jauhi.

Sayangnya masih banyak terjadi penyebaran penyebaran berita hoax yang akhirnya dipercayai dan menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Sehingga aparat kepolisian harus menindak tegas penyebar berita hoax tersebut sesuai dengan undang undang yang berlaku yakni Pasal 27 (saja) UU No. 19 Tahun 2018 tentang perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dalam Pasal 27 masih ada 4 ayat yang terbagi sesuai dengan instrumen pelanggaran seperti :

  • Ayat 1, konten yang mengandung pelanggaran kesusilaan,
  • Ayat 2, kemudian konten yang memuat perjudian,
  • Ayat 3, konten yang memuat penghinaan atau pencemaran nama baik, serta
  • Ayat 4, konten yang memuat pemerasan atau pengancaman (Indonesia 2016).

Sudah banyak mereka mereka yang menyebarkan berita hoax dan akhirnya menjalani hukuman sesuai dengan perbuatannya dan tercantum di dalam Undang Undang 1945.

Daftar Pustaka

Indonesia, Republik. 2016. “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.” UU No. 19 Tahun 2016 (1):1–31.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2020. “Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Coronavirus Disease (COVID-19).” Direkorat Jenderal Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit 1–88.

Moghbelli, Hassan et al. 2020. Block Caving – A Viable Alternative? 21(1):1–9. Retrieved (https://doi.org/10.1016/j.solener.2019.02.027%0Ahttps://www.golder.com/insights/block-caving-a-viable-alternative/%0A???).

Yuliana. 2020. “Corona Virus Diseases (Covid -19); Sebuah Tinjauan Literatur.” Wellness and Healthy Magazine 2(1):187–92. Retrieved (https://wellness.journalpress.id/wellness/article/view/v1i218wh).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun