Mohon tunggu...
Ahmad Majdi
Ahmad Majdi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

HMI Saya, HMI Anda, HMI Kita

5 Februari 2018   13:35 Diperbarui: 5 Februari 2018   21:19 1229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Himpunan Mahasiswa Islam atau disingkat HMI adalah organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia. Berdiri pada 5 Februari 1947, kiprah HMI tidak dapat dipandang sebelah mata. Sebagai organisasi yang berlandaskan pada kaderisasi, HMI telah banyak menelurkan bermacam-macam kader. Di antara alumni HMI ada yang berkiprah di bidang politik, akademik, budaya, sosial-ekonomi dan tentu saja keagamaan.

Sungguh pun demikian, keberadaan HMI sebagai wadah mahasiswa Islam saat ini, jika boleh dikatakan, dalam posisi antara ada dan tiada. Pasalnya, begitu jarang saat ini ada aksi-aksi yang menanyakan keputusan pemerintah yang bersifat fundamental. Kebanyakan para kader saat ini terninabobokan oleh kondisi serba nyaman yang justru membuat mereka statis, beku dan kaku. 

Adakah seorang anggota atau kader yang memersoalkan kasus Saut Sitmorang? Mungkin sebagian ada yang tidak sepakat untuk reaksi yang dilakukan, namun kebanyakan sepakat bahwa apa yang diucapkan oleh Saut adalah sebuah pencemaran. Akan tetapi, titik persoalan bagi saya pribadi, bukan perlu atau tidaknya sebuah reaksi terhadap statement tersebut, melainkan mana aksi atau pro-aksi untuk mengadvokasi masyarakat?

Saya yakin, kawan-kawan satu cabang, satu komisariat akan menertawakan tulisan saya ini atau lebih buruknya mencaci maki dan menghina. Namun, inilah kegelisahan dan keresahan yang saya rasakan. Mau bagaimanapun, sekali berkecimpung di HMI, saya terus merasa terkait dengan HMI, sampai kapanpun. Dan tulisan yang tidak seberapa ini adalah sebuah curahan hati, jika tidak boleh dikatakan kritik dan saran, seorang kader akar rumput yang mungkin sudah tidak memiliki potensi untuk berkarier lebih lanjut, baik secara struktural maupun jenjang perkaderan.

Antara Gerbong Intelektual dan Gerbong Politik

Pembicaraan awal tulisan ini, saya pikir tepat membahas mengenai dua gerbong terkuat di HMI, yang secara silih berganti menjadi kendaraan bagi para kader setelah usainya berkarier di HMI. Di antara kedua gerbong ini, berdasarkan beberapa diskusi dengan kawan-kawan, saya menyimpulkan bahwa gerbong intelektual lebih dahulu muncul ketimbang gerbong politik. Gerbong intelektual dan gerbong politik yang dimaksud adalah sebuah istilah untuk menunjukkan concern dari para kader HMI.

Istilah gerbong intelektual dapat dipastikan, mulai dikenal sejak kepemimpinan PB HMI di bawah Nurcholish Madjid, satu-satunya Ketua Umum PB HMI yang menjabat selama dua periode. Selain disebabkan banyak bermunculan kader-kader yang memilih bidang akademik sebagai wadah untuk mengembangkan diri, juga Nurcholish sendiri adalah seorang pemikir muda Islam Indonesia yang disegani, baik oleh yang pro maupun kontra dengannya. Bersamanya, muncul tokoh-tokoh lain, seperti Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi dan sebagainya. Selama periode inilah, pemikiran-pemikiran fresh tentang keindonesiaan dan keislaman mulai marak diperbincangkan.

Akan tetapi, selepas Nurcholish saya berkesimpulan bahwa gerbong intelektual bukan lagi sebuah gerbong eksekutif yang diminati. Gerbong tersebut telah tergantikan oleh gerbong lain yang memiliki nilai jual tinggi. Gerbong yang dimaksud adalah gerbong politik.

Saya memang tidak berusaha menafikan bahwa HMI memang berpolitik, baik secara praktis maupun teoretis. Akan tetapi, sejak masa Akbar Tandjung menjadi Ketua Umum PB HMI, kebanyakan minat para kader selepas berproses di internal HMI dapat dipastikan mayoritas akan memilih gerbong politik sebagai wadah untuk memberikan yang terbaik bagi umat dan bangsa. 

Sehingga muncul sebuah stigma bahwa berorganisasi (termasuk di HMI) adalah salah satu cara, jika tidak dikatakan sebuah cara, untuk menjadi seorang politikus handal dan disegani. Dan perpolitikan praktis saat ini, entah di masa lampau, menurut pandangan kerdil saya, sudah dimulai sejak para kader berproses di jenjang perkaderan. Sungguh hal yang sangat disayangkan.

Tidak heran kemudian, banyak kader-kader di kalangan anggota aktif lebih mengunggulkan kepiawaiannya dalam permainan politik di forum RAK, Konfercab atau bahkan sampai Kongres. Saya tidak terlalu memahami dan tidak terlalu ingin mengetahui, mungkin bisa saja sebenaranya apa yang mereka lakukan bukan untuk melakukan politik praktis itu sendiri, namun apalah daya yang tidak mengetahui hanya mampu menilai secara dzahir saja. Dan gerbong terakhir ini, menurut saya masih menjadi yang paling diminati oleh para kader.

Revitalisasi Gerbong Intelektual

Gerbong intelektual dan gerbong politik, keduanya sudah menjadi bagian dari catatan dan fakta sejarah HMI. Tidak dapat dinafikan dan ditolak keberadaannya. Namun, porsi antara gerbong intelektual dan politik saat ini sudah semakin timpang dan jauh dari berimbang. Seharusnya gerbong intelektual, mau bagaimanapun sebagai seorang mahasiswa pada mulanya, harus tetap banyak yang meminati dan menaiki. Tidak boleh sepi dan kosong, sehingga diperlukan revitalisasi gerbong intelektual.

Dekade 1970-an dapat dikatakan sebagai titik tolak muncul gerbong intelektual. Setidaknya, saya memandang di tiga cabang, Yogyakarta, Bandung dan Ciputat terdapat para pemikir muda yang memang banyak menelurkan pemikiran-pemikiran keislaman-keindonesiaan. Namun, yang paling utama dan menjadi "pemimpin" gerbong ini adalah Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo dan Nurcholish Madjid. Dengan wafatnya Djohan Effendi, pemikir keislaman-keindonesiaan dari gerbong intelektual HMI menyisakan Dawam Rahardjo yang secara usia pun sudah sangat lanjut. Oleh sebab itu, perlu revitalisasi gerbong intelektual.

Selain untuk mengimbangi minat pada gerbong politik, juga berkaitan dengan labelling yang nanti akan didapat oleh HMI sendiri. Saya pikir akan lebih baik dan indah jika bermunculan "Cak Nur muda", "Wahib muda", Dawam muda", dan "Djohan Muda". Dan tugas yang diemban tentu selain meneruskan juga merevisi dan menemukan inovasi baru dalam kajian-kajian keislaman-keindonesiaan yang telah mereka usung sejak awal.

Memang perlu diakui bahwa sudah semakin sulit untuk mengubah concern para kader dan anggota aktif. Namun, dengan kesadaran bersama dan bersama-bersama sadar diiringi oleh kegiatan-kegiatan terstruktur, sistematis dan massif, maka bukan hal yang mustahil suasana akademik dan intelektual di HMI akan kembali hidup atau semakin hidup. 

Dan ini perlu ditekankan oleh para pengurus di berbagai tingkatan, mulai dari komisariat, korkom, cabang, badko sampai pengurus besar. Selain itu, salah satu alternatif untuk menghidupkan lagi suasana akademik dan intelektual adalah dengan banyak menggunakan forum diskusi untuk membicarakan wacana-wacana, tidak hanya terkait hal-hal kekinian dan kedisinian tetapi juga terkait hal-hal seperti perkuliahan, pemikiran, yang saya lihat masih cukup jarang dilakukan, meskipun secara individu sudah ada dan banyak yang melakukan.

Akhir kata, keresahan dan kegelisahan yang disertai kritik serta saran di atas bukanlah untuk menjatuhkan HMI, karena merupakan hal yang terkesan aneh dan naf jika orang dalam melakukannya. Ini semua sebagai bukti rasa memiliki dari seorang kader akar rumput yang tidak bisa berbuat banyak di struktur kepengurusan, sehingga melimpahkannya pada sebuah tulisan yang jauh dari kata objektif dan bahkan ilmiah. 

Semoga HMI dan kita semua selalu bersyukur dan ikhlas, berdoa dan ikrar, untuk meyakini sebuah usaha pasti akan sampai dengan menjunjung tinggi syiar Islam sebagai jalan keselamatan. Berkati ya Allah, bahagia HMI !! Yakusa !!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun