Mohon tunggu...
Aleksandr I
Aleksandr I Mohon Tunggu... Mahasiswa -

"Para penyambung lidah bernubuat palsu dan para wakil mengajar dengan sewenang - wenang, serta yang diajar menyukai yang demikian! Tapi apa yang akan mereka perbuat, apabila datang endingnya?"

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merdeka! (Benarkah?)

17 Agustus 2016   10:45 Diperbarui: 17 Agustus 2016   11:28 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa disadari, ternyata sudah 17 Agustus. Ya. Tanggal ini adalah tanggal dimana bapak - bapak pendiri bangsa ini memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia ini, walau masih di bawah radar Jepang. Secara de jure, seharusnya kita merdeka tanggal 18, dikarenakan disusunnya dasar-dasar negara dan dipilihnya kepala-wakil kepala negara pada tanggal 18 oleh PPKI, yang kelak dibubarkan dan diganti. Namun di sini [enulis tidak akan membahas mengenai hal ini, karena semuanya juga punya buku sejarah kan?..Silaken moco dewe.

Menengok ke kondisi sekarang, penulis bisa membayangkan betapa pilunya tangisan bapak - bapak pendiri bangsa kita, baik yang berjuang di balik meja diplomasi maupun yang mengokang senapan Arisaka buatan Jepang, M1 Garand Amerika, maupun Mosin Soviet. Apa saja mungkin yang mampu membuat bapak bangsa kita bersedih, dan mungkin mampu membuat pembaca mempertanyakan sekali lagi : Apakah kita ini sudah benar-benar merdeka? ?

1. Sejarah

Sumber: appsdirectories.com
Sumber: appsdirectories.com
Gambar yang sangat unik ini tanpa sengaja ditemukan penulis, saat sedang mencari bahan untuk tulisan sebelumnya, dan sesuai dengan apa yang terjadi di Indonesia yang kita kenal dengan nama yang menjadi momok pembicaraan, bahkan disebut saja mampu mengundang banyak sekali kontroversi. G30S PKI 1965, dan Kerusuhan '98. Ternyata hal yang sama juga terjadi, bedanya, hanya jarak waktu dan tempat, sejauh benua Afrika, tepatnya Sudan, dan berbeda sekitar 38 tahun(65) dan 5 tahun(98), dimana perang saudara di sana menimbulkan genosida bagi etnis/ras tertentu.

Hal ini pula yang terjadi di Indonesia sudah menelan banyak korban (estimasi 3 juta lebih, termasuk yang salah tangkap/main hakim sendiri). Lalu sebagai justifikasi, dimulailah pencucian otak dan pembersihan sejarah oleh sang Pemenang ("History is written by winners" - Napoleon Bonaparte). Yang efeknya bisa dirasakan hingga sekarang. Rekonsiliasi korban dicap sebagai tindakan pengguncang kemapanan pemerintah, bahkan yang mengherankannya dibela pula oleh oknum yang selama ini tergolong menyusahkan pemerintah. 

Renungan : Bangsa kita ini sebenarnya sangat bermasalah dengan sejarah. Kenapa? Karena bangsa ini belajar dari sejarah bahwa ia tidak pernah belajar dari sejarah.

2. Ekonomi

Sumber: Benny and Mice - Djurnal.com
Sumber: Benny and Mice - Djurnal.com
Penulis rasa tidaklah perlu menjelaskan banyak hal, karena gambar di atas sudahlah cukup. Tapi mari kita tengok ke aspek lain. Kita sebagai bangsa yang berkembang memang memerlukan dana besar. Namun hal ini sangatlah menyulitkan gerakan bangsa kita yang ingin memiliki basis ekonomi sendiri yang independen tanpa ketergantungan maupun Invisible Hand (Adam Smith) dari pihak manapun, seperti IMF, World Bank, Federal Reserve, dan lainnya yang dengan kurang ajar mendikte kebijakan bangsa kita dalam sektor - sektor yang sangat vital bagi kemajuan bangsa kita demi kantong mereka sendiri dan kroninya sementara rakyat kita meninggal bergelimangan karena kelaparan di pinggir jalan.

Renungan : Adakah cara bagi kita untuk terbebas dari belenggu ekonomi?

3. Pendidikan

Sumber: ucha-acho.blogspot.com
Sumber: ucha-acho.blogspot.com
Kita sebagai bangsa yang sudah berumur 71 tahun masih saja kesulitan dalam menangani hal bernama pendidikan, dimana penulis melihat bahwa pendidikan semakin hari semakin kehilangan ide sesungguhnya dari suatu pendidikan, dan telah sepenuhnya diganti dengan cangkang bernama kapitalisme dan ketergantungan terhadap pihak tertentu, dan hal ini telah memahat masyarakat kita menjadi suatu momok bagi mereka yang tidak bisa berhasil dalam hal kognitif, namun luar biasa dalam hal lainnya, seperti musik, tari, dan lainnya.

Tidak hanya marginalitas kemampuan, penulis juga melihat bahwa pendidikan negeri ini sarat dengan penindasan (Paulo Freire - Pedagogy of the Oppressed), yang penulis rasa tidaklah perlu dijelaskan, namun ini kata kuncinya (dikotomi, senioritas, konsep maba, dan masih banyak lagi). Tidak sampai situ saja, pendidikan kita yang cenderung berbasis kapitalisme juga menimbulkan banyak sekali dampak psikologis, yang oleh kebanyakan ahli dan pakar anggap "Ah itu mah mereka aja yang malas."

Renungan : Sadarkah semua bahwa pola kehidupan Rat Race yang sudah dianggap lumrah sesungguhnya bukanlah hal yang benar, apalagi dalam hal pendidikan? Pernahkah anda membayangkan stressnya anak anda dalam menghadapi kehidupan pendidikan? Atau...anda hanya berhaarp tahu hasil dan bila tidak memuaskan langsung ambil ikat pinggang?..

4. Hukum

Sumber: kartunmania.com
Sumber: kartunmania.com
Benarlah ungkapan 'bak menegakkan benang basah' dalam hal hukum di Indonesia. Buaya kejar cicak. Cicak gigit ekor buaya. Sementara tikus-tikus pada lari cekikikan. Tidaklah perlu dijelaskan terlalu banyak oleh penulis mengenai hal ini. Sudah banyak di televisi, silakan pembaca mengedukasi diri sendiri mengenai hal ini.

Renungan : Tidaklah berarti kita benar-benar pesimis, namun bijaknya realistis dalam menyikapi dan mencerna.

5. Masalah Lainnya

Sumber: hubpages.com
Sumber: hubpages.com
Rasialisme, prejudice, intoleransi, primordialisme, moralitas. Sesungguhnya masih lebih banyak lagi. Namun ini yang paling...sering terjadi.

Rasialisme : Contohnya banyak, tidak perlu bingung. Seperti Ahok. Orang dipermasalahkan hanya karena hal yang tidak bisa ia minta dari Tuhan, seperti warna kulit, etnis, dan lainnya.

Prejudice : Sikap prasangka buruk ini acapkali menimbukan korban yang..seharusnya tidak menjadi korban. Lucunya, bangsa kita, ataupun rakyatnya, seolah tidak pernah belajar. Seringkali orang/organisasi yang tulus yang ingin mengulurkan tangannya, malah mereka sambut dengan obor celurit, dan pitchfork.

Intoleransi : Ini juga merupakan salah satu lumpur yang hampir sulit dilepaskan dari orang Indonesia, yang disebabkan banyak stigma yang sudah menjadi cap bagi etnis/ras/kepercayaa tertentu. Bagi yang merasa, penulis akan mengambil kutipan dari suatu quote buatan saudara sebangsa kita sendiri. Intinya..cuma boleh ada kalian kan?.

Primordialisme : Luka ini juga menempel beriringan dengan semua yang di atas tadi, seperti parasit yang hidup berdampingan, dan menyulitkan orang-orang/lembaga yang ingin berasimilasi dengan masyarakat tertentu.

Moralitas : Tidaklah perlu kita sangkal bahwa moralitas bangsa ini sedang menukik tajam bak dive bomber StuKa pada zaman PD2. Walaupun masih saja ada daerah yang memegang teguh adat istiadat, meskipun pada akhirnya kehilangan esensi sejati tradisi itu sendiri dan hanya berbatas ritual kebiasaan saja.

Sudah ah, capek. Banyak kali.

Yah..itu hanya sekian dari banyaknya hal yang mungkin (dan memang) bisa membuat miris bapak-ibu bangsa kita. Masih ada lagi?..Oh banyak. SIlakan tambah sendiri.

Sampai jumpa....kapan ya, penulis tidak tahu.

Cheerio!

Artificial Intelligence

Sumber Gambar : 

1. Google : appsdirectories.com

2. Google : Benny and Mice - Djurnal.com

3. Google : ucha-acho.blogspot.com

4. Komik Timun

5. Google : hubpages.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun