Mohon tunggu...
Andri Mulyawan
Andri Mulyawan Mohon Tunggu... -

lebih memabukkan dari anggur merah. anak HI yang doyannya joged - joged, ngopi, ama makan, idealis harus sableng tetep ✌

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kekerasan Struktural dan Agama, Perda Ruqyah Padang dan LGBT

30 Januari 2019   11:29 Diperbarui: 30 Januari 2019   11:37 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Melihat beberapa pemberitaan di media baik media sosial, cetak, ataupun media daring, saya tergelitik membaca tentang berita ruqyah terhadap beberapa kaum LGBT ( Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender ). Pemerintah Daerah Padang menerapkan Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum yang isinya mengharuskan untuk kaum LGBT diruqyah karena ada pengaruh jin dan syaitan. 

Bahkan Walikota Padang Mahyeldi Ansharullah menyebutkan bahwa gay, lesbian, biseksual dan transgender (LGBT) merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh lingkungan dan faktor ekonomi sehingga menimbulkan penyimpangan seksual. 

Selain itu Pemerintah Kota Padang menyebutkan akan melibatkan TNI untuk menyusur serta menjaring beberapa kaum LGBT untuk diberi pembinaan dan ruqyah sesuai dengan peraturan daerah tersebut.

Apakah bentuk ruqyah dan menjaring kaum LGBT dengan melibatkan TNI merupakan kekerasan struktural? Kekerasan dalam arti luas menurut Johan Galtung adalah sebagai sesuatu penghalang yang seharusya bisa dihindari yang menyebabkan seseorang tidak bisa mengaktualisasikan diri secara wajar. 

Penghalang tersebut menurut Galtung sebenarnya dapat dihindarkan, sehingga sebenarnya kekerasan itu juga bisa dihindari jika penghalang itu disingkirkan (Muchsin,2006). Menurut Galtung (1969) akses terhadap sumber daya, kekuasaan politik, pendidikan, pelayanan kesehatan, atau legal standing, adalah bentuk-bentuk kekerasan struktural. 

Hal ini terjadi setiap kali orang dirugikan oleh struktur politik, hukum, dan ekonomi yang tidak adil, atau tradisi budaya. Kekerasan struktural terjadi ketika kebutuhan dasar manusia tidak terpenuhi, potensi manusia dibatasi, dan rentang hidup yang singkat karena ketidaksetaraan dalam cara struktur politik dan ekonomi dari masyarakat mendistribusikan sumber daya. 

Kekerasan secara langsung adalah tindakan brutal yang mudah menarik perhatian kita, kita dapat melihat dan menyadarinya, maka kita sering menanggapi itu. Namun, kekerasan struktural tak terlihat, tertanam dalam struktur sosial di mana-mana, dinormalisasi oleh lembaga yang kuat dan berpengalaman.

Artinya, Peraturan Daerah tentang Ruqyah bagi kaum LGBT dianggap sebagai kekerasan struktural, karena melibatkan hukum dan agama yang dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak terlihat. 

Memang sangat sulit menghilangkan kekerasan dalam bentuk ini karena selalu terkait dengan rezim pemerintah yang berkuasa. Kekerasan struktural juga dianggap sangat menusuk karena lazimnya pemerintah baik daerah ataupun pusat secara notabene merupakan salah satu pelindung masyarakat dengan perilaku yang sama merata kepada seluruh masyarakat tanpa terkecuali, tanpa memandang ras, suku, bangsa bahkan seharusnya orientasi seksual. 

Hanya karena ada basic kebencian terhadap LGBT, peraturan daerah malah menjadi sumber ketakutan bagi beberapa kaum minoritas terutama LGBT akibat peraturan perundang-undangan tersebut.

Bentuk-bentuk kekerasan struktural ini merembet hingga kepada kekerasan kekerasan lainya yang muncul. Kekerasan struktural dianggap induk daripada kekerasan yang lain karena effectnya seperti domino runtuh dimana peraturan perundang-undangan bisa disalahgunakan. 

Misalnya dengan kekerasan struktural ruqiyah terhadap LGBT ada hujatan hujatan secara otomatis dari yang kontra-LGBT, baik hujatan, ujaran kebencian, hardikan, serta ujaran -- ujaran kalimat lainnya.

Belum lagi pada saat penjaringan, kekerasan kekerasan fisik terjadi seperti pendorongan, penarikan paksa, atau bahkan lebih jauhnya seperti binatang  yang dijaring razia oleh petugas binatang liar. Atau parahnya bisa terjadi kekerasan seksual karena anggapan rendah dan seperti binatang yang disematkan kepada LGBT.

Kekerasan struktural sangatlah berdampak serius terhadap beberapa golongan minoritas, seharusnya praktik-praktik kekerasan struktural diminimalisir karena bisa saja menjadi sebuah traumatic mendalam bagi korbannya. 

Kekerasan struktural terhadap LGBT dianggap sebagai kekerasan maha dahysat yang bahkan kaum minoritas tersebut hanya bisa bermimpi untuk lepas dari kekerasan tersebut. Sehingga, pemerintah daerah seharusnya memberikan peraturan perundang undangan yang tanpa harus ada unsur  kekerasan didalamnya.

Semoga Bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun