Tak lama kemudian, mereka berdua sampai di kediaman Rika. Dalam setiap perjumpaan selalu ada bahagia menyelimuti keduanya. Rika selalu menganggap bahwa Jimi adalah orang istimewa yang sama dengan keluarganya. Walaupun perasaan Jimi hanya sebatas sahabat, tapi hubungannya dengan Rika tetap terjalin baik.
Jimi berpamitan pulang dari sana. Rika melambai pada lelaki itu dari jauh dengan penuh rasa suka. Dalam benak Rika setiap hari, menanti perasaannya dibalas oleh Jimi.
Kira-kira kapan yah, perasaanku dibalas?. Gadis itu membatin dalam baringannya di kasur dengan rambut panjang yang tergerai.
Rika memanglah gadis romantis. Siapa sangka dia sering menggoda Jimi di luar sana. Keseluruhan perbincangan mereka hampir guyonan dan rayuan maut Rika. Gadis itu paling cantik dari seluruh gadis lainnya di kampus. Sungguh ironi jika dipikir oleh orang awam. Jimi sama sekali tidak pernah membalas candaan itu dengan serius. Kata-kata cinta, puisi, dan surat yang Rika buat, semuanya hanya angin penyejuk bagi Jimi.
Hari esoknya, Rika meminta Jimi menemaninya untuk pergi ke kafe. Keduanya berada di satu meja yang sama. Yang membuat Jimi bingung, kenapa bangku di meja itu hanya ada dua. Sedangkan Rika memiliki janji dengan salah seorang temannya saat itu.
“Rika, teman kamu jadi ketemuan?” Tanya lelaki itu dengan wajah yang memucat.
“Tunggu bentar lagi ya.” Jawab Rika memberitahu sahabatnya itu.
Hari sudah mulai gelap, bahkan kopi yang mereka pesan sudah habis tak tersisa.
Berapa lama lagi sih?!. Gumam Jimi berbuntut kesal.
Lelaki itu beranjak dari kursi dan meminta ijin pulang.
“Rika, aku pulang aja ya.” Lelaki itu memalingkan wajahnya ke arah pintu keluar.