Mohon tunggu...
Alea Zakki
Alea Zakki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya hobi menulis dan membaca buku. Itu sesuai dengan kepribadian saya yang introvert. Tulisan yang saya sukai adalah fiksi romantisme. Lagu yang saya favoritkan adalah lagu religi dan romansa anak remaja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kuasa Waktu

14 April 2024   16:26 Diperbarui: 14 April 2024   16:31 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari atas tebing, terdengar sambaran petir dahsyat memekakan telinga. Ranum dan teman-temannya sontak terkejut. Burung-burung berterbangan tak pikir arah, dan hewan-hewan di sana berlarian mendekat ke arah mereka. “Num, Bisma!” seru Angga mengingat satu temannya yang tadi masuk ke hutan pinus sendirian. “Biar aku yang periksa.” Moko ikut menimpali bergegas menyusul temannya ke hutan.

“Aku ikut, Ko.” Tambah Argo membuntuti dari belakang. Menemani pria berambut mullet itu. Mereka berdua masuk ke dalam hutan. Ada tiga dahan tumbang di depan mereka. Di atasnya ada sebuah sarang burung besar yang letaknya sembarang. “Go, itu mirip rambutmu ya?” Celetuk Moko melihat sarang itu sama percis dengan rambut kribo teman di belakangnya.

“Lho iya, mirip rambutku!…” Argo terdiam bepikir rambut dan sarang yang membuatnya bingung, “E-e-ehh. Kok, malah bahas sarang. Kita cari Bisma dulu, bahas sarangnya nanti lagi.” Lanjutnya memfokuskan pencarian Bisma. Lelaki kribo itu agak mendorong temannya untuk bergerak melewati dahan-dahan pohon itu melangkah agak lebar.

Keduanya terus bergerak ke arah sumber geledek petir yang membuat mereka cemas. Mereka sampai di dekat tebing yang diyakini petir tadi menyambar. Ada bekas bau hangus terbakar di dekat batu dan tanah. Rerumputan hijau di sana pun terbakar hangus, walau tak menyebar. “Lho, kok bisa begini?” Gumam keduanya heran seraya menaikan alisnya dengan mulut agak terbuka. “Yang kita pikirkan sama!” Ujar keduanya saling mengetahui isi pikiran masing-masing, seraya memandang kedua muka bersamaan. “Haha, sama-sama mangap!” Ujar mereka lagi seraya tertawa bertindih lawakan.

Argo langsung mengecek ke bawah dari atas pinggir tebing. “Bisma!” panggil lelaki kribo itu spontan, melihat Bisma tengkurap di atas batu. Darah mengucur dari kepalanya. Pandangan Moko ikut tertuju ke bawah tebing, membuatnya sangat terkejut melihat kondisi mengenaskan teman yang mereka cari. Argo bergegas turun dari sana melewati jalan bebatuan di pinggir yang agak curam.

“Argo, gue panggil lain ya!” Seru Moko agak berteriak dengan gestur tangan di muka. Lelaki itu segera kembali ke tempat awal teman yang lain berada. Dari arah sebaliknya, Ranum dan dua temannya yang lain menyusul ke dalam hutan karena merasa sangat khawatir. “Ko, gimana? Udah ketemu Bisma?” Tanya spontan Ranum, perempuan cantik pemilik rambut sebahu itu. Dia berpapasan dengan Moko di jalan yang sama dekat dahan pohon tumbang bersama dengan Angga dan Siska. “I-i-itu, Bisma. Bisma udah ketemu!” beritahu lelaki itu agak terbata-bata. “Syukur deh. Terus dia lagi apa?” Tanya Angga penasaran. “A-a-anu…” Moko sesaat terbelit lidah, “Bisma tengkurep!” lanjutnya berbicara tanggung. “Kok bisa tengkurep?” Tanya Siska masih mencerna kata Moko.

“Di-di-dia, dia jatoh dari tebing!” beritahunya tuntas mengejutkan ketiga temannya itu dan menambah kekhawatiran mereka. Tanpa berkata lagi, mereka bertiga langsung pergi dibuntuti oleh Moko menuju tebing di depan sana. Di atas sana mereka melihat dari pinggir tebing, Argo menggendong tubuh Bisma yang lemas tak sadarkan diri naik ke atas. Tubuhnya dibaringkan di lantai gazebo yang agak jauh.

Keempat teman yang lain segera menghampiri mereka berdua. Jalan yang terjal membuat mereka berempat lelah ketika sampai di atas. Napas mereka terengap-engap seraya tangan menahan ke lutut. “Jauh banget sih, lo bawa dia?” Ujar Siska lelah berkucur keringat sama seperti yang lain. “Coba kalian lihat. Badan dia kebakar gini.” Tutur Argo membuat mereka mengerubungi tubuh Bisma. “Bukan main!” Seru Angga mengernyitkan wajah berkacamata, karena lelah dan kaget dengan kondisi Bisma yang lebih parah lagi. Luka bakar di dada dengan kaus hitam yang bolong-bolong terbakar. “Aku rasa dia kesambar petir terus jatuh ke batu tadi. Kasian sekali dia.” Tambah Argo lagi merangkai kejadian dan menyimpulkan yang terjadi pada Bisma. Melihat darah masih mengucur, Siska langsung mengikatkan kain corak kotak-kotak di lehernya, tepat di kepala Bisma tempat luka bersarang. Bersama-sama, mereka semua membawa Bisma ke rumah sakit.

Liburan yang baru saja akan dinikmati, berubah menjadi musibah bagi salah seorang teman mereka. Ini membawa duka bagi keluarga Bisma. Entah kenapa hal itu bisa menimpa lelaki tampan berambut cepak itu, yang sekarang terbujur kaku di kamar rumah sakit. Kondisinya koma sampai berminggu-minggu. Sampai pekan kelima di hari senin, Bisma baru sadarkan diri dan melepas ventilator. Ketika sadar sudah berlilit perban putih di kepala dan tubuhnya. Dia masih merasakan sakit yang sangat tidak enak dirasa. Ibu dan adiknya senantiasa menunggu dirinya sadar. “Gimana perasaan kamu, mas?” Tanya Ayu, adik Bisma yang cantik dan imut. Di sebelah kanan, ada sang ibu yang perhatian memberi senyuman dan usapan hangat ke keningnya.

“Aku baik, Yu.” Jawab Bisma meyakinkan adik sekaligus ibunya. Bisma bergeser memandangi wajah ibu yang sembab. Tanpa diberitahu, anak laki-lakinya itu tahu kalau sang ibu baru saja menangis di balik senyumannya. “Ibu, maafkan mas ya bu. Karena mas udah bikin ibu sedih. Sekarang mas sudah baikan, kok.” Ujar Bisma menyudahi sedih ibunya seraya menggengam tangan sang ibu. Di hari pertama, belum ada teman-temannya yang datang menjenguk.

Ranum, Moko dan Argo menelpon Bisma untuk menanyakan kondisinya hari itu setelah mendapat kabar dari Ayu. Siang itu, Ranum yang pertama kali memastikan kabar Bisma melalui telpon. “Halo, Bisma. Gimana kabar lo? Udah enakan?” tanya perempuan itu sekaligus ke intinya. “Gue udah jauh lebih baik, walau masih harus pake penyangga leher dan perban.” Jelas Bisma berkata jujur. “Kali ini gue jujur, kok.” Tambahnya lagi meyakinkan Ranum yang sering dia bodohi. “Iya, gue tau lo jujur kok…” sesaat Ranum menggigit bibirnya mencari kata yang pas, “Cepet sembuh ya! Gue ada perlu lagi. Dah!” Ujarnya bernada lembut mengakhiri percakapan. Ranum akhir-akhir ini banyak berubah dan lebih lembut dari biasanya. Pikiran itu terbesit oleh Bisma, yang seringkali tersenyum bila memikirkan sikap Ranum. Berbeda dengan dua temannya yang lain, mereka lebih suka berbasa-basi dan bercanda dimanapun dan saat apapun juga.

Hari esoknya menjadi tak terduga dan mendebarkan. Entah dari mana datangnya duka itu, merenggut nyawa Bisma. Padahal kemarin, kelima temannya itu ingin menjenguknya hari ini yang akan menjadi kejutan penyembuh. Tapi hanya nestapa yang dapat diratapi semua. Semua sangat sedih dan terpukul saat penguburan jenazah Bisma. Sang ibu menangis menjerit-jerit tak kuasa menahan sedihnya ditinggal anak laki-laki tercinta. Begitupun Ayu yang terisak tangis sesenggukan. Hal itu mampu dirasakan teman-teman Bisma. Semua yang ada di sana berbusana serba hitam mengisyaratkan duka atas kematian manusia.

Tapi tak semua manusia itu berduka. Ada juga yang senang atas kematiannya. Di golongan itu, ada yang dekat di sekitar. Setelah pemakaman usai, ibu dan Ayu masih berada di pusara persemayaman Bisma. Lelaki gondrong berkacamata itu meninggalkan keempat temannya tanpa pamit. Sedangkan temannya yang lain masih menemani keluarga itu di sana. Dari jauh dia berhenti memandangi pusara Bisma. Sesaat tersenyum dan tertawa kecil sambil meludah. “Akhirnya lo mati juga, haha.” Ucapnya membangkitkan perasaan senang. Yang mana kata-kata itu keluar dari mulut seorang Angga. Dia pun mengeluarkan sebuah kartu bersimbolkan waktu yang mengitari jari jemarinya. “Ini akibat lo suka caper sama Ranum.” Tandasnya cemburu dengan keakraban dua temannya itu. Berimbas pada emosi yang bertindak baik untuk dirinya seorang. Setelahnya lelaki itu berjalan kembali, dia semakin jauh tak terlihat.

Semuanya tidak tahu, kalau kematian Bisma adalah ulah Angga dan campur tangan waktu. Mereka menganggap itu semua adalah murni takdir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun