Hari esoknya menjadi tak terduga dan mendebarkan. Entah dari mana datangnya duka itu, merenggut nyawa Bisma. Padahal kemarin, kelima temannya itu ingin menjenguknya hari ini yang akan menjadi kejutan penyembuh. Tapi hanya nestapa yang dapat diratapi semua. Semua sangat sedih dan terpukul saat penguburan jenazah Bisma. Sang ibu menangis menjerit-jerit tak kuasa menahan sedihnya ditinggal anak laki-laki tercinta. Begitupun Ayu yang terisak tangis sesenggukan. Hal itu mampu dirasakan teman-teman Bisma. Semua yang ada di sana berbusana serba hitam mengisyaratkan duka atas kematian manusia.
Tapi tak semua manusia itu berduka. Ada juga yang senang atas kematiannya. Di golongan itu, ada yang dekat di sekitar. Setelah pemakaman usai, ibu dan Ayu masih berada di pusara persemayaman Bisma. Lelaki gondrong berkacamata itu meninggalkan keempat temannya tanpa pamit. Sedangkan temannya yang lain masih menemani keluarga itu di sana. Dari jauh dia berhenti memandangi pusara Bisma. Sesaat tersenyum dan tertawa kecil sambil meludah. “Akhirnya lo mati juga, haha.” Ucapnya membangkitkan perasaan senang. Yang mana kata-kata itu keluar dari mulut seorang Angga. Dia pun mengeluarkan sebuah kartu bersimbolkan waktu yang mengitari jari jemarinya. “Ini akibat lo suka caper sama Ranum.” Tandasnya cemburu dengan keakraban dua temannya itu. Berimbas pada emosi yang bertindak baik untuk dirinya seorang. Setelahnya lelaki itu berjalan kembali, dia semakin jauh tak terlihat.
Semuanya tidak tahu, kalau kematian Bisma adalah ulah Angga dan campur tangan waktu. Mereka menganggap itu semua adalah murni takdir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H