Manusia Serigala Membunuh Sang Ayah | Thriller
Di malam jumat, hujan badai di luar menggetarkan seisi rumah. Di salah satu kamar terbaring lemah pria tua, di sampingnya duduk anak semata wayang pewaris tunggal keluarga Desparato.  Yang sakit adalah sang ayah, kepala keluarga Desparato. Dia bernama Ridstone. Sedangkan sang anak yang meratapi kondisinya, dia bernama  Burton. Burton tidak tahu menahu dengan penyakit sang ayah. Apalagi dengan kondisi tubuhnya yang pucat kurus kering tak bisa bangun dari kasur berminggu-minggu.
"Ayah, ada apa dengan kondisimu yang sekarang?" Tuturnya bingung melihat pria tua itu terus menatap langit-langit kamar tanpa merespon suara tanyanya. Lalu datang seorang asisten rumah tangga mengurusi Ridstone sebelum tidur malam itu. "Selamat tidur, yah." Burton mengecup dahi sang ayah dan pamit pergi. "Jaga dia dengan baik." Ujar lelaki itu kepada asisten di dekatnya memberi amanah. "Baik tuan." Balas asisten itu seraya membungkuk hormat. Laki-laki itu pun melenggang keluar dari sana. Sang asisten rumah tangga berbisik sesuatu di telinga Ridstone. Dirinya mengeluarkan jimat dewa serigala dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Mengikuti tanda itu, petir yang jauh mendekat ke rumah. Suaranya terasa sejengkal di atas kepala. Petir merah itu tiba-tiba menyambar tubuh Burton, membuat percikan api membakar seluruh tubuhnya. Lelaki itu terkapar hangus di lorong rumah. Tak ada bagian tersisa dari tubuhnya yang mati. Dia sudah tidak terselamatkan.
Di lain tempat, sang ayah langsung meregangkan tangan kakinya setelah bangun dari ranjang tidur. Tubuhnya kembali sehat tanpa kurang apapun, dan mampu berbicara normal sedia kala. Asisten tadi membuka identitas aslinya, yang merupakan bawahan dari Mettus. Orang itu yang mengutusnya sampai kemari. Ada perjanjian antara Ridstone dan Mettus demi kekayaan, abadi, dan awet muda. Perjanjian tersebut akan mengabulkan keinginan Ridstone, namun sempat terhalang oleh keberadaan adiknya yang bernama Velikan. Sekarang dia sudah disingkirkan, maka menjadi mudah baginya untuk melanjutkan langkah terakhir. Yaitu menumbalkan Burton anak semata wayangnya kepada Mettus.
"Akhirnya aku memperoleh keinginanku!" Teriak Ridstone nadanya menggelegar. "Hahaha!" tawa giginya terlihat lebar dengan lototan mata tajam melihat ke langit-langit. Mulai hari ini dia tak akan menua, usianya akan sangat panjang dan abadi. Tidak ada siapaun yang dapat membunuhnya, kecuali dengan pedang perak. Lalu di hutan, seekor serigala berlari kencang dan tiba-tiba disambar oleh petir merah. Seketika tubuhnya membentur keras pohon cemara dan terkapar di tanah. Bulu serigala itu seketika berubah merah seluruhnya. Ada tanda garis hitam besar bersarang di tubuhnya memotong bulu di kulit. Perlahan serigala itu bertransformasi ke bentuk manusia untuk pertama kalinya. Siapa sangka, manusia itu adalah Burton yang tanpa busana. Dirinya kembali hidup sebagai seekor serigala jadi-jadian. Tubuhnya lemas tak mampu bangkit untuk berdiri. Dia merasa sangat panas di sekujur tubuh, terutama rusuknya. Bagai dilebur lava gunung merapi, yang sangatlah panas. Tepat di rusuk kirinya tanda garis hitam besar itu sekarang bersarang. "Aaaa-aa-aa!" rintih Burton membuka mulutnya tinggi-tinggi, kesakitan tepat di tanda itu.
Dia merangkak ke depan sana, di bawah pepohonan cemara mencari bantuan di tempat terbuka. "Siapapun, tolong aku." Belum sampai ke depan sana, Burton kembali tak sadarkan diri setelah kematian di tubuh aslinya. Di gereja, tubuh manusia Burton telah dipetikan rapih dan tertutup. Di atasnya diletakkan sebuah foto Burton memperingati duka kematiannya. Semua kerabat dekat dan warga daerah itu turut berbela sungkawa atas kematian anak semata wayang keluarga Desparato. Ucapan itu disampaikan kepada Ridstone dari tiap-tiap orang. Sang ayah berpura-pura sedih atas kematian anaknya itu. "Semuanya, terimakasih atas kehadiran kalian di sini. Aku sangat bersedih atas kematian anakku tercinta. Huhuhu." Tuturnya bersandiwara penuh emosi yang palsu, dia perlihatkan kepada semua. Orang-orang di sana terbuai dengan drama Ridstone.
Lalu esok harinya di pagi cerah, peti itu masuk liang lahat di pemakaman sekitar di dekat pohon pinus. Tempat itu sangat jauh dari serigala Burton berada. Â Burton sekarang berada di sebuah gubuk di dataran tinggi pegunungan. Dia membuka mata terkejut. "Siapa yang membawaku kemari?" Gumamnya seraya menarik tubuh untuk bangun dari kursi panjang di sana. Ketika beranjak, dia sadar lukanya telah diobati dan ditutupi kain putih. Masih tanpa busana, dia melihat setelan pakaian kulit tergantung tak jauh darinya. Setelah memeriksa, tidak ada orang lain lagi di dalam gubuk itu. Membawanya pergi keluar gubuk untuk melihat suasana sekitar, yang tanahnya rerumputan hijau dengan gundukan jerami di samping gubuk itu. "Aku harus pergi dari sini segera." Gumamnya tak pikir panjang langsung bergegas pergi menuju hutan pinus. Laki-laki serigala itu berlari dengan sangat cepat. Kakinya sangat ringan dan bertenaga, membuatnya leluasa untuk bergerak. Ini sungguh tidak biasa buatnya. Lalu tiba-tiba dari balik pohon seseorang muncul, meninju wajahnya hingga remuk. Tubuhnya rubuh tidak sadarkan diri lagi.
Di sore harinya Burton kembali terbangun. Kali ini dia menjumpai seorang berjubah bulu di dalam gubuk membelakanginya. Laki-laki berjubah itu langsung berbalik menyapa Burton. "Jadi, bagaimana rasanya hidup kembali?" Tanya spontan orang berjubah itu seraya tesenyum dingin. "Apa maksudmu?" Balas Burton bertanya balik tak mengerti yang dikatakan oleh orang asing yang duduk di depannya itu. Berpikir semua janggal, termasuk orang asing berjubah bulu itu. Dia pun beranjak pergi lagi dari sana. Baru dua langkah, kakinya berhenti mendengar kata-kata orang itu. "Bulu ini adalah bulu serigala, dan kau juga. Ayahmu adalah dalangnya." Kali ini yang keluar dari mulutnya sebuah teka-teki rumit yang bebal di telinga Burton. Dia tak menanggapinya dan melenggang begitu saja berlari jauh ke dalam hutan pepohonan pinus. Tujuannya saat itu adalah pulang kembali ke rumah.
Di tengah perjalanan, hari mulai gelap. Matahari tergelincir ke ufuk barat, berganti bulan yang terbit dari timur. Malam itu, bulan purnama akan muncul dan ditunggu-tunggu oleh Ridstone. Dari balkon lantai 2, dia memandangi bulan yang sebentar lagi berubah purnama. Anak semata wayang keluarga itu sampai di depan kediamannya yang megah. Di depan gerbang besi, lelaki itu memanggil pria tua penjaga pintu di depan rumah. "Harvige, tolong buka gerbangnya!" Pintanya agak lirih seraya memberi gestur suruh mendekat. Harvige menghampiri ke dekat muka Burton. "Tuan muda, benarkah itu anda?" Tanyanya spontan mengenali tuannya yang tak keliru. "Iya, ini aku. Aku ingin melihat ayah." Ujarnya setelah masuk ke dalam gerbang. "Kukira kau sudah mati, tuan?" terka penjaga pintu memeluk tuan muda rumah itu dengan perasaan senang melihatnya lagi. Burton menerima pelukan itu dengan empati yang sama. "Ada yang perlu tuan ketahui tentang ayah tuan." lanjut Harvige serius berkata.
Dari rautnya tak senyaman tadi, ketika harus memberitahukan hal itu. "Tuan Ridstone telah pulih kembali, dia sehat bugar dan nampak lebih muda di usianya. Tapi aku merasa janggal, makanya aku harus memberitahumu." Terang penjaga pintu itu meluruhkan ketidaknyamanannya. "Itu bertepatan dengan kematian tuan muda kemarin." Tambahnya lagi meyakinkan Burton akan kejanggalan di rumahnya itu. Tak berkata apa-apa lagi, tuan muda itu langsung menginjakan kaki ke dalam rumah dengan cepat. Burton masih sama seperti sebelum kematiannya, hanya pakaian yang berbeda yang dia kenakan dan tak kurang apapun. Oleh karena itu para pesuruh masih mengenalinya dengan percaya atau tidak, setelah menyaksikan tuannya menginjakan kaki lagi ke rumah. Laki-laki itu langsung masuk ke kamar sang ayah. Dia tak menemukan ayahnya yang kemarin terbaring di kasur. "Apakah semua ini benar?" Terka Burton masih bingung dengan yang dia lihat di sana. Dari balkon kamar itu, muncul sinar putih terang memenuhi isi luar. "Apa itu?" Gumamnya seraya melangkah ke depan sana.
Ternyata bulan Purnama bersinar sangat terang. Memicu sesuatu dalam diri Burton. Diikuti lolongan serigala dari berbagai penjuru. Ototnya membesar dengan cahaya merah menyelimutinya. Seketika itu dirinya berubah menjadi serigala sepenuhnya, dengan ukuran sangat besar. Beratnya memenuhi balkon dan merusak tembok di kedua sisi. Balkon itu runtuh, menjatuhkan serigala itu ke tanah. "Awuuuuuu!" Serigala itu bangkit melolong seraya menatap bulan dengan mata merah menyala. Begitupun dengan Ridstone. Dia telah ditipu oleh Mettus. Ternyata perjanjian itu mengutuknya menjadi serigala jadi-jadian. Dari balkon lain muncul serigala hitam besar seukuran serigala Burton. Kedua serigala itu membuat kerusakan parah di taman belakang rumah.
Serigala Ridstone menggertakkan giginya saat berhadapan dengan Serigala anaknya. Mereka berduel di sana, memporak porandakan taman itu. Air mancur hancur dan tanah bergelombang dengan lubang-lubang besar bersarang. Bahkan sepertiga rumah itu runtuh akibat benturan dan gejolak pertarungan mereka. Sampai keduanya lelah dengan lukanya masing-masing yang bersarang. Kedua serigala itu pun berubah ke bentuk awal masusianya. Keduanya lusuh acak-acakan, pakaian sobek di semua tempat. Darah mengucur di tubuh keduanya.
"Jadi kau dalangnya." Rintih Burton seketika menitihkan air mata. Matanya berkaca-kaca tak habis pikir pada ayahnya sendiri. "Mengapa kau berbuat begini?" Tanyanya mendekat kepada Ridstone. Dia menjatuhkan lutut kakinya di depan sang ayah. Tangannya menempel ke tanah seraya menangis sejadi-jadinya. Bahkan saat itu, Burton tak mengenali ayahnya lagi dengan tubuh barunya. Mereka lebih cocok disebut adik kakak daripada ayah dan anak. Belum sempat Ridstone menjelaskan, Burton langsung mengambil kerah baju sang ayah dan menyeretnya ke dekat tempat persenjataan. Di situ dia dipukuli habis-habisan oleh sang anak dalam keadaan terlanjur babak belur. Burton mengambil sebuah pedang perak yang dapat membunuh serigala. "Matilah!" Dia menusukan pedang itu tepat di jantung Ridstone hingga tembus menancap ke tiang pondasi rumah. Raut wajah Burton berubah dingin tanpa seringaian. Kematian sang ayah adalah balasan atas kematiannya yang membawa kutukan itu kemari. Para asisten rumah yang melihat itu langsung bergidik ketakutan. Mereka semua gemetar menyaksikan pemandangan malam itu, terlebih tatapan Burton yang tajam dan misterius semakin membuat ngeri. Dan semua berakhir. Tuan muda rumah itu tidak pernah terlihat lagi, dan kediamannya terbengkalai tanpa ada yang mengurusi. Rumah megah keluarga desparato akhirnya menjadi cerita menyeramkan dari mulut ke mulut sampai sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H