Namun apabila pernikahan para artis dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan positif yang tentu saja menjadi sangat wajar untuk diikuti, baik seremonial maupun nominalnya, tergantung masing-masing individu, lain halnya dengan penyalahgunaan narkoba yang jelas merupakan konten negatif yang sangat diharamkan untuk dikuti.
Namun, konstalasi pemberitaan tadi akan berbalik seratus delapan puluh derajat apabila si artis yang tertangkap ialah sosok yang kalem, lembut, penuh kelucuan dan sering tampil di program stasiun tv bertema humor, tiba-tiba terjaring oleh pihak yang berwajib dalam kasus narkoba.Â
Segala penjuru pemberitaan akan tertuju padanya dengan dibalut narasi-narasi informatif nan membuat mata terbelalak. Kok bisa ya? Sejak kapan? Gak nyangka ya?. Obrolan khas ibu-ibu saat membeli sayur depan rumah pun tersaji dengan meriah di media sosial. Disinilah sifat kemanusiaan lain kita bisa timbul secara alamiah, Menghakimi.
Apakah sebegitu rentannya para pesohor ini menjadi konsumen setia dan tidak memikirkan karir yang telah dibangun dengan susah payah?. Jawabanya iya. Rasanya tidak perlu kita tuliskan secara kuantitatif berapa jumlah artis yang terjerat narkoba, bukan karena tidak ingin menuliskan tetapi sama seperti alasan diatas, terlalu sering dan pasti terjadi pada kurun waktu tertentu.Â
Sampai tulisan ini dibuat sudah 5 artis yang diciduk oleh pihak berwajib, artinya jika dirata-ratakan hingga juli 2019, kurang lebih setiap 40 hari sekali ada pesohor yang begitu dipuja puji berbelok nasibnya. Bak arisan yang dikocok setiap bulannya, para artis ini seolah hanya tinggal menunggu waktu agar namanya muncul diberbagai media karena tiba-tiba terciduk aparat.Â
Rasanya hampir seluruh lini hiburan pernah tersentuh narkoba. musisi, pemain film, pesinetron, pelawak adalah deretan profesi di dunia hiburan yang pernah tercatat dalam sejarah sebagai penyumbang konsumen. Dunia hiburan atau kita persempit saja menjadi dunia pertelevisian, memang menuntut performa konsisten dan maksimal dari para pelakunya.Â
Tuntutan untuk selalu menyajikan karya terbaik, apalagi yang memiliki jam tayang rutin setiap hari, membuat para artis menampuh jalan instan demi mendapatkan tenaga dan stamina yang seolah tidak ada habisnya.Â
Bukan tanpa alasan, persaingan para artis pun cukup sengit. Jika tidak menampilkan yang terbaik maka bersiap-siap di gusur artis yang lebih fresh dan menghibur di pekan selanjutnya. Saling sikut antar program dalam perebutan rating menjadi menu utama yang harus dimenangkan, dan itu kembali bergantung pada performa si artis.
Gaya hedonis nan berkelas dari para artis pun mendorong perilaku menyimpang ini. Sebagai insan yang hidup dan berkehidupan di kota metropolitan sebesar Jakarta, wajib hukumnya untuk mempertahankan eksistensi diri, baik melalui penampilan, pergaulan dan pekerjaan.Â
Tuntutan eksistensi inilah yang kemudian berpotensi mendorong pada pergaulan yang keliru dan memiliki kemungkinan kecil untuk kembali ke jalan yang benar. Tidak salah memang jika para artis bergaya hedon karena salah satu pemicu bergaya hedon ialah penghasilan yang hampir berpredikat unilimited.
Yap, dunia hiburan memang menjanjikan penghasilan tinggi, popular dan melesatkan status sosial seseorang, bandingkan dengan seorang birokrat yang sekalipun mempertahankan konsistensinya sebagai birokrat yang baik dan jujur selama bertahun-tahun, tetap tidak akan pernah se popular para aktor panggung hiburan.