Narkoba dan panggung hiburan adalah dua sisi kehidupan yang hampir selalu bersamaan, bergandengan tangan, bersuka ria dalam gemerlap kehidupan metropolitan ibukota, itu jika kita mengasosiasikan pusat hiburan adalah jakarta. Memang benar, Jakarta ialah pusat segalanya di republik ini.Â
Selain secara normatif dan yuridis sebagai pusat pemerintahan, Jakarta juga memiliki daya magis tersendiri untuk menjadi rujukan seberapa berkembang kota yang kita diami saat ini. Seberapa banyak mol yang berdiri di kota kita? Seberapa menjulang tinggi Gedung perkantoran? Atau seberapa sering para pesohor manggung di kota kelahiran kita?.Â
Memang tidak ada Lembaga resmi yang menyajikan data tersebut tapi secara kasat mata tentu kita sudah bisa mempunyai parameter tersendiri untuk menjawab pertanyaan diatas, dan hasilnya tentu saja bisa dipastikan kalau sebagian besar daerah di republik ini tidak mempunyai infrastruktur hiburan yang selengkap dan sesempurna Jakarta.Â
Kesempurnaan itulah yang membuat hiburan di Jakarta menjadi kiblat dengan segala tetek bengeknya hingga perilaku para pesohornya menjadi tontonan dan panutan.
Dimulai dari artis yang memiliki gaya berbusana casual, trendy, modern yang segera diikuti oleh pemuja dan pengagum diseantero nusantara. Artis yang punya gaya rambut curly, mohawk dan lain sebagainya yang secara otomatis mempengaruhi jiwa kelelakian kaum adam yang baru Aqil Baliqh.
Hingga pernikahan para artis dengan pengusaha tajir melintir dengan nilai fantastis yang dahulunya tidak pernah tervisualisasi di media, kini bisa ditemukan di beberapa daerah. Kalau tingkatan ekonomi bukan hambatan, niscaya seluruh tingkah laku artis ibukota akan diikuti oleh anak cucu adam di daerah.
Itu bagian hebatnya, nah gimana dengan bagian mirisnya?
Artis juga manusia, punya prestasi menggunung tak berarti selalu dijunjung. Punya gaya hidup mewah tak selalu tanpa cela. Dibalik warna-warni lampu sorot plus kamera beresolusi nomor wahid yang setiap saat memampang wajah di televisi LED, terselip sifat kemanusiaan alami, salah.
Siapa manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan? Tentu tidak ada. Tapi jika pertanyaan itu diganti menjadi, bagaimana jika seorang public figure yang melakukan kesalahan?
Jawabannya tentu akan bermacam-macam bentuk dan sudut pandangnya. Paling fasih mungkin orang akan mengiyakan jika ia berdalih pada kekhilafan yang manusiawi. Tetapi dalam sudut pandang hukum normatif, tiada kesalahan yang tidak mempunyai konsekuensi, sekalipun berlindung dengan sempurna pada kekhilafan.
Pesohor yang terbelit persoalan hukum, seperti narkoba sebetulnya terdengar biasa saja dan hampir selalu ada di headline pelbagai media hingga terlihat normal dan tidak sebegitu sensasional dibanding pernikahan artis yang menghabiskan bermiliar-miliar rupiah.Â
Namun apabila pernikahan para artis dapat diklasifikasikan sebagai perbuatan positif yang tentu saja menjadi sangat wajar untuk diikuti, baik seremonial maupun nominalnya, tergantung masing-masing individu, lain halnya dengan penyalahgunaan narkoba yang jelas merupakan konten negatif yang sangat diharamkan untuk dikuti.
Namun, konstalasi pemberitaan tadi akan berbalik seratus delapan puluh derajat apabila si artis yang tertangkap ialah sosok yang kalem, lembut, penuh kelucuan dan sering tampil di program stasiun tv bertema humor, tiba-tiba terjaring oleh pihak yang berwajib dalam kasus narkoba.Â
Segala penjuru pemberitaan akan tertuju padanya dengan dibalut narasi-narasi informatif nan membuat mata terbelalak. Kok bisa ya? Sejak kapan? Gak nyangka ya?. Obrolan khas ibu-ibu saat membeli sayur depan rumah pun tersaji dengan meriah di media sosial. Disinilah sifat kemanusiaan lain kita bisa timbul secara alamiah, Menghakimi.
Apakah sebegitu rentannya para pesohor ini menjadi konsumen setia dan tidak memikirkan karir yang telah dibangun dengan susah payah?. Jawabanya iya. Rasanya tidak perlu kita tuliskan secara kuantitatif berapa jumlah artis yang terjerat narkoba, bukan karena tidak ingin menuliskan tetapi sama seperti alasan diatas, terlalu sering dan pasti terjadi pada kurun waktu tertentu.Â
Sampai tulisan ini dibuat sudah 5 artis yang diciduk oleh pihak berwajib, artinya jika dirata-ratakan hingga juli 2019, kurang lebih setiap 40 hari sekali ada pesohor yang begitu dipuja puji berbelok nasibnya. Bak arisan yang dikocok setiap bulannya, para artis ini seolah hanya tinggal menunggu waktu agar namanya muncul diberbagai media karena tiba-tiba terciduk aparat.Â
Rasanya hampir seluruh lini hiburan pernah tersentuh narkoba. musisi, pemain film, pesinetron, pelawak adalah deretan profesi di dunia hiburan yang pernah tercatat dalam sejarah sebagai penyumbang konsumen. Dunia hiburan atau kita persempit saja menjadi dunia pertelevisian, memang menuntut performa konsisten dan maksimal dari para pelakunya.Â
Tuntutan untuk selalu menyajikan karya terbaik, apalagi yang memiliki jam tayang rutin setiap hari, membuat para artis menampuh jalan instan demi mendapatkan tenaga dan stamina yang seolah tidak ada habisnya.Â
Bukan tanpa alasan, persaingan para artis pun cukup sengit. Jika tidak menampilkan yang terbaik maka bersiap-siap di gusur artis yang lebih fresh dan menghibur di pekan selanjutnya. Saling sikut antar program dalam perebutan rating menjadi menu utama yang harus dimenangkan, dan itu kembali bergantung pada performa si artis.
Gaya hedonis nan berkelas dari para artis pun mendorong perilaku menyimpang ini. Sebagai insan yang hidup dan berkehidupan di kota metropolitan sebesar Jakarta, wajib hukumnya untuk mempertahankan eksistensi diri, baik melalui penampilan, pergaulan dan pekerjaan.Â
Tuntutan eksistensi inilah yang kemudian berpotensi mendorong pada pergaulan yang keliru dan memiliki kemungkinan kecil untuk kembali ke jalan yang benar. Tidak salah memang jika para artis bergaya hedon karena salah satu pemicu bergaya hedon ialah penghasilan yang hampir berpredikat unilimited.
Yap, dunia hiburan memang menjanjikan penghasilan tinggi, popular dan melesatkan status sosial seseorang, bandingkan dengan seorang birokrat yang sekalipun mempertahankan konsistensinya sebagai birokrat yang baik dan jujur selama bertahun-tahun, tetap tidak akan pernah se popular para aktor panggung hiburan.
Jika sudah begini maka kita hanya tinggal menunggu pesohor yang akan keluar Namanya dalam arisan sesat ini. Dan mirisnya, tidak ada senjata ampuh untuk menghentikannya. Mungkin kita harus memodifikasi kalimat sakti Paman Ben dalam film Spiderman.
"seiring datang penghasilan besar terdapat tanggung jawab yang besar pula"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H