Puntung Rokok Papa dan Selendang MamaÂ
Di sebuah temu kecil yang sedikit menguras, air aku duduk di sudut ruangan gelap menatap kesunyian sambil meratapi nasib yang sudah tak lagi menentu. Hidup sesungguhnya adalah tatap dan ratap. Gema Natal kali ini seperti menusuk sendi-sendi hati, menank rindu. Tak dapat dibayangkan nada syahdu menggema di suatu kampung yang begitu sepi, dalam kesunyian yang mengerikan tiada suara lain menemani gema itu selain rintik air mata yang jatuh sembari mengupil.Â
Sebelum malam melarutkan sadarku ingatanku tiba-tiba mengunjungi sebuah potretan tentang sekelompok anak-anak yang diajarkan tentang kisah kelahiran Tuhannya, melalui seadegan drama, aku sempat dengar ada Ayah, Ibu, dan Bayi. Setelah itu mereka memerankan kisah kelahiran itu. Sungguh luar biasa ketika iman, kasih dan damai membentuk cinta maka tiada yang mustahil.Â
" Sungguh mulia ketika hidup bersama keluarga yang lengkap, bisa ajak adik main bareng, cerita dengan papa, lalu melihat mama memasak ah sesempurna itukah ilusi? " Rintihanku dalam hati.Â
" Nikmati saja jika hari ini adalah takdir dan besok itu adalah misteri, bertemu dengan mereka itu adalah besok! "Â
Dingin makin menyengat, gerimis di luar tiada henti, rintihan hatipun tak kunjung usai.Â
" Minum kopi? " Aku seolah adalah orang lain yang mencoba mengajak untuk menyeduh kopi.Â
" Buat ah, sendiri kok pake ajak "Â
Perlahan menuju meja makan ada toples kopi, gula dan termos air panas yang setiap hari menjaga rumah tua itu.Â
" Besok aku harus ke gereja, aku ingin lihat bagaimana anak laki-laki kecil itu memerankan sosok seorang Papa, dan perempuan kecil itu memerankan Mama yang baik dan keduanya menjadi orang tua yang baik anaknya, ah menarik "Â