Aksi – Reaksi
Ku keluarkan cotton bud dari dalam dompet tua ku. Biru, hadiah ulang tahun dari sahabatku beberapa tahun yang lalu. Warnanya sudah menghitam. Bercampur dengan debu kotoran yang menumpuk selama setahun. Tak pernah di bersihkan. Hal yang sama terjadi dengan jam karet yang kukenakan. Warnanya tak lagi putih. Jam tua yang juga merupakan hadiah dari dosen ku. Sudah dua tahun sangat akrab dengan pergelangan tangan kiriku. Sehingga menimbulkan bekas lingkaran putih pada pergelangan tangan kiriku. Sinar ultraviolet menghitamkan seluruh bagian tubuhku yang terbuka selama aku bekerja. Muka, tangan, serta kaki. Meghitam tanpa ampun. Kubersihkan dengan sangat hati hati sela-sela jam karetku yang dipenuhi debu. Miris.
Sepertinya perlu keceritakan terlebih dahulu. Bahwa aku adalah seorang guru. Guru muda yang baru saja beranjak dari kerasnya dunia tugas akhir. Mata kuliah 4 SKS yang menyita waktu, tenaga, dan air mata serta megurangi fungsi otak karena terkadang ketika kau terlalu stress, alkohol datang dan menawarkan kehangatan yang mampu membuatamyngdaladanprefontal kortekssulit untuk berinteraksi satu sama lain sehingga masalah skripsi berganti dengan suara audio sonik yang bisa digolongkan sebagai pencemaran suara tingkat menengah. Dan frekuensi otak meraih tingkat yang lebih tinggi sehingga dalam periode tertentu aku menjadi lupa waktu, lupa masalah, lupa diri. Jam tidur malamku hanya seperempat dari waktu rotasi bumi. Namun tidak dengan sekarang. Semenjak menjadi guru. Waktu melimpah-ruah. Berbanding terbalik dengan uang yang dikumpulkan. Dan kebutuhan berkumpul dengan teman-teman yang semakin meningkat. Menyebabkan isi dompetku seperti grafik garisasymptote. Hampir menyentuh nilai nol sumbuAxis. Hampir tak pernah berisi. Hampir.
Lekat-lekat kutatap lapangan volley yang belum jadi. Entah bisa kusebut itu lapangan volley entah tidak. Dari segi ukuran itu sudah bukan lapangan volley. Dengan net yang dipasang sembarangan oleh guru olahraga. Rekan kerja favoritku. Kayu mahoni ditancapkan secara paksa di tanah gersang, yang berfungsi sebagai penyangga net. Angin bertiup. Menerbangkan megaliunan partikel debu ke arah barat. Sontak aku menutup wajahku dengan jilbab segi empat dari kain tetron tipis yang kukenakan, walaupun aku tau serat kain murahan ini tak akan mampu menyaring partikel debu yang sedemikian kecil itu.
Ini bukan zaman orde baru. Dimana komunikasi dan transportasi menjadi masalah utama dan pendidikan sangat diagungkan oleh segala jenis kaum, baik brahmana hingga sudra. Tapi sekarang, pendidikan sudah semacam bisnis yang menggiurkan. Memamahbiak dengan kecepatan cahaya menjadi raksasa penghasil emas. “ yang penting sekolah “ ini yang dilontarkan para tetangga ku. Entah dimana itu bersekolahnya, yang penting sekolah dan memiliki ijazah guna mencari kerja dan menjadi buruh di salah satu perusahaan asing. Entah diserap dengan baik atau tidak itu ilmunya yang terpenting adalah selembar kertas yang diresmikan pemerintah yang menyatakan kau memiliki segala pengatahuan yang seharusnya dimiliki remaja lulusan SMA. Include di dalamnya teori relativitas Einstein, azas black, bahkan sudut yang seharusnya dibentuk oleh kedua buah tanganmu agar menghasilkan pukulan yang sempurna dalam permainan bola Volley. Konon, namun tak seperti itu pula kualitas manusia tamatan SMA abad 21 ini. Tak tau apa-apa. Lucu, tapi memang tak tau apa-apa. Karena mereka memang tidak pernah belajar apa-apa.
Universitas tak lagi sepopuler milenium lalu. Oleh hukum sebab akibat, muncullah berbagai macam Sekolah Menengah Kejuruan, yang mendidik atau mungkin lebih tepatnya mengajar siswa-siswi menjadi siap menuju dunia kerja. Sehingga tidak perlu kuliah dulu untuk dapat siap menafkahi diri sendiri, lebih baik lagi keluarga. Dan menahan hasrat untuk segera berkeluarga. Masyarakat Indonesia. Menikah diusialess than 20adalah hal yang wajar.
Voilaaa! Inilah dia sekolahnya. Sekolah Menengah Kejuruan tempat aku bekerja. Setelah selesai yudisium, aku dikirim kembali kekota asalku oleh orang tuaku. Batam. dan beruntungnya aku berhasil diterima di salah sbuah sekolah menengah kejuruan di Batam.
Sekolah tempatku mengajar. Bangunannya baru dua buah gedung. Polos. Hanya memang benar-benar dua gedung. Sebuah sumur, dan sebuah lapangan volley. Tidak lebih dan tidak kurang.
Beberapa jurusan disuguhkan dalam sekolah baru ini. Administrasi perkantoran, Perbankan, dan Teknik Jaringan Akses.
Kadang kasihan aku dengan siswa teknik ini. Mereka bahkan tak bisa membedakan mana dioda mana katoda. Pernah sekali kubawa mereka bertanding mewakili sekolah. Kabar gembira kami mendapat juara 3 dalam perlombaan mendesain logo, logo pariwisata. Yang susah payah dibuat dengan menggunakan program paint. Resolusi warna yang buruk, dan hasil kerja yang sangat sangat sangat tidak rapi. Mereka tak tau bagaimana menggunakan Corel Draw atau Paint Tool Sai. Salah siapa? Mungkin aku. Mengapa tidak mengajarkan? Mungkin aku terlalu lelah karena thanks giving tidak cukup untuk membeli teh gelas atau sekedar segelas Aqua dingin. Baiklah. Kabar gembira tadi belum selesai. Jadi kami adalah pemenang juara 3 dari 3 peserta. Entah bagaimana aku menafsirkannya. Kami kalah sekaligus menang. Namun lain cerita bila sekolah kami dilengkapi fasilitas yang menggiurkan. Perkembangan akan lebih mudah diwujudkan.
“there’s an equal action for every reaction“ hukum aksi-reaksi oleh Sir Isac Newton. Mudah saja, pelajaran Fisika bab 5 semester dua Sekolah Menengah Pertama. “ Mengerti kan maksudnya? “  tanyaku kepada siswa-siswi kelas Teknik pada awal pembelajaran. Belum lagi kuberikan motivasi dan apersepsi mereka sudah kepalang kekusahan. Mereka bahkan tak mengerti apa itu aksi dan apa itu reaksi.
“ apa bu? Equalaksion? Itu kan yang penganut iluminati itu kan? Sudah kuduga. Ajaran ilmuan atheis ini tak perlu kita pelajari. Pasti terkandung pula ajaran-ajarannya didalamnya bu. Itu formula segitiga yang ibu gambarkan. Aku sudah curiga sejak awal “ aku diam saja. Anak ini terlalu banyak menonton video profokasi iluminati dengan keyakinan lain yang diakui secaraofficialdi bumi ini.
“ ehm. Jadi begini ya Jhonny. Arti dari hukum itu sendiri adalah untuk sebuah aksi akan ada setiap reaksi yang setimpal yang dihasilkan. Ya.. mudahnya saja. Ketika saya mendorong dinding ini. Sebenarnya dinding ini mengirimkan reaksi nya juga ke saya. Gaya balik dorongnya. Mudah kan?  Yang kamu maksud itu bukan equalaksion tapi freemanson kaum yang demikian berjaya pada abad pertengahan hingga saat ini, memiliki keyakinan yang jauh berbeda dengan kita. Mereka mempercayaiall one seeing eye. Segitiga formula ini Cuma untuk mempermudah kalian dalam menghapal. Kotak pertama yang paling atas itu berarti pembilang. Masing-masing yang di bawah adalah penyebut. Tutup salah satu yang ingin kamu cari, maka yang lain adalah rumus yang sebenarnya. Seperti jembatan keledai yang sering kalian gunakan untuk menghapal pada saat SD.“
Jidad Jhonny berkerut-kerut membentuk garis tipis diantara kulitnya yang demikian gelap.
“ahh. Tak mengerti aku buk. Dalam kehidupan sehari-hari bagaimana? “ pertanyaan klise sebelum memulai gempuran rumus baru.
“ yaa… sebelumnya boleh saya tanya sesuatu? apa yang sedang kamu inginkan? “
“ hmmm. Banyak sih bu. Tapi yang paling paling paling saya inginkan saat ini adalah bisa memenangkan perlombaan gerak jalan pada saat turnamen nanti. Saya kan kaptennya “ katanya bangga sembari menepuk-nepuk dada sendiri.
“ oke. Reaksi itu kamu ibaratkan saja hasil turnamen itu. Aksi itu adalah usaha yang harus kamu kerjakan dalam rangka mendapatkan reaksi yang kamu inginkan. Aksi-reaksi sama dengan usaha-hasil. Seperti apa usaha yang kamu lakukan akan seperti itu pula hasilnya “ dialog tak berbobot yang cukup menarik. Anak-anak lain hanya termangu diam. Memperhatikan kami seolah-olah kami adalah pembicara seminar internasional yang sedang membahas terobosan baru obat dari masalah utama di negeri kita. Kemiskinan.
“ oh begitu ya bu? Berarti aku harus bekerja keras untuk mendapatkan apa yang akan membanggakan sekolah kita ini ya bu “
“ indeed “ aku tersenyum. Tak perlu dijawab sebenarnya.
Aku keluar kelas seiring dengan suara bell yang memperingatkan bahwa jam mengajarku telah habis juga. Membawa segala buku dan proyektorke atas. Sekolah kami berbukit. Sehingga perlu tangga dari kayu yang dibuat secara sembarangan untuk naik ke bagian atas bangunan yang baru namun sudah rusak ini. Kaca-kaca yang retak. Mungkin kerena perhitungan yang tidak tepat. Kaca memuai dengan indahnya dan frame yang tidak dipersiapkan untuk space pemuaian itu dan pecahlah sang kaca untuk sesuatu yang sudah tidak porsinya lagi.
Jam megajar telah selesai. Biasanya aku hanya akan duduk di mejaku. Mengerjakan apa yang bisa kukerjakan, atau sekedar mencuri waktu dan mengobrol tentang kehidupan dengan guru favoritku. Aku selalu terkesan dengan semua nasihatnya. Sangat inspiratif. Menurutku.
“ Si Jhonny tiba-tiba semangat untuk lomba bulan depan “ katanya datar
“ oh ya? Bukannya bagus ya? “ balasku tak kalah datar
“ iya sih. Saya yang mungkin tak punya waktu untuk menemani mereka latihan “
“ yaa… iya sih… serahkan saja mereka latihan sendiri. Sisanya baru diarahkan “
Pak Adi diam. Aku diam. Terik matahari mungkin membuat kami sulit untuk berpikir lebih. (baca: malas untuk berpikir lebih)
Keesokan harinya, kutemukan Jhonny tertidur di kelasku. Nyenyak sekali. Badannya penuh peluh. Dengan mulut basah dengan air yang diminum terburu-buru. Aku ingin sekali memarahinya. Rasanya tak pernah kuajarkan kesopanan dengan tertidur pulas di kelas matematika.
“ kau tak akan paham teorema D’hospital ini bila tak mengikuti kelasku dengan baik. Bagaimana caranya mencari limit xkuadrat ditambah 2x per 7x pangkat empat? Bagaimana?“ anak-anak melongo. Sama sekali tak mengerti dengan yang aku katakan.
“ dia akhir-akhir ini latihan tiap hari untuk gerak jalan bulan depan bu. Datang ke sekolah jam 4 pagi dan meminpin latihan teman-teman yang lain. Mungkin dia kurang tidur “ salah seorang menjawab. Aku tertegun saja. Entah bahagia atau bagaimana.
“ di satu sisi itu bagus. Bersemangat. Tapi di sisi lain? Tanggung jawab juga perlu diemban. Tugas utama kalian apa? Sebagai siswa bukan? Menerima pelajaran sehari-hari bukan? “
“ hukum aksi-reaksi bu “ Jhonny terbangun dan melap air liur dari mulutnya. Matanya yang sudah besar itu tambah dibesar-besarkan. Tak biasanya dia begini. Jujur saja. Dia merupakan salah satu murid yang paling tidak kusukai. Peribut dan tidak berisi. Sampai aku membunyikan hukum aksi-reaksi sir Isac Newton. Tampaknya dia setuju dengan gejala alam yang satu itu.
Aku tersenyum saja. “ lanjutkanlah. Timbulkan reaksi yang dahsyat kalau begitu “ tiba-tiba 7 kata berikut mengubah suasana. Aku tetap berkutat dengan rumus D’Hospital yang tidak pernah dimengerti anak-anak. Jhonny tetap tertidur. Dan anak-anak tetap tak tau apa yang harus mereka lakukan dengan rumus D’Hospital ini. Limit oh limit …
Angin september bertiup dengan syahdu. Membawa biliunan partikel debu yang mengandung remah-remah bakteri ketika aku kelluar kelas. Entah bagaimana lagi kugambarkan keringnya sekolah kami ini. Memang tak perlu aku tau tingginya atas debu. Tapi bagaimanalah menghindarkan diri dari penyakit yang disebabkan oleh partikel debu ini?Tubercolosis, Influensa? bila mengenakan masker kau akan disangka pula terlalu jijik dengan lingkungan sekolah yang sebenarnya telah memberimu penghidupan dan menjadikanmu kaum Brahmana sebagaimana pengajar lainnya? Pilihan yang demikian sulit namun memang harus dijalani. Pandai pandai saja menutup muka dari segala jenis hal yang membuatku tambah semakin tak laku.
Kulihat Jhonny semakin semangat. Waktu tidur, tenaga dan pikiran bukanlah lagi yang harus diperhitungkan. Dijalani tugasnya dengan baik. Semuanya akan dibayar dengan reaksi yang mengagumkan.
Tak kutemani dia. Tak pula ditemani guru yang lain dalam berlatih. Kami semua terlalu sibuk mengerjakan administrasi yang membludak. Namun kabar bahagia datang sebulan kemudian. Jhonny dan teman-temannya berhasil mendapatkan juara 3 lomba gerak jalan sekota Batam. Kali ini tidak dari 3 peserta. Tapi seluruh Sekolah SMA yang ada di kota Batam. Rasa bahagia menjelma. Begitu rupanya jhonny paham bahwa usaha yang dibarengi doa akan mereaksikan hasil yang sangat memuaskan :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H