"Hari jangan..", belum selesai berkata, Hari sudah melangkah..
Lalu muncullah rekan Raffles yang siap memindahkanku ke mobil. Hari langsung mengambil tindakan. Ia berusaha marah dan berdebat dengan Raffles. Namun, Raffles yang egois mendorong Hari dengan sekuat tenaga. Raganya terbentur ke bebatuan dan badan kecil itu tak kuasa menahan sakit.Â
Namun, ia tetap melawan Raffles dengan tenaganya yang apa adanya. Ibunya berusaha memberhentikannya sambil meneteskan air mata, karena melihat Hari yang sudah luka-luka di wajahnya. Hari yang tak kuat menahan kesakitan di badannya itu terkulai lemas di pelukan ibunya. Ia hanya dapat berteriak. Teriakannya menggelegar bagaikan halilintar yang memenuhi langit biru. Namun, tidak ada yang menolong karena semua orang takut pada Raffles.
Aku tak dapat melihat apapun. Hanya dapat menghela nafas dan memendam rasa sakit hati ini. Berat rasanya berpisah bersama teman dekatku. Hubungan kami terjalin erat walau tak ada interaksi. Namun, aku percaya selama ini Hari tahu bahwa aku tersenyum setiap kali ia merawatku, ia tahu bahwa aku mendengar setiap ceritanya entah suka ataupun duka.Â
Ia bahkan tahu bahwa kerap kali aku menjawab keinginanya bersama dengan alam. Aku tahu, dia menganggap aku adalah pengganti ayahnya. Ia tidak dapat berinteraksi dengan ayahnya atau ibunya yang sibuk. Namun, aku selalu ada untuknya dan itulah mengapa sakit hatilah ia melihat aku pergi tanpa persetujuan diantara kami berdua. Aku bahkan belum mengucapkan terima kasihku padanya. Akankah kami bertemu kembali?
Sinar mentari menyinariku ketika aku kembali melihat dunia. Kini, aku memiliki banyak teman. Kebun Raya Bogor adalah tempat dimana banyak jenis pohon ditanam disana. Namun, cerita mereka tidak menyenangkan seperti cerita Hari.
Ketika aliran air terdengar begitu deras. Dan gemerciknya menyahut kicauan burung-burung di udara, langkah manusia terdengar kian membesar dan seperti biasa berinteraksi dengan yang lainnya dengan menghiraukan kami. Namun, seorang lelaki tua berbadan tegap berjalan tanpa jejak kaki membekas. Ia tersenyum dan mendekatiku.Â
Ternyata itulah Hari. Ia tumbuh dewasa dan meninggal, dan kini menemaniku berinteraksi yang sesungguhnya. Interaksi ini benar-benar penuh dengan senda gurau kami mengenang kehidupan kami sebelumnya. Ia menceritakan bahwa kisah aneh itu telah diceritakan kepada anak dan cucunya, dan mereka akan datang mengunjungi kami. Kalimat yang pertama kuucapkan pada Hari adalah terima kasihku padanya, karena ia telah menjadi sahabat dan perwira nan istimewa.
"Seorang sahabat umpama sebuah akar. Tidak terlihat, namun mendukung kita untuk terus naik ke atas."
AE