Kita dapat melihat bahwa politik identitas memiliki dua sisi yang berbeda. Di satu sisi, politik identitas dapat memicu polarisasi dan konflik. Di sisi lain, politik identitas dapat menjadi sumber kekuatan untuk memperkuat representasi dan inklusi dalam pemerintahan daerah jika dikelola dengan bijak.
Untuk menyikapi politik identitas secara bijak, beberapa langkah berikut dapat dipertimbangkan. Pertama, mendorong dialog antar kelompok. Menggunakan kampanye politik untuk membuka dialog antara kelompok identitas yang berbeda dapat membantu memperkuat pemahaman dan kohesi sosial. Kedua, menekankan identitas nasional. Sambil menghargai identitas, penting juga untuk menekankan identitas nasional sebagai warga negara Indonesia. Ketiga, mengangkat isu-isu umum yang menguntungkan semua kelompok. Alih-alih fokus pada isu-isu spesifik suku misalnya, kandidat dapat menyoroti masalah-masalah yang berdampak pada semua kelompok, seperti pembangunan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan sehingga dapat mengalihkan perhatian dari politik identitas yang sempit. Keempat, mendidik para pemilih tentang bahaya polarisasi. Melalui kampanye dan pendidikan pemilih, masyarakat dapat diberitahu tentang bahaya polarisasi dan pentingnya memilih berdasarkan kualitas dan visi kandidat, bukan hanya identitas kesukuan misalnya.
Pendeknya, politik identitas adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memiliki potensi untuk memecah belah masyarakat dengan mengeksploitasi perbedaan identitas. Namun di sisi lain, politik identitas bisa memperkuat persatuan dan keadilan sosial jika dikelola dengan bijak. Tantangan kita adalah bagaimana memanfaatkan politik identitas untuk memperkaya demokrasi lokal tanpa mengorbankan kohesi sosial. Dengan pendekatan yang tepat, pilkada bisa menjadi momentum untuk merajut kebhinekaan dalam bingkai persatuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H