Mohon tunggu...
Aldo Tona Oscar Septian
Aldo Tona Oscar Septian Mohon Tunggu... Penulis - Sarjana Hukum dengan predikat Cumlaude

Nama saya Aldo Tona Oscar Septian Sitinjak. Saya merupakan fresh graduate dari Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dengan gelar Sarjana Hukum predikat kelulusan Cumlaude. Hobi saya yaitu membaca buku dan menulis. Saya mendedikasikan hidup untuk melawan seksisme, rasisme, dan fanatisme. Ayo Follow Instagram : @aldotonaoscar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Lain Rempang, Lain Flores Tapi Sama-sama Didera Proyek Strategis Nasional

30 Desember 2023   06:31 Diperbarui: 25 Januari 2024   02:01 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Milik Pribadi

Sumber Gambar: Milik Pribadi
Sumber Gambar: Milik Pribadi

Lebih dari 7.000 warga Pulau Rempang, Kepulauan Riau diusir dengan kekerasan demi Proyek Strategis Nasional (PSN).

Di Flores, dengan luas pulau 15.531 km dan 2,7 juta jiwa warga, Pemerintahan Jokowi mendera pulau indah itu dengan pembangunan PSN proyek geothermal.

Pemerintahan Jokowi telah menetapkan "Flores Sebagai Pulau Geothermal" melalui SK Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017. Tidak main-main, terdapat 18 lokasi yang tersebar di 6 kabupaten yang disasar jadi tempat Proyek Strategis Nasional (PSN) itu.

Sejak penetapan itu, warga di berbagai lokasi dilanda rasa was-was akan dampak negatif terhadap lingkungan dan kehidupan mereka.

Aparat Menggunakan Kekerasan

Di tengah penolakan yang semakin kuat dari warga, pemerintah dan PT. PLN tetap bersikeras untuk memperluas wilayah operasi penambangan panas bumi PLTP Ulumbu ke wilayah Poco Leok. Upaya paksa ini melibatkan aparat keamanan, termasuk Kepolisian, TNI, dan Satpol PP. Aparat keamanan menggunakan pendekatan represif untuk membubarkan warga yang mempertahankan hak atas ruang hidupnya.

Pada 6 Oktober 2023, Polres Manggarai memeriksa 7 (tujuh) warga Poco Leok. Pemeriksaan tersebut terkait penghadangan yang dilakukan warga pada 27 September 2023. Warga disangka melanggar Pasal 212 KUHP tentang kekerasan terhadap pejabat yang sedang bertugas.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

Masyarakat adat Poco Leok, Manggarai, menolak pembangunan pembangkit listrik geothermal di Poco Leok karena berupaya mempertahankan wilayah adatnya, sebagaimana dijamin dalam instrumen hukum nasional dan hukum internasional yang mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat.

Pada 20 Oktober 2023, tim advokasi masyarakat adat Poco Leok melaporkan aparat kepolisian Polres Manggarai ke Komnas HAM karena melakukan kekerasan, kesewenang-wenangan, ancaman, dan intimidasi terhadap masyarakat adat yang menolak pembangunan pembangkit listrik geothermal di wilayah adat mereka.

Alasan Penolakan Warga

Perluasan PLTP Ulumbu ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan hidup manusia dan ekosistem alam di Poco Leok, yang mencakup 14 (empat belas) kampung adat di 3 (tiga) desa.

Rencana perluasan pengeboran itu berpotensi besar menghilangkan lahan dan "habitat", merusak bentang-bentang air, serta dampak limbah, semburan gas, debu, permasalahan kesehatan, dan keselamatan kerja.

Setidaknya ancaman itu sudah terlihat pada proyek serupa di Mataloko, Kabupaten Ngada. Aktivitas penambangan panas bumi menimbulkan semburan lumpur panas dari titik pengeboran. Dampaknya sawah dan ladang milik warga rusak.

Fenomena serupa terjadi di Mandailing Natal, Sumatera Utara dan Dieng, Jawa Tengah. Di Mandailing Natal, 5 (lima) orang meninggal terkena semburan gas hidrogen sulfida (H2S) pada 2021. Meski begitu, pemerintah acap kali mengklaim bahwa proyek ini merupakan proyek energi terbarukan yang didapat langsung dari Sumber Daya Alam (SDA).

Pembangunan proyek geothermal juga tidak melibatkan partisipasi masyarakat adat padahal masyarakat adat Poco Leok telah hidup berdampingan dengan alam di wilayah tersebut selama ratusan tahun. Mereka memiliki berbagai tradisi dan adat istiadat yang terkait dengan alam dan terancam akibat adanya geothermal.

Industri panas bumi yang diklaim sebagai energi bersih oleh pemerintah ternyata dapat menjadi kotor jika mengabaikan hak-hak warga seperti hak tolak, hak atas tanah, dan hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.

Transisi energi terbarukan tidak akan berhasil jika proses pemanfaatan energinya tidak adil bagi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun