Berawal Dari Pernyataan Menkopolhukam
Kronologi munculnya transaksi mencurigakan ini berawal dari pernyataan Prof. Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) serta selaku Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU). Keterangan ini didapatkan dari Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hal ini menimbulkan kegaduhan di publik sehingga terjadi rentetan pertemuan antara Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) serta Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membahas hal ini secara serius.
Obyek Permasalahan yaitu LHA PPATK
PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Keberadaan PPATK diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disingkat UU TPPU). Berdasarkan Pasal 40 UU TPPU, salah satu fungsi PPATK yaitu melakukan analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang. Selanjutnya Pasal 44 UU TPPU mengatur secara rinci kewenangan PPATK yang berkaitan dengan melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi.
PPATK Menyampaikan LHA Kepada Menkopolhukam
Sesuai kewenangannya yang diatur dalam UU TPPU, PPATK berwenang untuk mengkoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dalam rangka melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 UU TPPU. Oleh karena itu, PPATK dalam hal ini memiliki dasar hukum untuk menyampaikan hasil temuan dan analisisnya kepada Menkopolhukam.
Indikasi Tindak Pidana Pencucian Uang Bukan Korupsi
Saat menghadiri agenda rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI, Ketua PPATK menyatakan bahwa transaksi Rp 349 T ini diduga tindak pidana pencucian uang yang berasal dari kasus ekspor impor atau perpajakan dan kepemilikan aset atas nama orang lain. Selain itu, transaksi Rp 349 T tidak melibatkan pegawai Kemenkeu, melainkan kasus ini terjadi di Direktorat Jenderal Perpajakan sehingga yang dilaporkan adalah lembaganya ke Kementerian Keuangan selaku penyidik tindak pidana asal TPPU.
Ada 2 (Dua) Klasifikasi Surat yang Diterima Oleh Kemenkeu
Prof. Suahasil Nazara selaku Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) memastikan tak ada perbedaan data dengan Prof. Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) terkait dugaan tindak pidana transaksi mencurigakan senilai Rp 349 T tersebut. Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa ada 2 (dua) klasifikasi surat PPATK terkait transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu yaitu:
1. Surat dikirimkan ke Kemenkeu sejumlah 135 surat yang melibatkan 363 ASN/PNS Kemenkeu dengan nilai Rp 22,04 Triliun;
2. Surat dikirimkan ke aparat penegak hukum sebanyak 64 surat yang melibatkan 103 PNS Kemenkeu dengan nilai Rp 13,07 Triliun.
Perbedaan Cara Penyajian Data Kemenkeu Dengan Komisi TPPU
Prof. Mahfud MD selaku Ketua Komisi TPPU mengatakan bahwa data Rp 349 T yang disampaikan Kemenkeu dengan pihaknya berbeda cara penyajiannya. Perbedaan terjadi karena Kemenkeu selama ini tidak menerima 100 surat PPATK yang dikirimkan ke aparat penegak hukum. Ada beberapa klasifikasi selain yang disebutkan oleh Kemenkeu tadi. Klasifikasi tersebut adalah transaksi keuangan mencurigakan yang melibatkan PNS Kemenkeu dengan pihak lain dan transaksi keuangan mencurigakan terkait kewenangan sehingga jika diakumulasikan, tidak terdapat perbedaan antara kedua lembaga tersebut. Sumber data yang digunakan juga sama yakni dari rekap PPATK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H