Saat itu langit mulai gelap.
Bukan karena sudah mau malam, tetapi karena matahari tertutup oleh awan.
Aku, dengan jaketku yang kotor karena debu dan asap kendaraan di tengah-tengah ibukota ini, sedang duduk nyaman menunggu bus sembari mendengarkan lagu punk-rock melalui earphone yang tersambung ke smartphoneku. Kakiku ikut berdansa sesuai irama, bibirku membentuk kata demi kata dari lirik lagu tersebut seakan-akan akulah penyanyi lagu tersebut, dan mataku terpejam, larut kedalam imajinasiku yang liar.
Tanpa kusadari, ternyata rintikan air hujan sudah meninggalkan titik-titik basah yang terlukis dicelanaku. Aku berhenti sejenak, meninggalkan alam imajinasi demi realita yang tidak kalah penting.
Semakin deras hujannya seiring waktu dan bus yang kutunggu belum juga datang. Aku melihat ke kanan, tidak ada tanda-tanda bus mendekat. Aku melihat ke kiri meskipun aku tahu mustahil bus yang kutunggu datang dari arah sana. Tidak ada bus, namun, seorang gadis berlari-lari pelan dengan ranselnya diatas kepala, menutupi rambutnya dari hujan. Ia mendekat dan semakin dekat hingga sampai di halte ini. Perlahan, Ia turunkan ranselnya dan kemudian duduk disebelahku.
Kami diam, terlarut dalam kecanggungan antara dua orang yang tidak mengenal satu sama lain.
Seketika, telingaku kembali terangsang dengan lagu yang baru saja terputar. Lagu ini, lagu favoritku sepanjang masa. Tentang bulan September dan duka dibaliknya. Lagu ini selalu mengingatkanku kepada Ayahku.
"...drenched in my pain again, becoming who we are,"
Sungguh lembut suara yang kudengar kala itu. Bukan dari lagu ini, tetapi suara gadis yang entah-siapa-namanya, yang sedang duduk disebelahku.
"As my memory rests, but never forget what I lost..." Aku ikut bernyanyi. Didetik yang sama saat aku menyanyikan kata terakhir dari bagian tersebut, gadis itu menatapku sambil tersenyum sebelum kami melanjutkan kalimat yang melengkapi bait itu, "Wake me up when September ends."
Meskipun saat itu pandangannya sudah kembali ke jalanan, aku masih bisa melihat ujung bibirnya melebar hingga ke pipinya. Aku pun ikut tersenyum.
Tidak lama, bus yang kutunggu-tunggu akhirnya muncul. Aku berdiri sembari menunggu penumpang yang ingin keluar. Sang gadis tidak berdiri. Matanya hanya mengamati satu-per-satu penumpang yang melangkah keluar hingga akhirnya seorang lelaki yang terlihat sangat mapan muncul. Ia melangkah mendekati sang gadis sambil berkata, "Hai, sayang, kamu udah nunggu lama, ya?"
Sang gadis tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Ngga lama, kok," jawabnya.
Aku hanya bisa tersenyum melihat mereka melangkah menjauh sembari aku memasuki bus. Aku duduk tepat dibalik jendela menatapi rintik-rintik hujan. Pandanganku teralih keatas, melihat langit berawan dengan matahari yang ditutupinya. Aku hanya sanggup melihat awan, dan saat aku melihatnya, pikiranku teralih kepada sang gadis.
Awan mulai bergerak, membiarkan matahari kembali melakukan tugasnya. Mataku sakit sehingga harus mengalihkan pandangan. Sakit yang berbeda saat aku melihat lelaki yang tadi, yang menggenggam tangan awanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H