Mohon tunggu...
Aldo Aditiya
Aldo Aditiya Mohon Tunggu... -

Orang yang kebetulan suka mencari tahu tentang berbagai macam hal | Mau baca lebih? https://medium.com/@aldoan | Mau bilang sesuatu? https://twitter.com/aditiya_aldo |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Alasan untuk Tidak Memberi

22 Mei 2018   12:39 Diperbarui: 22 Mei 2018   13:00 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: ruangmuslimah.co

Pernah ketemu pengemis atau pengamen di tempat umum?

Kadang ada pengemis yang membuat kita merasa iba, sehingga kita beri uang sebagai tanda kasihan. Kadang ada pengamen yang permainan musiknya menghibur, jadi kita beri uang sebagai apresiasi.

Tapi kadangkala, kita bertemu dengan pengemis yang kurang sopan, atau pengamen yang musiknya malah mengganggu. Bukannya mau mengasih uang, malah kita merasa terganggu oleh mereka dan mengharapkan mereka cepat pergi saja.

Saya pribadi kadang bertemu dengan orang -- orang ini.

Pernah suatu hari saat saya sedang makan, ada 2 pengamen yang datang. Lagu yang mereka bawakan berisik dan tidak menghibur. Kesal rasanya harus mendengarkan mereka main. "Semoga mereka cepat -- cepat pergi saja dari sini" saya pikir.

Selesai bermain, mereka meminta uang kepada orang di sekitar. Beberapa orang memberi mereka uang. Tapi saya tidak. Saya cuma menggeleng saja. Terlihat ekspresi kecewa dan sedikit marah di mukanya ketika saya menolak.

Saya merasa sedikit kesal dengan ekspresinya. Seakan -- akan saya berkewajiban memberikan dia uang, karena sudah mendengarkannya bermain.

Saya merasa melakukan hal yang benar, dengan tidak memberi. "Orang -- orang yang mencari uang dengan mengganggu orang lain tidak sepatutnya diberikan uang" saya pikir. "Harusnya mereka cari cara lain yang gak menganggu", saya pikir.

Tapi orang yang datang berikutnya membuat saya mempertanyakan perasaan saya.

Seorang ibu tua, badannya sudah agak bungkuk, datang ke tempat makan ini. Dia mendatangi meja makan tiap orang untuk menawarkan kerupuk yang dia jual. Aku menolak dengan halus, karena aku memang tidak berniat membeli kerupuk, tapi tetap merasa iba terhadapnya.

Kebetulan saja di situ tidak ada yang mau beli. Dengan ekspresi kecewa (dan mungkin sedikit marah), ibu tersebut kemudian keluar.

Saya melihat dia mendekati sebuah gerobak yang lebih tinggi daripada tubuhnya. Permukaan gerobak itu dipenuhi kemasan -- kemasan kerupuk, serupa dengan yang ditawarkannya kepada orang -- orang, termasuk saya.

Kemudian dia mulai mendorong gerobak besar itu ke toko sebelah, sendirian. Walaupun dengan keadaan fisiknya yang tidak mendukung pekerjaan berat seperti ini.

Kaget, terharu, bingung. Belum pernah saya melihat langsung perjuangan seperti ini pada orang lain

Saya mulai bertanya -- tanya, kenapa dia mau melakukan ini. Kenapa dia rela keliling membawa gerobak besarnya untuk menawarkan kerupuk kepada orang -- orang yang belum tentu mau, walaupun fisiknya tidak mendukung?

Saya bisa membayangkan penjelasan yang masuk akal. Mungkin sudah tidak ada orang yang membantunya mencari uang. Mungkin anak -- anaknya yang sudah besar meninggalkan dan melupakannya. Tapi saya tidak bisa tahu pasti.

Dari sini saya mulai tersadar.

Saya tidak akan pernah tahu benar seberapa banyak seseorang berjuang, dan untuk apa dia berjuang.

 . . . . .

Pikiran saya kembali kepada 2 pengamen di awal, yang saat itu membuat saya kesal.

Bukankah mereka berdua berjuang juga? Mungkin mereka punya keluarga untuk dinafkahi, karena itu mereka kecewa ketika saya tidak memberi uang?

Seperti yang sudah saya bilang, saya tidak tahu pasti.

Setelah menyadari itu, saya bertanya lagi. Apa alasan saya sebenarnya untuk tidak memberi kepada mereka?

Apa memang betul karena lagu mereka jelek? Atau karena saya merasa mereka belum berusaha dengan cukup baik?

Kelihatannya yang ke-dua lah alasan saya.

Mereka seharusnya melakukan cara lain untuk mencari uang, menurut saya. Usaha mereka saat ini tidak baik, dan malah mengganggu, menurut saya.

Tapi mengingat saya tidak tahu seberapa besar mereka sudah berjuang, rasanya sombong kalau saya kesal pada mereka karena alasan ini.

Mudah untuk kesal kepada mereka, dengan keadaan finansial saya yang cukup aman. Mudah untuk merasa mereka "kurang berjuang", ketika saya tidak tahu perjuangan mereka sebenarnya, ketika saya hanya melihat sebagai orang luar.

Lucu ya. Padahal saya sudah tahu kalau semua orang itu punya perjuangannya masing - masing. Punya alasannya masing -- masing untuk berjuang.

 Tapi ternyata saya belum benar -- benar mengerti semua itu.

-------------------------------------------------------

Hei! Terima kasih sudah memberi waktunya untuk baca artikel ini!

Artikel ini diinspirasikan oleh pengalaman saya sendiri, dan lagu Kendrick Lamar yang berjudul "How Much a Dollar Cost".

Dalam lagu ini Kendrick bercerita tentang pengalamannya ketika berpapasan dengan seorang kakek tua yang meminta uang kepadanya, dan memberitahukan kepada Kendrick arti Dolar sebenarnya.

Karena lagu rap, kemungkinan gak semua orang bakal suka. Tapi liriknya cukup menginspirasi saya untuk membuat blog ini.

Ada Pertanyaan, Saran, atau Kritik? Cek Twitter: https://twitter.com/aditiya_aldo

Tertarik baca lebih? Kunjungi Medium: https://medium.com/@aldoan

Sekali lagi, terima kasih sudah membaca!

Originally posted in medium.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun