Pertama membaca cerita di atas, biasanya kita akan langsung menganggap kalau yang salah disini adalah si mantan musisi. Karena kecemburuannya, dia menyebabkan sang gitaris berhenti bermain gitar. Kita bisa ambil pelajaran untuk hati - hati saat berbicara, karena kita bisa menyebabkan orang lain hilang semangatnya dan jadi lebih negatif. Mulutmu buayamu.
Tapi apa si mantan musisi saja yang salah?
Sang gitaris, tersakiti perasaannya oleh lemparan batu si mantan musisi, akhirnya menjadi orang yang melempar batu. Karena tidak kuat menerima tekanan dari luar, dia membiarkan tekanan itu merubah dirinya menjadi pemberi tekanan.
Bukankah lebih baik kalau dia melihat diri sendiri dan menentukan, kalau tekanan ini tidak akan merubah dirinya?
.
.
.
Saya mengerti, kalau untuk orang -- orang yang pikirannya terganggu, hal ini sulit dilakukan. Dengan menyarankan orang untuk melihat ke diri sendiri guna melawan tekanan luar, saya tidak menyepelekan apa yang dirasakan oleh orang lain saat mereka di lempar pakai batu. Saya bisa mengerti perasaan orang yang ada di sisi penerima batu.
Saya sendiri sempat merasakan masa dimana pikiran saya terganggu, yang membuat diri saya menjadi pahit. Terus menyalahkan faktor -- faktor luar karena kesengsaraan yang dialami. Terus menyalahkan orang lain untuk perasaan yang mereka sebabkan.
Tapi ada satu hal yang cukup baik melawan ini, setidaknya untuk saya pribadi.
Tanggung jawab. Atau lebih tepatnya, tanggung jawab atas perilaku dan perasaan diri sendiri.