Fenomena Kekerasan Seksual di Indonesia
Kekerasan Seksual juga dapat berarti tindakan ucapan ataupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat dalam aktifitas seksual yang tidak dikehendaki. Kekerasan Seksual berarti setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.
Selanjutnya diperparah oleh fakta yang terjadi di Indonesia yaitu angka kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun ‘selalu ada’ bahkan semakin meningkat. Setiap tahun pasti ada laporan atau berita mengenai kekerasan atau pelecehan seksual. Laporan mengenai kasus kekerasan seksual bagikan fenomena gunung es, mengapa demikian? karena Komnas Perempuan ‘hanya’ mencatat kasus yang terlapor, belum lagi bagi korban yang enggan melapor karena alasan tertentu.
Dari sederet kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia sebenarnya dapat menimpa siapapun. Namun, mayoritas korbannya adalah perempuan dan anak. Kasus kekerasan seksual yang dialami oleh korban bisa berupa catcalling, pemerkosaan, KDRT, incest, kekerasan dalam media online, dan masih banyak jenisnya. Ketika terjadi kekerasan seksual, bisa terjadi dimanapun dari tempat umum maupun ranah yang privat. Pelaku dan korban kekerasan seksual bisa dari orang terdekat atau orang yang saling kenal bahkan bisa juga saling tidak mengenal.
Kekerasan seksual bukanlah kasus yang asing lagi. Wanita hingga pria, tua hingga anak-anak, memakai baju terbuka ataupun tertutup, semuanya tetap berpotensi menjadi korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah setiap tindakan, baik berupa ucapan ataupun perbuatan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi orang lain serta membuatnya terlibat dalam aktifitas seksual yang tidak dikehendaki.
CATAHU 2021 mencatat sejumlah 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2020. Jumlah kasus yang tercatat ini berkurang secara signifikan jika dibandingkan dengan CATAHU 2020 yang mencatat sebanyak 431.471 kasus. Menurut Andy, menurunnya jumlah kasus dalam CATAHU 2021 lebih merefleksikan kapasitas pendokumentasian daripada kondisi nyata kekerasan yang terjadi. Menurut Andy, sekitar 34% lembaga yang mengembalikan kuesioner menyatakan bahwa terdapat peningkatan pengaduan kasus di masa pandemi.
Jumlah pengaduan ke Komnas Perempuan pada tahun 2020 meningkat drastis sebesar 60%, yaitu dari 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di tahun 2020. Peningkatan jumlah pengaduan juga dimungkinkan karena bentuk penerimaan laporan secara online. Bertambahnya jumlah pengaduan ke Komnas Perempuan juga menunjukkan kerentanan terjadinya kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi Covid-19.
Namun secara keseluruhan jumlah kasus dilaporkan berkurang karena kuesioner yang dikembalikan menurun hanya sekitar 50 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selain itu, sebagian besar kuesioner yang dikembalikan berasal dari lembaga yang berlokasi di Pulau Jawa dengan dukungan infrastruktur yang relatif lebih memadai. (Jurnal Perempuan, 2021).
Hubungan antara Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 dengan Negara, Masyarakat Sipil dan Kelompok Identitas
Kita bisa melihat bahwa Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 merupakan upaya payung hukum yang dilakukan guna meminimalisir terjadinya kekerasan seksual di kampus-kampus Indonesia. Sesuai dengan tujuan dan sasarannya yaitu Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) pada hakikatnya menimbulkan banyak polemik sama seperti percobaan RUU PKS yang saat ini menjadi RUU TPKS.
Namun jika ditelusuri lebih lanjut bahwa muara dari kebijakan yang dibuat sepenuhnya berorientasi pada keinginan Negara untuk menjadikan Negara Indonesia sebagai Negara yang menganut Welfare State. Walaupun Indonesia sudah sedikit demi sedikit menganut Welfare State yang bisa kita jumpai di UUD 1945.
Konsep negara kesejahteraan atau welfare state mempunyai tujuan untuk mengurangi penderitaan masyarakat baik dalam bentuk kemiskinan dan kesehatan. Pencegahan yang terjadi dibuat dalam bentuk kebijakan-kebijakan publik yang bersifat pelayanan, perlindungan maupun dari masalah-masalah sosial.
Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 merupakan salah satu contoh dari upaya negara dalam meminimalisir terjadinya kekerasan seksual diranah kampus atau universitas. Terlepas dari polemik yang ada, kebijakan ini merupakan salah satu contoh dari sekian banyak kebijakan yang menjelaskan bahwa negara dengan segala upaya menanamkan atau menumbuhkan nilai-nilai Welfare State di tubuh ibu pertiwi.
Lantas bagaimana keterkaitan antara Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 dengan Kelompok Identitas dan Masyarakat Sipil? Tentu keterkaitan dengan kelompok identitas akan menimbulkan polemik berkepanjangan sama seperti polemik RUU PKS kemarin. Tentu yang menjadi pertanyaan ialah kelompok identitas mana yang akan selalu menimbulkan gesekan dengan kebijakan ini?
Sudah jelas kelompok identitas agamis yang menjunjung tinggi nilai agama akan selalu bergesekan lantaran pada hakikatnya isi dari Permendikbud ini tak memungkiri terdapat unsur pelegalan zina walaupun negara mencoba untuk melindungi para korban-korban baik yang sudah berjatuhan maupun yang akan terjadi.
Kelompok konservatis juga memungkinkan bergesekan dengan kebijakan ini lantaran adanya perbedaan tujuan dengan konstruksi budaya yang mereka bawa untuk menilai sejauh mana kebijakan ini meyakinkan mereka. Namun kelompok-kelompok feminis akan sama-sama berjuang dengan negara karena kelompok ini merasa diuntungkan dikarenakan perempuan memang sepatutnya mendapatkan privilage dan aman dari segala jenis masalah sosial, walaupun tidak menutup kemungkinan terdapat pasal yang bertolakbelakang dengan tujuan mereka.
Masyarakat sipil menjadi ujung tombak dalam penerapan kebijakan ini lantaran korban kekerasan seksual juga merupakan masyarakat sipil. Diperlukannya sosialisasi massal akan pentingnya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini demi terciptanya payung hukum yang tegas untuk kelompok perempuan di kampus.
Pro dan Kontra Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) ini banyak dikomentari oleh banyak tokoh. Permendikbud ini memiliki banyak tafsir dari berbagai kalangan masyarakat dan para tokoh. Pasal-pasal dalam Permendikbudristek ini dianggap melegalkan zina dan menyimpang dari moral masyarakat Indonesia. Tokoh yang juga turut mengomentari pasal dalam Permendikbud ini yakni berasal dari Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera.
Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Gerindra, Himmatul Aliyah mengatakan bahwa Permendikbud No. 30 tahun 2021 ini memiliki pasal yang dianggap menyimpang dari nilai dan moral masyarakat Indonesia. Pasal yang dianggap menyimpang dari nilai moral masyarakat Indonesia adalah Pasal 5 Permendikbud No. 30, yang membahas mengenai macam-macam tindakan kekerasan seksual. Himmatul mengatakan bahwa Permendikbud ini mengabaikan nilai-nilai agama sebagai pendekatan dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Pasal yang juga menjadi kontroversi yakni pada pasal 1 mengenai Satuan tugas Pencegahan Kekerasan Seksual. Sakinah Aljufri anggota Komisi X DPR RI Fraksi PKS ini mengatakan bahwa Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan seksual ini dianggao menambah beban baru bagi kampus ataupun sivitas akademika.
Pasal 1 ayat 14 berbunyi “Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang selanjutnya disebut Satuan Tugas adalah bagian dari Perguruan Tinggi yang berfungsi sebagai pusat Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi”. Namun beberapa perguruan tinggi sudah berupaya untuk melaksanakan aturan ini dengan mulai membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Seperti yang dilakukan oleh Universitas Airlangga dan Universitas Udayana yang sudah melakukan pembentukan Satgas Pencegahan dan Penanganan KS. Dengan kesigapan perguruan tinggi ini menunjukan adanya dukungan atas Peraturan Menteri mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual ini.
Pasal terakhir yang juga menuai pro-kontra adalah pasal 3 mengenai prinsip Pencegahan dan Penanganan KS. Seperti pendapat yang di sampaikan oleh Ledia Hanifa Amaliah anggota DPR Fraksi PKS yang menganggap pasal ini berpedoman pada konsep ‘consent’ atau persetujuan korban, dan ‘consent’ ini lah yang dianggap melegalkan perbuatan zina. Prinsip yang tertera dalam pasal tersebut antara lain; kepentingan terbaik bagi Korban, keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas, independen, kehati-hatian, konsisten, jaminan ketidakberulangan.
Pro kontra Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 ternyata membawa angin segar bagi para penyintas kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. Selama ini, terjadi kekosongan hukum sehingga tidak ada payung hukum terkait penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tinggi. Akibatnya, penyintas enggan menceritakan dan melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dialami di lingkungan pendidikan tinggi. Hal tersebut tidak luput dari upaya si pemilik kuasa atau petinggi perguruan tinggi yang masih berlindung dibawah “citra baik” kampus yang selama ini dijunjung. Pada akhirnya, kekerasan seksual di lingkungan kampus bagaikan angin berlalu tanpa ada tindaklanjut maupun proses hukum yang jelas demi menjaga citra kampus.
Fenomena Gunung Es dan Strategi Pencegahan
Pasca berlakunya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, banyak indikasi kasus iceberg atau kasus kekerasan seksual bak gunung es yang selama ini hanya berlalulalang di kalangan mahasiswa tanpa ada penanganan tegas kembali mencuat. Hal tersebut menunjukkan jika payung hukum yang mengikat penting dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi sebelum adanya Permendikbudristek tersebut diantaranya Kasus Agni di UGM. Dikutip dari Tirto.id, Agni (bukan nama sebenarnya) yang merupakan penyintas harus menandatangani kesepakatan non-litigasi bersama terduga pelaku pemerkosaan dan pihak rektorat UGM.
Kesepakatan non-litigasi yang ditandatangi tersebut adalah tanda jika kasus dugaan pemerkosaan terhadap Agni dianggap selesai oleh ketiga pihak. Artinya, dugaan kasus kekerasan seksual yang selama ini terjadi di lingkungan pendidikan tinggi belum berpihak pada korban. Akibatnya, perjuangan korban atau penyintas dalam memperjuangkan hak-haknya harus berakhir dengan kesepakatan demi meminimalisir resiko yang bisa saja menimpa Agni. Dengan demikian, kasus tersebut membuktikan jika lingkungan pendidikan tinggi sebelum adanya Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021 belum mampu melindungi korban sebagai kelompok rentan karena tidak adanya payung hukum yang mengatur dengan jelas.
Dalam kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan sebagai salah satu kelompok identitas yang rentan mengalami tindakan tersebut, maka perlu strategi-strategi yang dilakukan oleh pihak-pihak untuk memerangi kasus kekerasan seksual. Salah satu pihak yang perlu terlibat aktif adalah masyarakat sipil. Pentingnya kehadiran masyarakat sipil sejalan dengan teori demokrasi liberal dimana negara kuat dan masyarakat sipil juga kuat.
Keduanya memiliki kekuatan yang sama meskipun satu sama lain terpisah namun saling melengkapi (Seftyono 2019). Kehadiran masyarakat sipil tidak hanya merepresentasikan demokrasi, melainkan juga liberalisme yang mengakomodir kepentingan segala arah dari siapapun (Seftyono 2019). Strategi masyarakat sipil dalam kasus kekerasan seksual artinya masyarakat sipil membawa kepentingan kelompok perempuan yang mulanya tidak dipertimbangkan dengan baik. Masyarakat sipil perlu memperkuat aktivitas-aktivitas politik mereka untuk membawa kepentingan yang mengedepankan hak-hak kelompok rentan dalam kasus kekerasan seksual yaitu kelompok perempuan.
Esensi ideologi Liberalis yang lebih condong pada pedekatan yang halus memang membuktikan bahwa kebebasan dan kesetaraan menjadi poin utama dan yang lebih penting ialah kepentingan kelompok tetap terjaga. Namun menurut pandangan Marxis yang memiliki esensi ideologi yang lebih kasar beranggapan bahwa manusia pada hakikatnya akan selalu ada dan hidup berdampingan dengan konflik karena yang membuat konflik itu sendiri ialah manusia.
Namun bukan berarti tidak ada perjuangan yang melandasi. Perjuangan yang dilandasi pada persamaan rasa dan perjuangan kelas menjadi poin utama dalam ideologi marxisme. Kelompok tertindas yang semula didominasi oleh konflik dan kepentingan oleh para kelompok superior lama-kelamaan akan menuntut balas atas kesadaran sama-sama diinjak. Oleh sebab itu masyarakat sipil harus paham bahwa dalam dua ideologi yang ada di atas tidak selamanya berdampak buruk dalam penerapan dilingkungan. Oleh sebab itu dengan pentingnya berfikir kritis dan selalu menjadi mediator dalam perpercahan konflik kelompok identitas sudah sepatutnya konflik yang terjadi di masyarakat akan reda dengan sendirinya.
Kesimpulan
Bahwa kebijakan Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 menemukan titik terjal dikarenakan banyaknya pertentangan yang terjadi. Namun itu ialah suatu dinamika terciptanya good governance lantaran pro dan kontra ialah makanan sehari-hari bagi Negara dalam menghadapi polemik di masyarakat. Namun perlu digaris bawahi bahwa seharusnya Negara sepatutnya melemparkan kebijakan yang ada pada konsep utilitarianisme dikarenakan polemik yang terjadi harus diselesaikan dengan mengampu kebahagiaan yang lebih besar dan lebih penting yang tidak lain dan tidak bukan ialah penerapan dari kebijakan tersebut terlepas dari banyaknya polemik yang ada.
Daftar Pustaka
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. (2017). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Hadiyono, V. (2020, Agustus). Indonesia dalam Menjawab Konsep Negara Welfare State dan Tantangannya. Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata. Jurnal Hukum Politik dan Kekuasaan. Volume 1. Nomor 1.
Jurnal Perempuan. (2021, March 6). CATAHU 2021 Komnas Perempuan : Kekerasan Terhadap Perempuan dan Dispensasi Perkawinan Melonjak Selama Pandemi. Retrieved from jurnal perempuan website: https://www.jurnalperempuan.org/warta-feminis/catahu-2021-komnas-perempuan-kekerasan-terhadap-perempuan-dan-dispensasi-perkawinan-melonjak-selama-pandemi
Seftyono, Cahyo. (2019). “Membuka Ruang Teorisasi Kepemimpinan Masyarakat Sipil: Komunitas Epistemik Sains Terbuka.” 1–27. doi: 10.31235/osf.io/bzu9r.
Detik. (2021, November 9). Tudingan Legalkan Zina Dibantah, Ini Pasal-pasal Kontroversial Permen PPKS. Diakses melalui https://news.detik.com/berita/d-5803334/tudingan-legalkan-zina-dibantah-ini-pasal-pasal-kontroversial-permen-ppks/3
Mitra Post. (2021, November 11). Gerindra dan PKS Sebut Permendikbudristek No 30 Tahun 2021 Legalkan Zina. Diakses melalui https://mitrapost.com/2021/11/11/gerindra-dan-pks-sebut-permendikbudristek-no-30-tahun-2021-legalkan-zina/
Suara.com. (2021, November 14). Isi Permendikbud No 30 tahun 2021 yang Jadi Kontroversi. Diakses melalui https://www.suara.com/news/2021/11/14/115848/isi-permendikbud-no-30-tahun-2021-yang-jadi-kontroversi?page=all
Tirto.id (2019, February 9). Kasus Agni: Bagaimana UGM Mengabaikan Kasus Kekerasan Seksual. Diakses melalui https://tirto.id/kasus-agni-bagaimana-ugm-mengabaikan-kasus-kekerasan-seksual-dgpM
Yayasan Pulih. (2017). Mengenali Kekerasan Seksual. Retrieved from yayasanpulih.org: http://yayasanpulih.org/2017/06/mengenali-kekerasan-seksual/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H