Konsep negara kesejahteraan atau welfare state mempunyai tujuan untuk mengurangi penderitaan masyarakat baik dalam bentuk kemiskinan dan kesehatan. Pencegahan yang terjadi dibuat dalam bentuk kebijakan-kebijakan publik yang bersifat pelayanan, perlindungan maupun dari masalah-masalah sosial.
Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 merupakan salah satu contoh dari upaya negara dalam meminimalisir terjadinya kekerasan seksual diranah kampus atau universitas. Terlepas dari polemik yang ada, kebijakan ini merupakan salah satu contoh dari sekian banyak kebijakan yang menjelaskan bahwa negara dengan segala upaya menanamkan atau menumbuhkan nilai-nilai Welfare State di tubuh ibu pertiwi.
Lantas bagaimana keterkaitan antara Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 dengan Kelompok Identitas dan Masyarakat Sipil? Tentu keterkaitan dengan kelompok identitas akan menimbulkan polemik berkepanjangan sama seperti polemik RUU PKS kemarin. Tentu yang menjadi pertanyaan ialah kelompok identitas mana yang akan selalu menimbulkan gesekan dengan kebijakan ini?
Sudah jelas kelompok identitas agamis yang menjunjung tinggi nilai agama akan selalu bergesekan lantaran pada hakikatnya isi dari Permendikbud ini tak memungkiri terdapat unsur pelegalan zina walaupun negara mencoba untuk melindungi para korban-korban baik yang sudah berjatuhan maupun yang akan terjadi.
Kelompok konservatis juga memungkinkan bergesekan dengan kebijakan ini lantaran adanya perbedaan tujuan dengan konstruksi budaya yang mereka bawa untuk menilai sejauh mana kebijakan ini meyakinkan mereka. Namun kelompok-kelompok feminis akan sama-sama berjuang dengan negara karena kelompok ini merasa diuntungkan dikarenakan perempuan memang sepatutnya mendapatkan privilage dan aman dari segala jenis masalah sosial, walaupun tidak menutup kemungkinan terdapat pasal yang bertolakbelakang dengan tujuan mereka.
Masyarakat sipil menjadi ujung tombak dalam penerapan kebijakan ini lantaran korban kekerasan seksual juga merupakan masyarakat sipil. Diperlukannya sosialisasi massal akan pentingnya Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 ini demi terciptanya payung hukum yang tegas untuk kelompok perempuan di kampus.
Pro dan Kontra Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) ini banyak dikomentari oleh banyak tokoh. Permendikbud ini memiliki banyak tafsir dari berbagai kalangan masyarakat dan para tokoh. Pasal-pasal dalam Permendikbudristek ini dianggap melegalkan zina dan menyimpang dari moral masyarakat Indonesia. Tokoh yang juga turut mengomentari pasal dalam Permendikbud ini yakni berasal dari Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera.
Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Gerindra, Himmatul Aliyah mengatakan bahwa Permendikbud No. 30 tahun 2021 ini memiliki pasal yang dianggap menyimpang dari nilai dan moral masyarakat Indonesia. Pasal yang dianggap menyimpang dari nilai moral masyarakat Indonesia adalah Pasal 5 Permendikbud No. 30, yang membahas mengenai macam-macam tindakan kekerasan seksual. Himmatul mengatakan bahwa Permendikbud ini mengabaikan nilai-nilai agama sebagai pendekatan dalam mencegah dan menangani kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Pasal yang juga menjadi kontroversi yakni pada pasal 1 mengenai Satuan tugas Pencegahan Kekerasan Seksual. Sakinah Aljufri anggota Komisi X DPR RI Fraksi PKS ini mengatakan bahwa Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan seksual ini dianggao menambah beban baru bagi kampus ataupun sivitas akademika.
Pasal 1 ayat 14 berbunyi “Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang selanjutnya disebut Satuan Tugas adalah bagian dari Perguruan Tinggi yang berfungsi sebagai pusat Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi”. Namun beberapa perguruan tinggi sudah berupaya untuk melaksanakan aturan ini dengan mulai membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.