Mohon tunggu...
Wahid AldiNugroho
Wahid AldiNugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Non scholae, sed vitae discimus

"Kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk kehidupan"

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Polisi Virtual sebagai Adanya Intervensi Negara terhadap Kebebasan Berpendapat

20 April 2021   22:57 Diperbarui: 21 April 2021   13:35 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Intervensi Negara

Intervensi menjadi poin utama dalam tulisan yang dibuat ini, tentu Negara berhak memberikan intervensi terhadap apapun yang berkaitan dengan tugas dan wewenang kenegaraan. Umumnya intervensi Negara terjadi lantaran adanya suatu masalah maupun konflik yang timbul akibat dari munculnya suatu gejala serius politik, ekonomi, sosial dan budaya. 

Tentu peranan pemerintah dalam sisi intervensi memiliki makna dan tujuan yang bertolak belakang terhadap keinginan pasar. Bisa karena mereka mengambil sisi utilitarianisme, yang mana kebaikan yang lebih besar sangat dipentingkan dibanding rakyat-rakyat yang termarjinalkan. Atau karena pemerintah bermaksud mensejahterakan masyarakat ditengah krisis resesi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Menurut Isbandi Rukminto Adi, Intervensi Sosial adalah perubahan yang terencana yang dilakukan oleh pelaku perubahan (change agent) terhadap berbagai sasaran perubahan (target of change) yang terdiri dari individu, keluarga, dan kelompok kecil (level mikro), komunitas dan organisasi (level mezzo) dan masyarakat yang lebih luas, baik ditingkat kabupaten/kota, provinsi, negara, maupun tingkat global (level makro).

Intervensi Negara biasanya berkutat pada sisi perekonomian saja, dimana Negara berhak mengatur pasar dan mengatur monopoli yang ada. Dimasa pandemi covid-19, tentu pemerintah sebaik mungkin untuk memberikan kesejahteraan sosial yang merata bagi masyarakat di tengah menurunnya pendapatan masyarakat. 

Tentu di sisi lain, masyarakat banyak menuntut terkait keadaan yang ada kepada pemerintah dengan berbagai cara. Cara yang paling mudah untuk mengkritisi kebijakan pemerintah ialah dengan memanfaatkan media sosial yang ada. Dengan mengomentari postingan, masyarakat tidak terpaku pada kelas sosial menuai beragam perspektif. Baik dalam kritik membangun, memberikan solusi, ataupun mengancam, memfitnah pemerintah bahwa pemerintah mengambil keuntungan yang besar di tengah pandemi ini.

Ruang Publik Habermas

Habermas (Budi Hardiman, 2009: 151) mengatakan bahwa ruang publik adalah semua wilayah kehidupan yang memungkinkan kita untuk membentuk opini publik. Wilayah ini menuntut adanya kebebasan dari dominasi dan sensor. Semua warga pada dasarnya adalah warga pivat yang karena sifat percakapannya menyangkut kepentingan umum, maka mereka memasuki wilayah publik. Situasi demikian mensyaratkan jaminan untuk berkumpul secara bebas dan menyatakan pendapatnya secara bebas pula. Ruang publik memanglah sangat penting, namun dalam konteks medern salah satu medium ruang publik yang terpenting ialah media. (Curran: 2000;84).

Habermas juga menyatakan bahwa dalam Public Sphere (ruang publik), tentu penekanan dasarnya terletak pada pembentukan kepekaan (sense of public). Habermas yakin bahwa keberadaan Public Sphere sangat penting bagi sebuah masyarakat yang demokratis. Ruang Publik sebagai suatu komunikasi ideal, tidak akan tercipta suatu negara atau pasar atau kedua-duanya melakukan hegemoni terhadap media itu sendiri. 

Menurut Habermas dalam Struktural Transformation Terdapat 3 (tiga) ideal normatif yang inheren dalam ruang publik:

  • Ruang Publik merupakan sejenis pergaulan sosial yang sama sekali tidak mengansumsikan kesamaan status antar orang. Oleh sebab itulah dalam ruang publik, hal yang menduduki tempat yang lebih tinggi bukanlah status, pangkat, harta atau keturunan, tetapi argumen yang lebih baik.
  • Meskipun setiap orang memiliki kepentingan yang berbeda-beda yang mungkin saja dipegnaruhi oleh perbedaan status. Apapun yang menyatukan orang-orang untuk bertemu dalam ruang publik merupakan argumen terhadap kepentingan umum, bukan partikular.
  • Ruang publik prinsipnya bersifat inklusi

Habermas juga menjelaskan jika ruang publik ingin merembes kedalam proses pembuatan keputusan, maka ruang publik harus dimobilisasikan. Ruang publik juga harus menggunakan kapabilitas yang baik, sehingga perannya dalam kehidupan politik semakin meluas. Ruang publik juga mempunyai tugas untuk merasakan, menginterperetasikan, mensinyalkan masalah-masalah yang ada di masyarakat termasuk agar opini publik dapat diterima secara formal, maka bentuknya tidak boleh liar, naif dan vulgar.

Teori Negara Hobbes

Hobbes tentu mengemukakan konsepnya terkait Negara Leviathan, negara yang kuat dan ditakuti oleh warga negaranya agar tercipta keadaan yang aman dan supaya manusia tidak saling memangsa ataupun menyerang satu sama lain. 

Akan tetapi kuat dan ditakuti bukan berarti negara bebas melakukan kesewenangannya. Ada syarat yang harus dipenuhi oleh negara menurut hobbes, yaitu apabila warga negara sudah menaati segala peraturan, maka negara wajib menjamin akan keamanan dan rasa keadilan bagi warganya. Namun apabila negara justru melakukan kesewenangan dan mengindahkan hukum yang sudah dibuatnya sendiri. Maka negara telah mencabut faktor yang menyebabkan hilangnya ketaatan masyarakat kepada negara. Oleh karena itulah sikap negara harus tegas dan kejam apabila ada warga negara yang tidak menaati aturan hukum

Polisi Virtual dan Intervensi Pemerintah Terhadap Kebebasan Berpendapat

Pembukaan analisis ini berdasarkan pada pengenalan terhadap Polisi Virtual. Tentu Polisi Virtual diaktifkan oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Menurut CNN Indonesia, Virtual Police (Polisi Virtual) dibentuk dengan klaim untuk mencegah tindak pindana Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Kadiv Humas Polri, Irjem Argo Yuwono berargumen bahwa kehadiran polisi di ruang digital diperlukan sebagai bentuk pemeliharaan Kamtibmas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) agar dunia siber bersih dan produktif. Menurut Ahli Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar, menyatakan bahwa keberadaan polisi virtual ini menjadi salah satu upaya polisi memasuki ranah pribadi. Menurut beliau, sudah sepatutnya polisi bertugas memberantas, menangani pelanggaran dan kejahatan. Bukan mencari-cari kesalahan orang. (CNN Indonesia)

Di zaman sekarang yang penuh dengan modernitas dikarenakan efek adanya globalisasi, terlebih lagi tekanan krisis kesehatan pandemi yang melanda global, tentu pemerintah memiliki caranya masing-masing untuk mengatasi pandemi covid-19. Namun disatu sisi, masyarakat yang semula mampu menyuarakan pendapat mereka turun ke tengah jalan untuk mendapat perhatian pemerintah akan kebijakan yang begitu bobroknya, kini dihadapkan pada era New Normal. Masyarakat seakan dibuat takut oleh negara perihal penyebaran virus covid-19. Masyarakat dibuat risau, ditekan habis-habisan untuk tunduk dan patuh terhadap peraturan kebijakan yang ada. Tentu disitulah pemerintah secara tidak langsung menerapkan prinsip totaliter kepada masyarakat dengan cara meredupkan potensi masyarakat untuk menyampaikan kritik dan saran terhadap kebijakan.

Disinilah cara terbaik untuk menyampaikan keluh kesah rakyat dalam ruang publik melalui media massa. Walaupun sebelum pandemi sekalipun, media massa terkhusus media sosial digunakan oleh masyarakat sebagai upaya untuk menyampaikan aspirasi. Kini ditengah krisis kesehatan yang menuntut masyarakat untuk menerapkan new normal. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi menjadi sangat pesat dan masif. Terutama sosial media sebagai suatu platform bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada penguasa. Tentu hal ini merupakan suatu prinsip cyberpolitics, yang mana masyarakat menggunakan media sosial sebagai suatu sarana penyampaian politis untuk menekan rezim. Polisi virtual menjadi sebuah penggambaran baru terkait intervensi negara.

Jika dilihat dari perspektif negara menurut Hobbes. Bahwa manusia ialah Homo Homini Lupus, yaitu serigala bagi serigala lainnya. Tentu menurut Hobbes, dibutuhkan suatu negara untuk melindungi hak-hak manusia. Dengan adanya negara, maka negara berhak mengatur apapun yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Tentu kembali ke topik yaitu intervensi negara, jelas bahwa dalam kaitannya dengan Polisi Virtual. Maka Polisi Virtual merupakan suatu cara untuk memberantas kejahatan virtual dalam ruang publik masyarakat. Habermas berpendapat bahwa masyarakat memiliki ruang publik, yaitu suatu ruang bagi masyarakat untuk bebas menyampaikan opini apapun yang menyangkut dengan kepentingan umum tanpa ada penekanan dari negara.

Tentu intervensi negara berupa Polisi Virtual ini digambarkan sebagai bentuk tidak idealnya dari konsep ruang publik Habermas, namun disatu sisi Polisi Virtual ini ialah bentuk idealnya dari konsep negara liberal Hobbes. mengapa demikian? Polisi Virtual dibuat untuk memberantas kejahatan seperti yang sudah dijelaskan diatas, memang dapat dikatakan melanggar hak privat lantaran negara dengan kuasanya menguasai hak privatisasi warga negaranya. 

Di sisi lain dalam konteks negara menurut Hobbes, penggambaran Leviathan sebagai sebuah monster laut yang rakus dan terus berusaha memperluas bahkan membesarkan kekuasaannya, yaitu Negara dengan mudahnya dapat melakukan intervensi dan sebagai bentuk parasit yang mengancam kemerdekaan individu menurut pendapat Andrew Heywood (Politics). Jika dilihat dari teori negara menurut Hobbes melalui Buku Andrew Heywood yang berjudul "Politics", dijelaskan bahwa stabilitas dan ketertiban hanya dapat dijamin melalui pembentukan suatu negara yang absolut dan terbatas, dengan kekuasaan yang tidak dapat ditentang maupun dipertanyakan. Dengan kata lain bahwa warga negara dihadapkan pada dua pilihan yatu Absolutisme atau Anarki.

Disini dijelaskan menurut Hobbes bahwa "kekuasaan negara tidak bisa ditentang dan dipertanyakan" dan siapapun yang menentang akan diberikan suatu hukuman. Jelas peran negara disini sangat dominan lantaran masyarakat dibuat ketakutan akan hukum yang berlaku apabila mereka melanggar terkait UU ITE yang selaku tokoh pengawas yaitu Polisi Virtual. Sudah jelas disini Negara Indonesia yang tidak memiliki arah dalam penertiban dan pengawasan. Disatu sisi positif, tentu hal ini dapat menekan oknum-oknum yang mengkritisi tanpa adanya bukti, disisi negatif lain hal ini secara langsung meredupkan opini publik masyarakat terhadap kritik dan saran.

Polisi Virtual dapat dikatakan termasuk produk rezim untuk menekan tindakan kejahatan di media sosial. Tentu mengapa demikian? Karena masyarakat dengan derasnya dan masifnya mampu mengkritisi segala kebijakan pemerintah tanpa adanya tekanan langsung dari pihak negara. Disinilah polisi virtual bekerja untuk menekan deras dan masifnya opini publik. 

Bukankah itu termasuk tindakan melanggar hukum? Dikarenakan polisi dengan mudahnya memasuki arena privat seperti apa yang dijelaskan oleh Ahli Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar. Jika memang kehendak masyarakat untuk menyampaikan aspirasi apapun dari bentuk ruang publik untuk kepentingan umum diawasi oleh Negara.  Walaupun kehendak masyarakat akan kebebasan berpendapat serasa terlalu diperhatikan, tentu tidak semuanya disalahkan oleh Polisi Virtual tersebut. Seperti perkataan Habermas bahwa opini publik yang ingin diajukan oleh pemerintah harus bersifat formal, hal itu menandakan bahwa opini yang dibawa tidak boleh ditampilkan dalam bentuk vulgar, naif dan liar. Tentu walaupun terkekang secara tidak langsung akan ketakutan untuk berpendapat, namun disisi lain masyarakat harus cerdas dalam menyampaikan opini publik sehingga opini tersebut tidak melanggar UU ITE oleh Polisi Virtual.

"Jika memang serasa begitu menakutkan jika opini kita akan dijerat oleh Polisi Virtual terkait Pasal UU ITE, maka Opini yang dibentuk harus cerdas, berkualitas dan terpercaya,"

Bedakan antara memberikan kritik lewat opini dengan memfitnah dengan mencaci maki ya Readers !!!

Daftar Pustaka

Adi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Habermas, Jürgen. (1989). The Structural Transformation of Public Sphere: An Inquiry into Category of Bourgeois Society, Thomas Burger (terj.). Cambridge: Polity Press.

Hobbes, Thomas. 1998. Leviathan, Or The Matter, Forme, & Power Of A Common-Wealth Ecclesiaticall And Civill. Edited with an Introduction and Notes by J. C. A GASKIN (New York: Oxford University Press).

Tricana, Deny Wahyu. Media Massa dan Ruang Publik, Sebuah Ruang yang Hilang, Jawa Timur: Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Ibrahim. 2020. Agama, Negara dan Ruang Publik Menurut Habermas. Maluku: Universitas Bangka Belitung, Jurnal Badati. Volume II. Nomor 3.

Prasetyo, Antonius Galih. 2012. Menuju Demokrasi Rasional: Melacak Pemikiran Jurgen Habermas tentang Ruang Publik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Volume 16, Nomor 2, November 2012.

CNN Indonesia, Salah Arah Polisi Virtual dan Rasa Takut Baru yang Diciptakan, di akses melalui https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210319150037-12-619635/salah-arah-polisi-virtual-dan-rasa-takut-baru-yang-diciptakan, 18 April 2021 Pukul 23.01.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun