Saya sering bertukar pandangan dengan teman-teman sejawat saya tentang kehadiran mata uang digital Bitcoin. Saya ingat betul saat pertama kali membicarakannya dengan teman saya, yaitu empat tahun silam, Bitcoin masih belum tenar. Pandangan yang saya berikan saat itu, saya tidak tertarik dan tidak menyarankan untuk masuk ke sana. Kini, dengan Bitcoin sudah sangat tenar dan tumbuh ribuan persen sejak saat itu, pandangan saya tetap dan akan selalu sama: hindari saja!
Alasan saya tidak menyarankan masuk ke pasar Bitcoin saat itu adalah hal yang teramat mendasar dalam dunia trading dan investasi. Sebagai seorang yang ketika itu aktif di bursa berjangka, saya tidak melihat adanya hal mendasar tersebut pada pasar Bitcoin. Tidak seperti aset atau konter lainnya pada instrumen bursa berjangka, saya sulit, atau bahkan tidak bisa, menemukan keterkaitan/korelasi empiris antara Bitcoin dengan faktor-faktor fundamental penggeraknya.
Dalam berinvestasi atau trading, di instrumen pasar keuangan khususnya, mestinya semua keputusan yang diambil (apakah itu beli ataupun jual) dilandaskan pada hasil analisis, baik yang dilakukan secara teknikal maupun fundamental. Kedua jenis analisis ini harus dilakukan agar aktivitas yang dilakukan bisa benar-benar disebut investasi, bukan sekedar spekulasi.
Dalam instrumen pasar keuangan, setiap konter umumnya memiliki grafik harga yang bisa digunakan untuk keperluan analisis teknikal dan data-data empiris yang bisa digunakan untuk keperluan analisis fundamental. Di pasar saham dan obligasi, misalnya, selain bisa melakukan analisis teknikal dengan mengamati kondisi grafik harganya, kita juga bisa melakukan analisis fundamental dengan mencari nilai wajarnya.Â
Sama halnya di pasar komoditas, kita bisa melakukan analisis teknikal dengan mengamati kondisi grafik harganya dan analisis fundamental dengan memproyeksikan kondisi permintaan dan penawarannya. Begitupun di pasar mata uang, selain bisa melakukan analisis teknikal dengan grafik harganya, kita juga bisa menganalisis fundamental dengan melihat kondisi perekonomian negara-negara yang bersangkutan.Â
Sekarang, bagaimana dengan pasar mata uang digital seperti Bitcoin? Betul, kita masih bisa melakukan analisis teknikal di pasar Bitcoin dengan bantuan grafik, tapi bagaimana dengan analisis fundamentalnya? Ini yang belum saya temukan, dan saya yakini tidak akan pernah ada, jawabannya. Kalaupun harus dipaksakan ada, paling-paling kaitannya dengan kasus pencucian uang (money laundering), pasar gelap (senjata api ataupun narkoba) dan juga pasar perjudian. Namun tetap saja, itu bukanlah hal etis untuk dijadikan pertimbangan atau analisis, dan rasanya hampir mustahil data-data mendetail aktivitas kejahatan seperti itu bisa didapat.
Dengan tidak terdapatnya hal-hal empiris nan etis untuk dianalisis dan selama cara kerjanya murni mengandalkan kode-kode virtual yang terkomputerisasi dan terdesentralisasi, Bitcoin, begitu juga mata uang digital lainnya, tidak bisa dan tidak akan pernah bisa dikatakan instrumen investasi. Ia adalah murni instrumen spekulasi.
Bitcoin Riskan bagi Perekonomian
Katakanlah ada pecinta buta Bitcoin yang berargumen bahwa Bitcoin bukanlah ajang spekulasi dan memang tidak diciptakan untuk investasi, melainkan hanya untuk menjadi alat tukar atau uang digital, sesuai dengan konteksnya (jadi, kenaikan harganya hanyalah nilai tambah saja). Maka, saya katakan, itu tidak benar!
Bitcoin Bukanlah Uang
Counter-argument yang pertama sekali ingin saya gunakan adalah, Bitcoin bukanlah uang. Literatur ekonomi mengatakan demikian. Sebagaimana diketahui, untuk bisa dikatakan sebagai uang (termasuk juga uang digital), suatu benda harus bisa memenuhi tiga plus satu (3+1) kriteria berikut:
- Alat tukar (medium of exchange);
- Satuan hitung (unit of account);
- Penyimpan nilai (storehouse of value); dan satu kriteria turunan, yaitu:
- Alat pembayaran yang sah (legal payment instrument).
Bitcoin gagal memenuhi sebagian besar kriteria di atas. Sebagai satuan hitung, Bitcoin tidak jelas peruntukannya. Juga, sulit untuk mengatakannya sebagai penyimpan nilai dengan volatilitas harian yang mencapai 5% sampai 10%. Sekali ia terjatuh, ia gagal memenuhi kriteria sebagai penyimpan nilai.Â
Tidak perlulah repot-repot memikirkan apakah ia juga memenuhi kriteria alat pembayaran yang sah karena di berbagai negara seperti Tiongkok, Rusia, Korea Selatan, hingga Indonesia, ia tidak diakui alias ilegal.Â
Satu-satunya hal yang mampu terpenuhi oleh Bitcoin adalah kriteria alat tukar. Itupun masih sangat terbatas penggunanya sehingga masih belum sepenuhnya dapat dikatakan alat tukar. Jadi, naif saya kira kalau orang membeli koin virtual ini hanya untuk alat tukar.
Bitcoin itu Ajang Spekulasi
Selain itu, sulit menerima argumen bahwa Bitcoin bukan ajang spekulasi. Nyatanya, tidak banyak yang membeli Bitcoin untuk kemudian langsung mereka tukarkan dengan barang. Sebagian besar membeli Bitcoin karena terdorong hasrat melipatgandakan kekayaan secara instan dikarenakan harganya yang terus melambung tinggi. Mereka berlomba-lomba membelinya di harga yang mereka pikir cukup wajar dan dapat memberikan kompensasi keuntungan dalam beberapa waktu ke depan.Â
Apa yang saya katakan tadi akan menjadi lebih meyakinkan jika ada orang-orang di sekeliling Anda yang juga pernah atau sedang berurusan dengan Bitcoin. Silakan tanyakan, apa motif utama mereka membeli Bitcoin. Justru menurut saya, premis yang sebenarnya ada di benak para pemain Bitcoin adalah memang benar Bitcoin itu ajang spekulasi sekaligus "investasi," bukan untuk dijadikan alat tukar atau uang digital (jadi, kenaikan harganya memang sangat diharapkan dan apa yang bisa mereka beli dengannya hanyalah nilai tambah saja). Sesungguhnya, inilah yang saya dapati dari teman-teman saya yang bermain Bitcoin.
Yang menjadi pertanyaannya kemudian adalah, jika memang benar demikian, lantas apa masalahnya? Seorang libertarian nan arogan mungkin tidak akan pernah bisa melihat bahaya besar yang bisa saja ditimbulkan dari aksi-aksi spekulatif seperti yang ada pada pasar Bitcoin. Bagaimanapun, kenaikan harga suatu aset, atau konter (karena saya tidak menganggap Bitcoin sebagai aset), yang didorong oleh aksi spekulasi tak lain adalah gelembung ekonomi.
Orang-orang mulanya tidak memandang Bitcoin sebagai suatu hal yang penting. Namun, ketika beberapa pihak "menggoreng" si koin dan harganya perlahan melambung, orang-orang mulai meliriknya dan membelinya (baca: permintaan meningkat). Kondisi ini menjadi semakin kompleks ketika irasionalitas memainkan perannya, yangmana meningkatnya permintaan akan membuat harganya semakin naik, dan harga yang semakin naik justru akan kembali meningkatkan permintaan, begitu seterusnya.
Yang menjadi masalah, tidak ada yang tahu sampai kapan siklus seperti itu akan berakhir. Seperti yang pernah saya bahas di tulisan saya terdahulu terkait Gelembung Ekonomi, kondisi yang demikian itu sulit dibaca karena ketika divisualisasikan dengan kurva permintaan-penawaran, tidak akan ada titik keseimbangan/ekuilibrium yang dihasilkan. Artinya otoritas keuangan sekalipun tidak akan tahu kapan harus mengambil tindakan.Â
Oleh sebab itulah mengapa aksi-aksi spekulatif seperti ini harus ditertibkan sesegera mungkin. Jika tidak, biayanya akan sangat mengerikan. Bagaimanapun, setiap gelembung ekonomi pasti pecah seperti yang sudah-sudah. Tengoklah fenomena Tulipomania di Belanda, The Great Depression, Dot-Com Bubble, dan Subprime Mortgage Crisis di Amerika Serikat.Â
Kasus Bitcoin cs ini hanya menunggu waktu saja, menurut saya. Jika tiba saatnya nanti, masyarakat yang sebelumnya jumawa dan bereuforia dengan kenaikan harga Bitcoin yang sangat cepat akan gigit jari karena uang yang mereka taruhkan di situ bisa lenyap dengan sangat cepat pula, kecuali mereka yang sudah lebih dulu keluar dari pasar dan para "big boys" tentunya.
Sekedar mengingatkan saja, gelagat gelembung pecah (bubble burst) Bitcoin sudah terlihat. Di tahun 2011, terjadi gejolak harga di pasar Bitcoin, dimana harganya naik dari $1 ke $30 lalu kemudian turun lagi ke $2 (lihat gambar di bawah). Gejolak harga yang seperti ini dan terjadi di tahun yang sama adalah fenomena yang luar biasa. Apalagi itu terjadi tanpa sebab yang jelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H