Tidak perlulah repot-repot memikirkan apakah ia juga memenuhi kriteria alat pembayaran yang sah karena di berbagai negara seperti Tiongkok, Rusia, Korea Selatan, hingga Indonesia, ia tidak diakui alias ilegal.Â
Satu-satunya hal yang mampu terpenuhi oleh Bitcoin adalah kriteria alat tukar. Itupun masih sangat terbatas penggunanya sehingga masih belum sepenuhnya dapat dikatakan alat tukar. Jadi, naif saya kira kalau orang membeli koin virtual ini hanya untuk alat tukar.
Bitcoin itu Ajang Spekulasi
Selain itu, sulit menerima argumen bahwa Bitcoin bukan ajang spekulasi. Nyatanya, tidak banyak yang membeli Bitcoin untuk kemudian langsung mereka tukarkan dengan barang. Sebagian besar membeli Bitcoin karena terdorong hasrat melipatgandakan kekayaan secara instan dikarenakan harganya yang terus melambung tinggi. Mereka berlomba-lomba membelinya di harga yang mereka pikir cukup wajar dan dapat memberikan kompensasi keuntungan dalam beberapa waktu ke depan.Â
Apa yang saya katakan tadi akan menjadi lebih meyakinkan jika ada orang-orang di sekeliling Anda yang juga pernah atau sedang berurusan dengan Bitcoin. Silakan tanyakan, apa motif utama mereka membeli Bitcoin. Justru menurut saya, premis yang sebenarnya ada di benak para pemain Bitcoin adalah memang benar Bitcoin itu ajang spekulasi sekaligus "investasi," bukan untuk dijadikan alat tukar atau uang digital (jadi, kenaikan harganya memang sangat diharapkan dan apa yang bisa mereka beli dengannya hanyalah nilai tambah saja). Sesungguhnya, inilah yang saya dapati dari teman-teman saya yang bermain Bitcoin.
Yang menjadi pertanyaannya kemudian adalah, jika memang benar demikian, lantas apa masalahnya? Seorang libertarian nan arogan mungkin tidak akan pernah bisa melihat bahaya besar yang bisa saja ditimbulkan dari aksi-aksi spekulatif seperti yang ada pada pasar Bitcoin. Bagaimanapun, kenaikan harga suatu aset, atau konter (karena saya tidak menganggap Bitcoin sebagai aset), yang didorong oleh aksi spekulasi tak lain adalah gelembung ekonomi.
Orang-orang mulanya tidak memandang Bitcoin sebagai suatu hal yang penting. Namun, ketika beberapa pihak "menggoreng" si koin dan harganya perlahan melambung, orang-orang mulai meliriknya dan membelinya (baca: permintaan meningkat). Kondisi ini menjadi semakin kompleks ketika irasionalitas memainkan perannya, yangmana meningkatnya permintaan akan membuat harganya semakin naik, dan harga yang semakin naik justru akan kembali meningkatkan permintaan, begitu seterusnya.
Yang menjadi masalah, tidak ada yang tahu sampai kapan siklus seperti itu akan berakhir. Seperti yang pernah saya bahas di tulisan saya terdahulu terkait Gelembung Ekonomi, kondisi yang demikian itu sulit dibaca karena ketika divisualisasikan dengan kurva permintaan-penawaran, tidak akan ada titik keseimbangan/ekuilibrium yang dihasilkan. Artinya otoritas keuangan sekalipun tidak akan tahu kapan harus mengambil tindakan.Â
Oleh sebab itulah mengapa aksi-aksi spekulatif seperti ini harus ditertibkan sesegera mungkin. Jika tidak, biayanya akan sangat mengerikan. Bagaimanapun, setiap gelembung ekonomi pasti pecah seperti yang sudah-sudah. Tengoklah fenomena Tulipomania di Belanda, The Great Depression, Dot-Com Bubble, dan Subprime Mortgage Crisis di Amerika Serikat.Â
Kasus Bitcoin cs ini hanya menunggu waktu saja, menurut saya. Jika tiba saatnya nanti, masyarakat yang sebelumnya jumawa dan bereuforia dengan kenaikan harga Bitcoin yang sangat cepat akan gigit jari karena uang yang mereka taruhkan di situ bisa lenyap dengan sangat cepat pula, kecuali mereka yang sudah lebih dulu keluar dari pasar dan para "big boys" tentunya.
Sekedar mengingatkan saja, gelagat gelembung pecah (bubble burst) Bitcoin sudah terlihat. Di tahun 2011, terjadi gejolak harga di pasar Bitcoin, dimana harganya naik dari $1 ke $30 lalu kemudian turun lagi ke $2 (lihat gambar di bawah). Gejolak harga yang seperti ini dan terjadi di tahun yang sama adalah fenomena yang luar biasa. Apalagi itu terjadi tanpa sebab yang jelas.