Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 mengamarkan pemerintah melakukan penataan kembali pola kegiatan industri migas dengan mengedepankan efisiensi yang berkeadilan dan mengurangi proliferasi organisasi pemerintahan. Oleh sebab itu, pemerintah harus memasukkan poin-poin yang menentukan struktur hulu migas yang tidak bertentangan dengan amar tersebut dalam penyusunan UU Migas yang baru.
Mengingat badan pengatur merupakan isu yang sentral dalam struktur hulu migas Indonesia maka menurut saya hal ini harus menjadi prioritas untuk ditata dalam UU Migas yang baru. Ada dua opsi yang menurut hemat saya bisa dipertimbangkan dalam hal ini. Pertama, menjadikan SKK Migas sebagai BUMN Khusus (Non-Operator) dan kedua, mengembalikan kewenangan regulator kepada Pertamina.
Dalam opsi yang pertama, SKK Migas tidak akan berperan sebagai operator dari suatu proyek migas melainkan menjadi perwakilan pemerintah dalam menjalin kemitraan dengan perusahaan-perusahaan minyak yang ada, termasuk Pertamina. Dalam hal ini, partisipasi Pertamina akan terbatas pada pengembangan strategi komersialnya yang nantinya akan dikembalikan kepada pemegang saham (dalam hal ini Pemerintah Indonesia).
Di opsi kedua, Pertamina akan menjadi badan yang bertanggung jawab untuk bernegosiasi dan menandatangani kontrak dengan perusahaan minyak swasta, yang mewakili kepentingan negara dalam bermitra, dan memastikan bahwa undang-undang, peraturan, dan kontrak ditegakkan. Pertamina akan membutuhkan sistem yang mumpuni untuk mengambil peran tersebut sembari juga menjalankan usaha untuk mencapai tujuan-tujuan komersialnya.
Kedua opsi tersebut tentu saja memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing, seperti yang dapat dilihat pada tabel berikut:
[caption id="attachment_356211" align="aligncenter" width="528" caption="Tabel Keunggulan & Kelemahan Opsi 1 dan Opsi 2"]
Dalam kaitannya dengan cost recovery, pemerintah harus melakukan upaya untuk menjauhkan semua ini dari kepentingan-kepentingan politis dan membiarkan mekanisme tentang cost recovery berjalan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010. Campur tangan pemerintah daerah pun semestinya bisa diminimalisir apabila semua pihak bersedia kembali kepada Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2012 dan bersedia mendukung visi misi pemerintah pusat dalam menyejahterakan rakyatnya melalui industri migas.
Saran penutup menimbang hal tersebut, terapkanlah pula pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) pada kegiatan usaha hulu migas guna memberikan kepastian waktu dan biaya serta mempermudah perizinan bagi dunia usaha di industri migas agar citra pemerintahan dalam pelayanan publik membaik dan beban administrasinya semakin berkurang. Hal ini sungguh dapat meningkatkan keyakinan para investor untuk berinvestasi di sektor hulu migas Indonesia, yang ujungnya bisa membantu pemerintah dalam memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H