Mohon tunggu...
Aldi Gozali
Aldi Gozali Mohon Tunggu... Akuntan - A lifelong learner

A true learner who loves to write about business, economics, and finance. | All the articles here are originally taken from https://aldigozali.com. Visit there for more articles. | Twitter: @aldigozali | Email: aldi.gozali@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Hulu Migas Nasional Perlu Direstorasi

17 Maret 2015   23:53 Diperbarui: 5 Juli 2015   06:46 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia bukanlah pemain baru dalam industri minyak dan gas (migas). Sejak pertama kali ditemukannya ladang minyak komersial di Sumatera Utara tahun 1885, Indonesia terus memainkan peran penting dalam industri ini di kancah internasional. Sebagai puncaknya, Bumi Pertiwi berhasil berdiri sejajar dengan negara-negara penghasil minyak terbesar global yang tergabung dalam Organization of Petroleum Exporting Countries (OPEC), terhitung sejak tahun 1962. Namun, seiring konsumsi minyak yang terus menimpang produksinya, Indonesia harus rela menanggalkan kejayaannya tersebut dan (harus) terbiasa dengan status importir minyak netto (net oil importer) hingga waktu yang belum bisa ditentukan.

Ketimpangan yang terjadi sejak tahun 2004 itu telah mencuri banyak perhatian berbagai pihak, mengingat Indonesia harus menutupi gap yang timbul dengan cara impor -- salah satu yang membebani fiskal kita. Sebagaimana bisa dilihat pada grafik 1, produksi minyak Indonesia terus merosot dalam 14 tahun terakhir, berbanding terbalik dengan sisi konsumsinya.

Kurangnya investasi di sektor hulu migas sepertinya memang memiliki aroma yang kental sebagai penyebab utama mengapa semua ini terjadi. Dalam pandangan saya, ada beberapa upaya yang perlu dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mengatasi ini semua. Namun, sebelum sampai ke situ, mari kita telaah terlebih dahulu secara singkat seperti apa sebenarnya mekanisme yang ada dalam industri -- yang oleh sebagian kalangan disebut “ladang basah” -- ini.

Ikhtisar Pola Industri

Pada dasarnya, industri migas mencakup tiga bagian atau sektor utama, yaitu hulu (upstream), tengah (midstream), dan hilir (downstream). Sektor hulu adalah lingkup yang di dalamnya terdapat segala aktivitas yang berkenaan dengan eksplorasi dan produksi (exploration and production/E&P) minyak dan gas alam. Sektor tengah adalah dimana pengangkutan hasil produksi ke sektor hilir dilakukan (biasanya menggunakan kapal tanker ataupun pipa). Sektor hilir, dimana hasil produksi lalu dikilang dan disuling sampai menghasilkan produk akhir (end products) yang nantinya akan dipasarkan ke pengguna akhir (end users). [caption id="attachment_356067" align="aligncenter" width="531" caption="Gambar 1. Rantai bisnis migas"]

14266391261639655333
14266391261639655333
[/caption] Dalam prakteknya di Indonesia, sektor tengah industri migas selalu digabungkan ke dalam sektor hilir sehingga yang sering terdengar hanyalah dua sektor, yakni hulu dan hilir. Ini sebagai pengejawantahan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang di dalamnya hanya menyinggung sektor hulu dan hilir dan tidak sama sekali menyinggung tentang sektor tengah. Bagaimanapun, semua sektor tersebut bersifat hirarkis, yang artinya kelangsungan industri ini akan bergantung pada sektor hulunya.

Sebagai gambaran sederhananya, jika ternyata eksplorasi tidak menghasilkan apa-apa (baca: tidak ditemukannya cadangan minyak alias sumurnya kering) maka aktivitas pada sektor-sektor di tingkat bawahnya pun tidak akan bisa berjalan -- tidak akan ada tindakan lanjutan yang bisa dilakukan. Apa yang mau dijual kalau hasil produksinya saja tidak ada? Oleh karenanya, memang tepat kalau aktivitas E&P disebut sebagai ruhnya industri migas.

Dengan gambaran sederhana itu, saya berpandangan kalau sektor hulu memang perlu mendapat perhatian lebih -- karena ini menyangkut sektor-sektor di bawahnya, yang juga menyangkut nasib ribuan tenaga kerja. Tentu, bukan berarti saya menganggap selama ini pemerintah tidak menaruh perhatian lebih pada industri ini. Hanya, dalam prakteknya masih banyak upaya yang menurut saya perlu dilakukan secara sungguh-sungguh demi optimalisasi kinerja industri dan juga demi pemasukan negara, yang ujung-ujungnya akan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  

 

Problematika Investasi Hulu Migas

Seperti yang telah disinggung di atas, penurunan produksi migas secara terus-menerus nampaknya memang disebabkan oleh faktor tunggal, yakni kurangnya investasi pada sektor hulunya. Ini bisa terjadi karena beberapa hal. Namun, dalam kasus di Indonesia, kurangnya minat investor untuk masuk ke wilayah ini terasa sangat dominan. Lelang Wilayah Kerja (WK) yang dilakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) beberapa kali terakhir menjadi bukti betapa sektor hulu migas kita sepi peminatnya. Lelang WK Migas Tahap I Tahun 2013 misalnya, yang menawarkan 16 WK namun hanya enam WK yang mendapat sambutan investor.

Kondisi seperti ini tentu saja tidak terlepas dari iklim investasi yang ada, khususnya di hulu migas. Dalam dunia investasi, sudah barang tentu kalau investor selalu memperhatikan risiko sebelum mengambil keputusan. Risiko memang tidak bisa dihindari namun sangat mungkin untuk dikendalikan. Risiko akan sangat terkendali apabila iklim investasinya sehat. Sebaliknya, risiko akan menjadi sangat riskan apabila iklim investasinya tidak kondusif. Mengingat eskplorasi migas sarat dengan modal besar maka iklim investasi yang sehat pada sektor hulunya adalah syarat utama yang harus terpenuhi untuk menarik minat investor.

Sebuah survei dua tahunan yang dirilis PricewaterhouseCooper (PwC) pada Mei 2014 menyimpulkan kalau sebagian besar pelaku di hulu migas memandang iklim investasi migas di Indonesia kurang kondusif. Adapun pokok permasalahan yang lebih banyak ditekankan dalam survei tersebut yakni perihal ketidakpastian hukum.

Semua orang paham kalau industri migas, seperti halnya investasi pada umumnya, penuh ketidakpastian atau risiko. Oleh sebab itu, kepastian hukum (seharusnya) menjadi satu-satunya kepastian yang bisa didapatkan para investor migas. Sayangnya, di Indonesia, hal tersebut masih, dan sepertinya masih akan, menjadi problematika sampai adanya ketetapan baru.

Seperti yang kita ketahui bersama, Mahkamah Konstitusi (MK) banyak menganulir pasal-pasal pada UU No. 22 Tahun 2001 yang mengakibatkan dibubarkannya Badan Pengatur Hulu Migas (BP Migas) tiga tahun silam. Pasca putusan MK tersebut, pemerintah melalui Kementerian ESDM langsung menindaklanjutinya dengan membentuk tim khusus, yaitu Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas), agar kegiatan usaha hulu migas bisa tetap berjalan normal.

Akan tetapi, hadirnya SKK Migas ternyata dinilai masih belum bisa menyelesaikan masalah mengingat statusnya yang belum jelas dan pembentukannya yang dinilai bertentangan dengan putusan MK yang mengamarkan pemerintah untuk membentuk organ baru yang terpisah dari organ-organ pemerintah yang akan diberikan konsesi dan melakukan kontrak dengan pihak ketiga.

Dikarenakan fungsinya sebagai penyelenggara pengelolaan kegiatan usaha hulu migas, kerentanan SKK Migas sangat jelas akan memengaruhi persepsi investor dalam melakukan kegiatannya di Indonesia.

Permasalahan selanjutnya yang ada pada usaha hulu migas adalah tentang pengembalian biaya operasional atau yang lebih dikenal dengan cost recovery. Sejatinya, ini adalah konsekuensi dari diterapkannya sistem bagi hasil produksi (production sharing contract/PSC) -- sistem yang memungkinkan negara untuk tetap berperan aktif dalam hal pengawasan kegiatan operasional migas yang dilakukan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Sistem ini telah digunakan oleh banyak negara dan Indonesia boleh berbangga karena memeloporinya.

Dalam perjalanannya, cost recovery sering dijadikan kambing hitam atas membengkaknya pengeluaran negara -- di sisi lain produksi (lifting) migas terus merosot. Padahal, hakikat cost recovery tak ubahnya sebuah investasi. Ia diterapkan untuk meningkatkan minat investor dalam melakukan aktivitas eksplorasi dan eksploitasi migas di Indonesia. Hanya saja, faktor-faktor politis membuat "wajah" cost recovery di Indonesia menjadi sedikit buram. Tekanan-tekanan untuk menekan cost recovery terus berdatangan, yang menimbulkan kekhawatiran bagi para investor atau KKKS yang telah beroperasi di Indonesia.

Permasalahan lain yang juga dinilai membuat iklim investasi hulu migas tidak kondusif adalah campur tangan pemerintah daerah. KKKS migas memiliki pengalaman yang cukup tidak mengenakkan mengenai hal ini, dimana aktivitas usaha mereka di tingkat hulu terkendala perselisihan dengan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat. KKKS yang dimaksud di sini adalah Mobil Cepu Limited (MCL), anak usaha Exxon Mobil. Izin usaha MCL kala itu terancam dicabut oleh Bupati Bojonegoro lantaran proses tukar guling tanah kas daerah tak kunjung diselesaikan pihak MCL hingga tenggat waktu yang telah ditentukan. Selain itu, KKKS yang mengelola Blok Cepu itu pun dinilai tidak melaksanakan Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2011 tentang Kandungan Lokal sehingga Pemda setempat enggan untuk menurunkan beberapa izin terkait pendirian konstruksi fasilitas produksi penuh.  

 

Momentum Perubahan

Permasalahan-permasalahan tersebut sejatinya adalah momentum bagi pemerintah untuk membenahi industri migas nasional agar mendapatkan kembali legitimasinya sebagai mesin pertumbuhan ekonomi negara. Dari segi kepastian hukum, pemerintah diharapkan bisa menyikapi ketentuan mahkamah yang bersifat final itu secara elegan dan proporsional. Elegan, agar tidak menimbulkan kekisruhan dalam industri. Proporsional, artinya pemerintah mencari win-win solution agar tidak ada pihak-pihak yang dirugikan nantinya.

Oleh karenanya, UU Migas yang baru harus segera disusun agar bisa dibahas bersama -- dan diundangkan oleh -- DPR. Pemerintah tidak boleh terlalu lama membiarkan kekosongan ini terjadi karena dampaknya akan sangat membahayakan bagi iklim investasi migas Indonesia. Penyusunan UU Migas yang baru juga diharapkan selaras dengan apa yang diamanatkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 agar tidak terjadi lagi kekisruhan yang dapat berujung gugatan ke MK.

Rekomendasi

Putusan MK Nomor 36/PUU-X/2012 mengamarkan pemerintah melakukan penataan kembali pola kegiatan industri migas dengan mengedepankan efisiensi yang berkeadilan dan mengurangi proliferasi organisasi pemerintahan. Oleh sebab itu, pemerintah harus memasukkan poin-poin yang menentukan struktur hulu migas yang tidak bertentangan dengan amar tersebut dalam penyusunan UU Migas yang baru.

Mengingat badan pengatur merupakan isu yang sentral dalam struktur hulu migas Indonesia maka menurut saya hal ini harus menjadi prioritas untuk ditata dalam UU Migas yang baru. Ada dua opsi yang menurut hemat saya bisa dipertimbangkan dalam hal ini. Pertama, menjadikan SKK Migas sebagai BUMN Khusus (Non-Operator) dan kedua, mengembalikan kewenangan regulator kepada Pertamina.

Dalam opsi yang pertama, SKK Migas tidak akan berperan sebagai operator dari suatu proyek migas melainkan menjadi perwakilan pemerintah dalam menjalin kemitraan dengan perusahaan-perusahaan minyak yang ada, termasuk Pertamina. Dalam hal ini, partisipasi Pertamina akan terbatas pada pengembangan strategi komersialnya yang nantinya akan dikembalikan kepada pemegang saham (dalam hal ini Pemerintah Indonesia).

Di opsi kedua, Pertamina akan menjadi badan yang bertanggung jawab untuk bernegosiasi dan menandatangani kontrak dengan perusahaan minyak swasta, yang mewakili kepentingan negara dalam bermitra, dan memastikan bahwa undang-undang, peraturan, dan kontrak ditegakkan. Pertamina akan membutuhkan sistem yang mumpuni untuk mengambil peran tersebut sembari juga menjalankan usaha untuk mencapai tujuan-tujuan komersialnya.

Kedua opsi tersebut tentu saja memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing, seperti yang dapat dilihat pada tabel berikut:

[caption id="attachment_356211" align="aligncenter" width="528" caption="Tabel Keunggulan & Kelemahan Opsi 1 dan Opsi 2"]

14266889881076692102
14266889881076692102
[/caption]

Dalam kaitannya dengan cost recovery, pemerintah harus melakukan upaya untuk menjauhkan semua ini dari kepentingan-kepentingan politis dan membiarkan mekanisme tentang cost recovery berjalan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010. Campur tangan pemerintah daerah pun semestinya bisa diminimalisir apabila semua pihak bersedia kembali kepada Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2012 dan bersedia mendukung visi misi pemerintah pusat dalam menyejahterakan rakyatnya melalui industri migas.

Saran penutup menimbang hal tersebut, terapkanlah pula pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) pada kegiatan usaha hulu migas guna memberikan kepastian waktu dan biaya serta mempermudah perizinan bagi dunia usaha di industri migas agar citra pemerintahan dalam pelayanan publik membaik dan beban administrasinya semakin berkurang. Hal ini sungguh dapat meningkatkan keyakinan para investor untuk berinvestasi di sektor hulu migas Indonesia, yang ujungnya bisa membantu pemerintah dalam memberikan manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun