Korban Mafia Hukum
Saya, Hadi Junaidi (37) terpidana 17 tahun penjara karena memiliki narkoba (1.1 gram shabu dan 0.7 gram heroin), yang saya gunakan sendiri. Saya adalah pengguna (pencandu) narkoba sejak usia 18 tahun atau selama 19 tahun.
Pada 26 Mei 2014 saya ditangkap oleh petugas BNN ketika usai menggunakan narkoba di dalam mobil, yang saya parkir di pinggir jalan.
Dalam pengaruh narkoba (teler) saya di bawa oleh petugas BNN ke kamar kost, yang bukan tempat tinggal saya. Di kamar kost itu ditemukan narkoba sebanyak 50 gram, yang dipaksa petugas BNN harus saya akui sebagai milik saya.
Dalam keadaan teler, saya diperiksa (BAP) tanpa didampingi pengacara, dipukuli dan diancam penyidik.
Di PN Jakarta Selatan, saya diadili oleh majelis hakim, diketua Soeprapto SH, Nuraslam SH dan Made Sutrisna SH.
Sidang pertama berlangsung hanya 20 menit.
Sidang kedua hanya berlangsung 2 menit saja dan sidang ketiga 15 menit. Pada sidang ketiga itulah saya divonis lebih tinggi 3 tahun dari tuntutan jaksa yaitu di vonis 17 tahun penjara. Tanpa didampingi pengacara dan tanpa kehadiran keluarga, karena jaksa penuntut umum membohongi keluarga saya, dengan mengatakan hari itu (16 September 2014) tidak ada sidang. Putusan hakim pun melebihi hukuman maksimal dari pasal yang diputus yaitu maksimal 12 tahun.
Mulai dari penangkapan, penyidikan hingga persidangan saya di pengadilan, semua berjalan tidak berdasarkan ketentuan hukum (KUHAP).
Majelis Hakim berganti-ganti, bahkan nama majelis hakim yang memutuskan di pengadilan, berbeda dengan yang tercantum di petikan putusan. Juga berbeda dengan majelis hakim di persidangan.
Singkatnya, saya adalah korban praktik penyidikan, penuntutan dan peradilan sesat di Indonesia. Sudah jadi rahasia umum, majelis hakim PN Jakarta Selatan memvonis berat pemakai/pecandu narkoba, namun membebaskan/memvonis ringan bandar besar narkoba dengan barang bukti berkilo-kilo gram narkoba.