Tragedi Kemanusiaan, Pencabulan Di Ponpes, Bagaimana Mencegahnya?
Kejahatan seksual kepada santriwati pada awalnya hanyalah sebuah gejala sosial. Namun seiring dengan bertambahnya kasus demi kasus yang terungkap, hal tersebut berubah menjadi fakta sosial. Proses hukum yang berjalan mengubah fakta sosial menjadi fakta hukum di persidangan. Para pelaku menjadi terhukum alias narapidana.
Kejahatan seksual banyak terjadi. Di berbagai tempat dan daerah. Ketika kejahatan seksual seperti pencabulan terjadi di Pondok pesantren (Ponpes), maka kita seakan tak percaya. Masa sih? Bukankah Ponpes adalah tempat belajar ilmu agama yang diasuh oleh para Kiai? Siapa yang berani mencoreng nama pesantren yang begitu agung dan berwibawa secara keagamaan? Tentu mereka sendiri. Atau keluarganya seperti anaknya.
Kasus pencabulan yang dilakukan MSAT, anak kiai pengasuh Ponpes di Jombang menjadi contoh konkrit. MSAT dengan menggunakan ilmu metafakta berhasil mengibuli santriwatinya untuk melakukan pencabulan.
Sulit kita bayangkan, kejahatan seksual berupa pencabulan dilakukan oleh anak kiai pemilik dan pengasuh dengan menggunakan ilmu metafakta. Korban tidak satu. Khusus MSAT, konon kabarnya ada 5 korbannya.
Korban yang mengadukannya ini sebenarnya bukan kasus pertama yang diadukan ke polisi. Korban ini semula diperiksa sebagai saksi untuk korban yang lain. Namun kasus tersebut tidak diteruskan. Gelap dan tutup. Korban ini merasa sesak dan akhirnya dia sendiri yang mengadukan sebagai korban. Sejak 2019 sampai 2022 kasus ini sulit dituntaskan. Kenapa?
Ayah pelaku, kiai sepuh yang merupakan pemilik dari Ponpes membalikkan logika dan persepsi. KH Muchtar Mu'ti mengatakan bahwa anaknya difitnah. Hal tersebut adalah masalah keluarga. Dan demi kejayaan Indonesia Raya, maka Kapolres Jombang disuruhnya pulang dan tak bisa membawa anaknya MSAT yang sudah dinyatakan tersangka dan masuk Daftar Pencarian Orang  (DPO).
Wibawa kiai sepuh berhasil menundukkan Kapolres Jombang dan pulang dengan hampa. Teriakan massa di Ponpes dan massa yang berkumpul membuat polisi mundur tanpa hasil. Namun polisi tidak menyerah.
Penyerbuan tanggal 7-7-22 selama 15 jam juga tak membuahkan hasil. Janji sang ayah yang akan menyerahkan anaknya ditagih polisi. Polisi tidak mau keluar dari Ponpes. Malah polisi menyisir semua tempat yang ada di Ponpes. Akhirnya tersangka menyerah dan dibawa ke Polda Jatim dengan didampingi sang ayah tercinta. Tengah malam.
Seharusnya kasus ini tidak perlu heboh dan menarik perhatian secara nasional, jika MSAT dan ayahnya kooperatif dan memenuhi panggilan penyidik dari Polda Jatim. Namun bukan saja tidak kooperatif, malah sang ayah menghalangi petugas untuk menangkap MSAT, anaknya.
Akibat hal tersebut, tekanan kepada polisi dari penggiat HAM dan aktivis perempuan tak berhenti. Gelombang tekanan tersebut membuat Mabes Polri juga tidak kuat. Wibawa Polri dan penegak hukum dipertaruhkan. Negara dan hukum tidak boleh kalah, demikian seruan dari banyak kalangan kepada Polri.
Gelombang tekanan kepada Polri patut diduga karena kasus kejahatan seksual kepada santriwati seakan bertambah terus dan semakin terkuak. Ponpes yang selama ini dianggap sebagai pusat ilmu agama dan pengembangan akhlak berdasarkan agama menjadi tercemar. Dicemari oleh pemilik ponpes atau keluarganya.
Tempat yang seharusnya penyemaian kebaikan, kini berubah menjadi arena kejahatan seksual. Pelaku yang seharusnya menjadi contoh panutan dan teladan dalam perilaku menjadi pelaku kejahatan seksual dan menjalani proses hukum. Bahkan ada yang sudah dipenjara.
Pertanyaannya, bagaimana mencegah supaya tidak terjadi seperti itu? Ada beberapa usulan dan pemikiran yang perlu dipertimbangkan sebagai upaya pencegahan.
Pertama, izin ponpes diberikan untuk jangka waktu lima tahun. Izin boleh diperpanjang dengan syarat memenuhi standar operasional yang diaudit secara berkala. Jika ditemukan pelanggaran atas syarat, izin tidak boleh diperpanjang, ponpes harus ditutup. Santri dialihkan ke ponpes yang memenuhi syarat.
Kedua, perlu pemeriksaan berkala atau mendadak dari aparat Kementerian Agama untuk menjaga pelanggaran hukum terhadap izin yang diberikan.
Ketiga, Kementerian Agama yang memiliki kewenangan izin Ponpes harus membuka kotak pengaduan dan kotak pengaduan ini harus aktif dan proaktif untuk merespon pengaduan dengan cepat. Nomor pengaduan harus diumumkan dan ada di setiap ponpes yang memiliki izin dari Kementerian Agama. Seperti nomor pengaduan jika supir bis pariwisata ugal-ugalan. Ada nomor telepon dibelakang mobil tersebut.
Keempat, perlu pertemuan berkala antara pejabat Kantor Kementerian Agama di daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten dengan pengasuh ponpes untuk mengetahui perkembangan ponpes di daerah tersebut.
Kelima, perlu ada penempatan lembaga advokasi untuk santri yang dibiayai oleh Kementerian Agama sebagai lembaga monitoring dan pengawasan terhadap ponpes.
Semua usulan diatas hanya didasarkan kepada pencegahan terjadinya kejahatan seksual dalam ponpes. Kepercayaan santri dan santriwati serta orang tua mereka ke ponpes harus dijaga. Nama baik ponpes secara keseluruhan juga harus dijaga. Jangan karena ulah salah satu pesantren, pesantren yang baik menjadi korban.
Mungkinkah Kementerian Agama mau melakukan hal diatas? Atau beranikah Kementerian Agama membuat aturan dan mengawasi pesantren? Semuanya kembali kepada keinginan politik pemerintah melalui Kementerian Agama. Semoga berkenan mempertimbangkannya. Apalagi kalau berkenan melakukannya. Selamatkan santri dan santriwati, selamatkan juga pondok pesantren yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H