Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Luhut, dari Covid-19 ke Migor, Bergelut Menjadi Menteri SaLuhut (Semuanya)?

25 Mei 2022   07:52 Diperbarui: 25 Mei 2022   08:03 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Luhut Binsar Panjaitan  seorang putra Batak berlatar belakang tentara dan dari baret merah telah menjadi seorang tokoh penting dalam pemerintahan Jokowi. Sejak awal kehadirannya di kabinet Jokowi talah menimbulkan ketidaksenangan bagi PDIP, partai yang mengusung Jokowi.

Partai PDIP di awal pemerintahan Jokowi sangat tidak menyukai tiga orang di lingkungan Jokowi. Dulu disebut Trio Macan yaitu, Luhut, Rini dan Andi. Seiring dengan perjalanan waktu, Andi digantikan Pramono Anung, mantan Sekjen PDIP. Sukses bagi PDIP. Kemudian Rini juga tergusur dari kabinet Jokowi. PDIP tepuk tangan. Namun Luhut tak kunjung tergusur. PDIP kecewa? Gigit jarikah?

Memang harus diakui bahwa kepercayaan Jokowi kepada Luhut sangat besar. PDIP yang sedari awal dalam pernyataan Ketua Umum Megawati menyebut Jokowi sebagai petugas partai kepada Jokowi sebagai presiden menunjukkan kekurang cermatan dan kurang kadar pemahaman terhadap fungsi pejabat negara.

Setiap politikus yang diberikan kepercayaan sebagai pejabat negara dan pejabat publik, serta merta dia harus melepaskan diri dari atribut partai. Dia bukan lagi petugas partai dan dia harus berpikir dan bertindak sebagai abdi negara dan harus melayani publik sesuai sumpah jabatannya. Partai juga harus tahu diri dan jangan mengganggu kader partainya yang menjadi abdi negara.

Pola pikir dan wawasan politik para pemimpin partai kita masih terjebak dengan pola yang ada di DPR. Fraksi di DPR adalah perpanjangan tangan DPP Partai. Padahal DPR adalah lembaga negara yang menjalankan fungsi legislatif. Tidak boleh ada anggota DPR yang bertentangan sikap, prinsip dan perbuatan dengan DPP Partai, apalagi dengan ketua Umum Partai. Jika itu terjadi, maka Fraksi akan melakukan recall atau Pergantian Antar Waktu (PAW).

PDIP, di awal pemerintahan  Jokowi 2014 masih terjebak dengan pemikiran seperti di DPR tersebut. Pernyataan Megawati yang mengatakan Jokowi sebagai petugas partai cukup mengindikasikannya. Dan dengan dasar sebutan petugas partai tersebutlah keberatan PDIP atas kehadiran Trio Macan Menteri di kabinet Jokowi diprotes. Trio macan tak ada lagi, sisanya Solo Macan bernama Luhut Panjaitan.

Kegalauan PDIP terhadap Solo Macan ini tak kurang juga. Jabatan dan kepercayaan yang diberikan Jokowi kepada Luhut membuat para elit partai PDIP seperti kebakaran jenggot. Menggusur Solo Macan ini sepertinya sebuah kemustahilan. Makin digencet, makin meleset. Padahal sebagai perbandingan, Megawati juga banyak jabatan diberikan  oleh Jokowi.

Teranyar, Luhut Panjaitan diberikan tugas dan kepercayaan lagi dari Jokowi mengurus minyak goreng. Sudah sekian waktu ini terjadi hingar bingar tentang minyak goreng. 

Para emak antri membeli minyak goreng, sampai lupa menggoreng makanan untuk anak dan suaminya. Para emak protes, lupa memprotes suami yang terlambat pulang sampai malam. Menteri Perdagangan sibuk dan lupa masih banyak tugas mengurus perdagangan produk lain.

Penegak hukum sibuk pula. Sampai lupa bahwa penanggung jawab korporasi adalah direksi. Yang ditangkap komisaris perusahaan. Media dan stasiun TV sibuk mewawancarai emak-emak dan pedagang pasar, lupa mewawancarai para kartel penguasa distribusi minyak goreng. 

Presiden marah. Ekspor minyak goreng dan CPO bahan dasar minyak goreng dihentikan. Hingar bingar minyak goreng mereda. Namun petani kelapa sawit menjerit. Ribut dan merana. 

Penyelesaian masalah distribusi dan harga minyak goreng dengan penghentian ekspor menimbulkan masalah baru bagi petani kelapa sawit. Penyelesaian masalah telah menimbulkan masalah baru. Seharusnya menyelesaikan masalah tanpa masalah seperti pepatah pegadaian gagal tercapai.

Akhirnya, Jokowi kembali mengubah klebijakan. Ekspor CPO kembali dibuka. Ternyata harga minyak goreng curah tak kunjung turun. Dulu langka dan mahal. Sesudah ekspor dilarang, harga mulai membaik dan stok cukup. Setelah ekspor dibuka kembali, harga belum turun juga seperti harga yang ditetapkan pemerintah.

Di tengah kondisi seperti inilah Jokowi memberi tugas kepada Luhut Panjaitan. Dan PDIP bereaksi lagi. Anggota DPR dari PDIP, Deddy Sitorus mengatakan bahwa penunjukan Luhut mengurus minyak goreng kurang tepat. 

Maksudnya, penunjukan itu salah. Maksudnya Jokowi salah menugaskan Luhut mengurus minyak goreng, apalagi khusus di Jawa dan Bali. Sudah ada Menko Perekonomian yang mengurus hal tersebut. Itulah menurut anggota DPR tersebut.

Ini seakan mengulang penunjukan Luhut mengatasi Covid-19. Semula Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sebagai Pejabat yang mengurus Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Namun seiring perjalanan waktu dan ketika penyebaran Covid-19 melesat dan korban berjatuhan, Jokowi menunjuk Luhut untuk menangani Covid-19 untuk Jawa dan Bali, sementara Airlangga untuk luar Jawa dan Bali.

Ketika Covid-19 sudah bisa dikendalikan dan agak mereda, minyak goreng menimbulkan masalah. Lalu perintah menangani minyak goreng dikeluarkan Jokowi ke Luhut.

Apakah salah seorang Luhut menerima perintah dari atasannya Presiden? Kenapa PDIP seakan memprotes? Apakah salah, jika seorang presiden menugaskan menterinya menangani satu masalah kenegaraan yang masih bermasalah, walaupun sudah ada menteri yang mengurusnya sesuai bidangnya?

Siapakah yang lebih paham masalah pemerintahan? Jokowi sebagai presiden atau partai dan DPR? Luhut mengatakan bahwa dia hanya menjalankan perintah saja. Kenapa tidak Ketua Umum Partai saja yang berkunjung ke presiden dan menyampaikannya. Apakah ada kecenderungan pendapat ketua umum partai akan didengar, namun ditolak oleh presiden?

Luhut dalam bahasa Batak bisa diartikan semua. Kalau kata SaLuhut seperti di judul artinya semuanya. Apakah Luhut telah menjadi menteri urusan "saluhut" (semuanya)? Nah ini harus kita kembalikan kepada orang yang memberi perintah, yaitu Presiden Jokowi.

Kenapa Presiden Jokowi selalu memberikan tugas ekstra kepada Luhut? Tentu ini menyangkut kepercayaan seorang presiden kepada bawahannya para menteri. Juga menyangkut prinsip dan cara bertindak presiden. Banyak menteri di kabinet Jokowi yang sudah diamarahi Jokowi tak kunjung bisa menjalankan perintah presiden sesuai tupoksinya. Lalu salahkan Presiden mengalihkannya sementara untuk didukung dan dibantu menteri lain? Jokowi yang lebih tahu urgensinya.

Jadi, jika Luhut diperintah Jokowi mengurus saluhut (semuanya), yang patut dan perlu kita lihat adalah, apa urgensinya menurut presiden Jokowi. Kecuali, jika penugasan itu adalah permintaan dari Luhut. Jika itu adalah perintah dan penugasan dari Presiden, apakah Luhut harus menolak? Bisa saja dia menolak, tetapi apakah Jokowi berkenan dan mau menerima jika menterinya menolak perintahnya? Menteri yang tidak bisa menjalankan perintahnya saja dimarahi di depan umum, apalagi menolak perintah.

Hubungan baik dan chemistry antara presiden dan menterinya tak mungkin sama. Rasa saling percaya antara presiden dengan menteri tidak sama juga. Hubungan ini akan berkaitan dengan kepercayaan. Hubungan baik dan kepercayaan ini sangat erat kaitannya dengan perintah dan penugasan. Presiden Jokowi patut kita anggap sebagai orang yang paling tahu kapasitas dan kemampuan para menterinya.

Jika kita menganggap bahwa Luhut menjadi menteri saluhut, itu semua tergantung kepada presiden Jokowi. Memberikan perintah kepada Luhut adalah kewenangan presiden. Kita sudah melihat hasil penanganan Covid-19 Jawa dan Bali. Kini mereda. Jika Luhut dibawah perintah Jokowi untuk  meredakan masalah minyak goreng, apakah itu salah? Manatahu Luhut bisa meredakanya dengan strategi yang tepat, kenapa tidak kita tunggu?

Kritik dan keberatan boleh diajukan terhadap penunjukan Luhut mengurus saluhut. Tapi biarkan jugalah Presiden Jokowi membuat perintah dan tugas kepada menterinya sesuai kewenangannya. Mana tahu, masalah minyak goreng bisa cepat selesai seperti  meredakan Covid-19 Jawa dan Bali dan juga di seluruh Indonesia.

Kiranya kasus minyak goreng yang licin ini tidak membuat Jokowi dan Luhut tergelincir, namun biarlah masalah minyak goreng yang tergelincir. Harapan kita Luhut bisa menghentikan goreng menggoreng harga minyak goreng, dan biarlah para penggoreng itu yang digoreng sampai gosong dan tercoreng. Kiranya itu terjadi, karena itulah harapan kita saluhut (semuanya) masyarakat Indonesia. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun