Indonesia sebagai Presidensi G20 menghadapi ancaman boikot dari Amerika Serikat (AS) dan sekutunya NATO dan negara Eropa terhadap KTT Bali yang akan diadakan di Indonesia. Mereka mengancam boikot dan tidak hadir dalam kegiatan G20, jika Indonesia mengundang Putin dan jika ada delegasi Rusia.
Sebagai Presidensi G20 tentu Indonesia berhak dan memiliki kewajiban untuk mengundang seluruh delegasi anggota G20. Namun invasi Rusia ke Ukrania telah membuat AS dan negara Uni Eropa serta negara anggota NATO marah dan mengancam boikot terhadap seluruh kegiatan G20 yang mengikutsertakan delegasi Rusia.
Posisi Indonesia sebagai presidensi G20 tentu sulit dan dilematis. Jika tetap mengundang Rusia untuk ikut berpartisipasi, maka AS dan sekutu NATO serta negara Uni Eropa akan memboikot. Jika tidak mengundang Rusia, maka kepemimpinan Indonesia di G20 akan menimbulkan cacat dan seakan tunduk terhadap tekanan dan pengaruh AS dan sekutunya. Ini bagaikan meniti buih. Bagaimanakah Indonesia sebagai presidensi memainkan perannya dalam kondisi yang sulit dan dilematis ini?
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan akan segera melakukan tugas diplomasi ke semua negara anggota G20 untuk mencari solusi atas ancaman boikot dari AS dan sekutunya ini. Memilih dua pilihan sulit seperti disebut diatas tadi bukanlah hal yang mudah.
Jika perang di Ukraina masih terjadi sampai penyelenggaraan KTT G20 Bali di bulan Nopember yang akan datang, maka kesulitan itu sangat sulit dihadapi. Dengan demikian, maka perang Ukraina harus dihentikan sebelum KTT G20 Bali. Lalu apa yang harus dilakukan. Kepiawaian melakukan diplomasi terhadap semua negara yang terlibat dalam perang Rusia-Ukraina harus dilakukan secepat dan selugas mungkin.
Bagaimanapun suara Indonesia sebagai presidensi G20 menyuarakan motto Recovery Together Recovery Stronger dengan penguatan ekonomi dan keadilan akan hilang ditelan perang Rusia Ukraina. Bagaimana G20 berbicara pemulihan ekonomi, jika sesama anggota G20 sedang perang dan saling menjatuhkan sanksi ekonomi? Sanksi ekonomi sudah pasti mempengaruhi kerjasama ekonomi dan arus perdagangan jasa dan keuangan dunia dan mengganggu pertumbuhan ekonomi dunia.
Motto diatas hanya bisa dijalankan jika semua negara bisa berdamai dan duduk bersama mencari jalan penyelamatan dan pemulihan ekonomi dunia secara bersama-sama dan mencari cara penguatan ekonomi dunia secara bersama-sama pula.
Itu berarti penghentian perang dan perdamaian antara Rusia dan Ukraina harus diwujudkan dengan berbagai cara yang mungkin dilaksanakan dan upaya yang lebih berpeluang. Pemahaman terhadap masalah diantara Rusia dan Ukraina sebagai penyebab invasi Rusia ke Ukraina harus tepat dan mendalam. Dengan dasar itulah bisa mencari solusi terhadap masalah tersebut.
Ada beberapa masalah yang harus dipahami dan harus ada pendekatan terhadap masalah tersebut yang harus dilakukan.
Pertama, kekerasan hati Putin. Sangat jelas terlihat bagaimana Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan dan memulai invasi ke Ukraina. Ada dugaan NATO mau memperluas ekspansi ke Eropa Timur yang melanggar perjanjian pasca perang Dunia Kedua di era perang dingin. Ekspansi NATO ini akan mengancam keselamatan Rusia. Jika sekiranya Ukraina menjadi anggota NATO, maka Ukraina akan menjadi bagian dari pangkalan militer NATO, maka ancaman itu jelas akan menghantui keamanan nasional Rusia.
Kekerasan hati Putin harus dipahami sebagai cara untuk mempertahankan keselamatan negaranya. Sejak awal tujuannya bukan mau menguasai Ukraina, namun membumihanguskan militer Ukraina dan menghalangi Ukraina menjadi anggota NATO. Jadi harus dipahami kekerasan hati Putin, lalu bagaimana melunakkannya. Caranya adalah melobi semua anggota NATO agar tidak menerima Ukraina menjadi anggota dan netralitas Ukraina harus dijamin yang bisa melunakkan hati Putin. Komunikasi dan lobbi ke Rusia juga harus dikakukan untuk bisa melakukan gencatan senjata sementara.
Kedua, provokasi Presiden Ukraina. Harus kita akui, Preseiden Ukraina berhasil melakukan komunikasi yang efektif selama invasi Rusia ini terjadi. Apa yang disampaikannya melalui media cukup efektif nenyulitkan Rusia. Dia berhasil melakukan provokasi dan berbagai teknik komunikasi di media dunia, termasuk media sosial.
Provokasi yang dilakukan Presiden Ukraina terhadap Rusia berhasil membangun citra Ukraina dalam melakukan perlawanan ini. Namun perlu juga dipahami bahwa Rusia juga ahli dalam provokasi dan propaganda. Provokasi terhadap provokator tentu menjadi masalah tersendiri. Belum tentu berhasil, bahkan bisa membuat marah dan perang ini bukan berhenti, malah semakin menjadi-jadi.
Ketiga, provokasi Joe Biden. Pernyataan Presiden AS yang menyebut Putin sebagai penjahat perang dan dia tidak senang Putin terus berkuasa telah memicu kemarahan Putin dan Rusia. Rusia menganggap Amerika yang lebih banyak membunuh dan lebih layak disebut sebagai penjahat perang.
Perlu diplomasi terhadap AS untuk menghentikan provokasi terhadap Putin dan Rusia. Jika Joe Biden menganggap Putin sebagai penjahat perang, kenapa AS dan NATO tidak berani membuat  larangan terbang di udara Ukraina untuk menyelamatkan penduduk Ukraina dan menghentikan perang. Ketika sanksi ekonomi tidak berhasil, maka upaya penghentian perang harus dirancang. Ancaman Perang Dunia ketiga memang akan terjadi jika larangan terbang di Ukraina dilakukan. AS dan NATO takut? Kalau takut, janganlah menakut-nakuti Rusia yang sudah keras hati tersebut.
Keempat, urgensi melakukan pertemuan Menteri luar negeri anggota G20 untuk membicarakan upaya penghentian Perang Rusia Ukraina. Dewan Keamanan gagal. Majelis Umum PBB tidak ada jalan keluar. Maka sebagai presidensi G20, seharusnya Indonesia bisa membuat langkah darurat untuk mempertemukan Menteri Luar Negeri anggota G20 untuk mencari solusi dan bisa menawarkan konsep perdamaian yang bisa diterima Rusia dan Ukraina sebagai penyelesaian dan penghentian perang.
Dorongan terhadap perundingan Rusia dan Ukraina serta membuat pertemuan diplomasi antar Menteri Luar Negeri diharapkan bisa semakin mendinginkan keadaan untuk menghentikan perang. Kata orang bijak, masalah bukan untuk diratapi, tetapi harus dicari solusi. Perang Rusia Ukraina harus dicari solusi untuk menghentikannya.
Ancaman boikot KTT G20 Bali, dimana posisi Indonesia sebagai presidensi G20 harus dihadapi. Harus dicari solusi yang saling memenangkan kepada semua pihak. Ini sulit. Bagaikan meniti buih. Tidak ada konflik antar bangsa yang mudah diselesaiakan, tetapi bukan berarti tidak bisa.
Berada diantara dua negara raksasa seperti AS dan Rusia yang sedang berkonflik bukan perkara mudah. Ancaman boikot AS dan sekutunya terhadap kegiatan KTT G20 sudah disampaikan. Jika ancaman ini menjadi kenyataan, maka posisi Indonesia sebagai presidensi G20 dianggap kurang berhasil. Namun jika Indonesia bisa memainkan peran pro aktif mencari solusi akan memperkuat posisi Indonesia di panggung dunia internasional.
Ini tentu sesuai dengan amanat konstitusi kita yang harus menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Ayolah tunjukkan bahwa kita bebas dan aktif mencari solusi di tengah perang Rusia Ukraina. Dengan demikian KTT G20 Bali akan berjalan dengan baik, ancaman boikot batal. Recovery together recovery stronger bukan hanya slogan, namun menjadi nyata dan terasa. Bukan hanya slogan dan pernyataan yang tertera dalam spanduk dan baliho di semua kantor pemerintahan, namun menjadi sebuah kenyataan yang dinikmati semua anggota G20 dan bangsa lain di dunia. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H