Kedua, provokasi Presiden Ukraina. Harus kita akui, Preseiden Ukraina berhasil melakukan komunikasi yang efektif selama invasi Rusia ini terjadi. Apa yang disampaikannya melalui media cukup efektif nenyulitkan Rusia. Dia berhasil melakukan provokasi dan berbagai teknik komunikasi di media dunia, termasuk media sosial.
Provokasi yang dilakukan Presiden Ukraina terhadap Rusia berhasil membangun citra Ukraina dalam melakukan perlawanan ini. Namun perlu juga dipahami bahwa Rusia juga ahli dalam provokasi dan propaganda. Provokasi terhadap provokator tentu menjadi masalah tersendiri. Belum tentu berhasil, bahkan bisa membuat marah dan perang ini bukan berhenti, malah semakin menjadi-jadi.
Ketiga, provokasi Joe Biden. Pernyataan Presiden AS yang menyebut Putin sebagai penjahat perang dan dia tidak senang Putin terus berkuasa telah memicu kemarahan Putin dan Rusia. Rusia menganggap Amerika yang lebih banyak membunuh dan lebih layak disebut sebagai penjahat perang.
Perlu diplomasi terhadap AS untuk menghentikan provokasi terhadap Putin dan Rusia. Jika Joe Biden menganggap Putin sebagai penjahat perang, kenapa AS dan NATO tidak berani membuat  larangan terbang di udara Ukraina untuk menyelamatkan penduduk Ukraina dan menghentikan perang. Ketika sanksi ekonomi tidak berhasil, maka upaya penghentian perang harus dirancang. Ancaman Perang Dunia ketiga memang akan terjadi jika larangan terbang di Ukraina dilakukan. AS dan NATO takut? Kalau takut, janganlah menakut-nakuti Rusia yang sudah keras hati tersebut.
Keempat, urgensi melakukan pertemuan Menteri luar negeri anggota G20 untuk membicarakan upaya penghentian Perang Rusia Ukraina. Dewan Keamanan gagal. Majelis Umum PBB tidak ada jalan keluar. Maka sebagai presidensi G20, seharusnya Indonesia bisa membuat langkah darurat untuk mempertemukan Menteri Luar Negeri anggota G20 untuk mencari solusi dan bisa menawarkan konsep perdamaian yang bisa diterima Rusia dan Ukraina sebagai penyelesaian dan penghentian perang.
Dorongan terhadap perundingan Rusia dan Ukraina serta membuat pertemuan diplomasi antar Menteri Luar Negeri diharapkan bisa semakin mendinginkan keadaan untuk menghentikan perang. Kata orang bijak, masalah bukan untuk diratapi, tetapi harus dicari solusi. Perang Rusia Ukraina harus dicari solusi untuk menghentikannya.
Ancaman boikot KTT G20 Bali, dimana posisi Indonesia sebagai presidensi G20 harus dihadapi. Harus dicari solusi yang saling memenangkan kepada semua pihak. Ini sulit. Bagaikan meniti buih. Tidak ada konflik antar bangsa yang mudah diselesaiakan, tetapi bukan berarti tidak bisa.
Berada diantara dua negara raksasa seperti AS dan Rusia yang sedang berkonflik bukan perkara mudah. Ancaman boikot AS dan sekutunya terhadap kegiatan KTT G20 sudah disampaikan. Jika ancaman ini menjadi kenyataan, maka posisi Indonesia sebagai presidensi G20 dianggap kurang berhasil. Namun jika Indonesia bisa memainkan peran pro aktif mencari solusi akan memperkuat posisi Indonesia di panggung dunia internasional.
Ini tentu sesuai dengan amanat konstitusi kita yang harus menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif. Ayolah tunjukkan bahwa kita bebas dan aktif mencari solusi di tengah perang Rusia Ukraina. Dengan demikian KTT G20 Bali akan berjalan dengan baik, ancaman boikot batal. Recovery together recovery stronger bukan hanya slogan, namun menjadi nyata dan terasa. Bukan hanya slogan dan pernyataan yang tertera dalam spanduk dan baliho di semua kantor pemerintahan, namun menjadi sebuah kenyataan yang dinikmati semua anggota G20 dan bangsa lain di dunia. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H