Bagi kader partai dengan sehebat apapun prestasinya tetap harus tahu diri. Tidak boleh menyinggung hati dan perasaan pimpinan. Apalagi menyinggung kepentingan politik pimpinan untuk urusan presiden.
Untuk partai dengan gaya kepemimpinan kharismatik seperti Gerindra dan PDIP, maka urusan pencapresan adalah kekuasaan otonom yang tidak bisa diganggugugat dari seorang Ketua Umum. Jangan mendahului takdir.
Lihat saja Ganjar tidak diundang dalam acara PDIP di Semarang yang dihadiri Puan Maharani, tempat tinggal dan berkuasanya Ganjar sebagai gubernur. Ganjar dianggap sebagai orang yang mengganggu kewenangan menentukan Capres dan cawapres. Bahkan Bambang Pacul penguasa PDIP Jawa Tengah di Semarang melontarkan pernyataan bahwa Puan itu seperti iklan TEH Sosro.Â
Kalau iklan TEH Sosro berbunyi, apapun makanannya, TEH Sosro minumannya. Dalam pencapresan, Siapapun presidennya, Puan Cawapresnya. Padahal Ganjar belum pernah mendeklarasikan dirinya menjadi Capres. Ini masih hanya berita yang dirilis para penguasa lembaga survei saja dan juga para relawan.
Nah, Ganjar yang tanpa deklarasi dan tanpa kesalahan saja bisa diasingkan dari kegiatan partainya di kotanya Semarang. Lalu bagaimana dengan M Taufik? Disinilah pemahaman pola politik paternalistik dan kepemimpinan kharismatik sangat penting. Tanpa pemahaman seperti itu, maka gejala dan fenomena politik ini sangat tidak masuk akal dan cenderung otoriter.
Apakah sepotong doa dari seorang M Taufik untuk Anies menjadi presiden bisa menjadi masalah besar yang berujung pencopotannya dari Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta? Benarkah dia akan pindah ke Partai Nasdem? Apakah pernyataan Desmon Mahesa dari DPP Gerindra yang juga anggota DPR RI yang menyatakan bahwa M Taufik memang tak berguna di Partai Gerindra?
Lalu apa arti prestasi M Taufik sebagai ketua DPD Gerindra DKI Jakarta dua periode 2012-2020 yang membawa sukses dalam dua Pemilu 2014 dan 2019? Dalam Pemilu 2019 Â menghasilkan 19 anggota DPRD. Pilkada 2012 PDIP dan Gerindra memenangkan pasangan Jokowi- Basuku Tjahaya --Purnama.Â
Pilkada 2017 memenangkan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Â Memang itu bukan prestasi pribadi dan bukan hasil kerja sendiri, namun itu adalah buah hasil kepemimpinan M Taufik sebagai ketua DPD Gerindra DKI Jakarta.
Pertanyaan berikut adalah, apakah kesalahan memanjatkan sepotong doa untuk Anies Baswedan menjadi presiden patut dianggap sebagai kesalahan fatal yang mengakibatkan pencopotonnya? Apakah sebuah kesalahan ini bisa kita gambarkan seperti pepatah yang mengatakan, 'kemarau setahun hilang karena hujan sehari?' Atau seperti pepatah lain yang mengatakan, 'karena nila setitik, rusak susu sebelanga?'
Memang dunia panggung politik kita sering gonjang-ganjing karena alat ukur keberhasilan dan kegagalan yang berbuntut pencopotan atau pemecatan bukan soal prestasi dan alat ukur objektif. Bisa kita lihat masalah Maruarar Sirait yang sudah dipilih oleh Presiden Jokowi menjadi menteri, sudah diberikan baju putih, namun tidak bisa diangkat dan dilantik hanya karena tidak ada restu dari Ketua Umum partainya.
Pencopotan M Taufik dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta bisa saja dikaitkan dengan kasus penggelapan tanah di Munjul Jakarta Timur. Atau berita kepindahannya ke Partai Nasdem. Â Namun fenomena dan gejala yang diuraikan diatas patut menjadi dasar pemahaman bahwa sepotong doa untuk Anies menjadi Presiden bisa dianggap sebagai pembangkangan terhadap partai yang masih menginginkan Ketua Umum dan sekaligus Ketua Dewan pembinanya masih bermimpi menjadi calon presiden.